Sejak awal berdirinya Kompasiana pada tahun 2008, saya telah menjadi bagian dari komunitas ini. Aktif menulis sejak tahun 2011 hingga 2014 dengan akun pertama, saya selalu bersemangat untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Namun, pada tahun 2020, akun Yahoo saya yang menjadi dasar akun Kompasiana diretas, memaksa saya untuk membuat akun baru.
Dengan akun kedua, saya kembali aktif menulis. Namun, pada Mei 2022, masalah mulai muncul. Setelah 13 tahun menjadi Kompasianer, untuk pertama kalinya saya mendapat peringatan dari admin. Artikel saya diturunkan dengan tuduhan plagiasi, padahal sumber tulisannya adalah karya saya sendiri di media lain dengan foto-foto liputan terbaru tentang Masjid Raya di Banjarmasin.
Seminggu kemudian, saya menghadapi tiga kali "Oops" berturut-turut dalam dua hari, lagi-lagi dengan tuduhan plagiasi. Saya mengutip hadis-hadis panjang dan lupa melakukan tes Turnitin sebelum memposting. Tak lama setelah itu, saya diblokir karena menulis tentang komitmen 50 pelaku bisnis dunia yang berjanji membangun Ekonomi Hijau untuk mencapai Net Zero 2050, mengutip berita dari The New York Times. Kutipan tersebut mencapai 25% dari tulisan saya, dan akhirnya akun saya diblokir dan saya dilabeli sebagai plagiator oleh admin Kompasiana.
Peristiwa ini terjadi pada 4 Juni 2022. Keesokan harinya, saya menulis surat perpisahan di akun ketiga saya dengan judul "Tiba Saatnya Kita Berpisah di Kompasiana". Dalam surat itu, saya menyampaikan kekecewaan dan niat untuk berhenti menulis di Kompasiana. Namun, berkat nasehat dari teman-teman penulis seperti Pak Tjiptadinata Efendi, Acek Rudy, Engkong Felix, dan Bu Isti, serta tantangan menulis hatrick selama 60 hari dari Omjay (Wijaya Kesuma), saya memutuskan untuk kembali menulis dengan akun baru.
Dari awal, ketika saya mulai menulis di Kompasiana, niat saya tulus saja, yaitu untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman yang pernah saya dapat untuk orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.
Padahal, apa yang saya tulis di Kompasiana seringkali saya gunakan untuk berbagi di berbagai korporasi dan institusi. Biasanya, saya mendapatkan imbalan sekitar Rp2-5 juta untuk setiap sesi berbagi (dengan durasi sharing hanya 30-60 menit), tanpa saya menetapkan target. Jika saya menjadi narasumber dalam workshop, per hari rata-rata saya mendapatkan lebih dari Rp10 juta.
Sebelum bergabung dengan Kompasiana, saya telah berkontribusi di berbagai media, termasuk Kompas, Media Indonesia, Republika, dan banyak lagi. Saya juga rutin mengisi rubrik "Corporate Value" di Majalah Stabilitas yang diterbitkan oleh LPPI (Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia).
Mengisi kolom opini di berbagai media mainstream memberikan reward finansial yang signifikan, tetapi menulis di blog pribadi dan mailing list, serta di Kompasiana, memberikan kepuasan berbeda meski tanpa imbalan finansial.
Pengalaman menulis saya tidak hanya terbatas pada media mainstream. Saya juga pernah diundang ke Malaysia oleh Malaysia Tourism Promotion Board dan Air Asia untuk mengunjungi beberapa destinasi wisata dan menulis artikel tentang pengalaman tersebut.
Sheraton Group Asia Tenggara juga pernah mengundang saya menginap di hotel mereka dengan imbalan menulis artikel tentang pengalaman menginap. Bahkan beberapa Pemerintah Daerah yang sedang mengembangkan destinasi wisata daerah mereka mengundang saya dengan tiket pesawat untuk menulis artikel traveling.
Perjalanan menulis di Kompasiana juga menghadirkan tantangan tersendiri, terutama dengan sistem K-Reward yang tidak transparan. Banyak Kompasianer merasa kecewa karena sistem ini tidak selalu mencerminkan usaha dan jumlah pembaca yang mereka dapatkan. Kurangnya responsivitas dan komunikasi dari admin juga menjadi masalah besar.
Komentar, umpan balik, dan permintaan seringkali tidak direspon dengan baik, menimbulkan frustrasi di kalangan penulis.
Walaupun saya secara pribadi menjadi Kompasianer tidak untuk mendapatkan honor atau penghasilan, saya hanya merasa sayang dan tidak ingin kehilangan komunitas yang berharga ini. Saya berharap agar setiap kontributor diberikan kesempatan yang setara dan mendapatkan umpan balik yang konstruktif, sehingga semua Kompasianer dapat terus mengembangkan kemampuan menulis dan memberikan kontribusi yang berarti.
Banyak Kompasianer yang pergi menginginkan adanya hubungan yang lebih baik antara admin dan kontributor serta pembaca. Harapan mereka adalah agar admin Kompasiana dapat menjadi lebih responsif terhadap komentar, umpan balik, dan permintaan kami.
Dengan membangun saluran komunikasi yang mudah dijangkau dan memberikan respons yang baik, saya percaya bahwa hubungan ini dapat diperkuat dan komunitas Kompasianer dapat berkembang lebih baik lagi.
Menulis adalah tekad saya untuk berbagi ilmu dan pengalaman. Jika ilmu dan pengalaman tidak kita bagikan, maka akan hilang ditelan masa. Sebaliknya, jika kita bagikan dan menjadi jejak digital, itu akan menjadi legacy setelah kita tiada.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan rintangan, saya akan terus menulis di Kompasiana dengan semangat dan tekad yang tulus, untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi pembaca dan negeri tercinta Indonesia.
Melalui tulisan-tulisan ini, saya berharap dapat menginspirasi banyak orang untuk tetap menulis, meskipun berbagai hambatan dan rintangan menghadang. Karena menulis bukan hanya tentang mengejar penghargaan atau pengakuan, tetapi juga tentang menyampaikan gagasan, berbagi pengetahuan, dan meninggalkan jejak yang bermanfaat bagi orang banyak.
Semoga semangat ini bisa terus hidup dan berkembang di kalangan Kompasianer dan penulis lainnya, demi masa depan yang lebih baik bagi kita semua.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H