Mengemban panggilan suci untuk menunaikan ibadah haji adalah impian setiap Muslim. Bagi saya, kesempatan itu datang pertama kali pada musim haji tahun 1415 Hijriah, tiga puluh tahun yang lalu.
Di usia yang masih muda, dengan semangat membara dan tekad yang kuat, saya berangkat dengan fasilitas haji reguler yang menyediakan durasi perjalanan lebih dari 40 hari. Meski fasilitasnya sederhana, waktu yang panjang memberi peluang berharga untuk mendalami setiap sisi ibadah.
Setibanya di Madinah, hati saya dipenuhi rasa syukur. Keindahan dan ketenangan Masjid Nabawi memanggil setiap insan untuk beribadah dengan khusyuk. Di sinilah, saya pertama kali mendengar tentang keutamaan Sunnah Arbain: melaksanakan shalat berjamaah sebanyak 40 kali berturut-turut selama delapan hari di Masjid Nabawi.
Keutamaan Sunnah Arbain menjanjikan pembebasan dari api neraka, perlindungan dari adzab, dan jaminan terbebas dari kemunafikan. Dengan semangat muda, saya memutuskan untuk menjalankan Sunnah Arbain ini.
Tantangan dan Keberkahan dalam Melaksanakan Sunnah Arbain
Menjalankan Sunnah Arbain bukanlah perkara mudah. Dalam delapan hari tersebut, setiap waktu salat harus dijalani di Masjid Nabawi, tanpa terlewat satu pun. Kedisiplinan dan keteguhan hati diuji setiap saat.
Namun, ada sesuatu yang luar biasa dalam setiap langkah menuju masjid, dalam setiap rukuk dan sujud bersama ribuan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Kebersamaan dan semangat ibadah di Masjid Nabawi memberikan kekuatan tersendiri.
Keindahan spiritual yang saya rasakan di Madinah, khususnya saat melaksanakan Sunnah Arbain, adalah pengalaman yang tak tergantikan. Setiap kali azan berkumandang, panggilan itu bagaikan seruan dari langit, memanggil hati yang rindu akan kedamaian dan keikhlasan. Di tengah keramaian jemaah, ada keheningan batin yang membuat setiap doa terasa lebih dekat kepada Allah SWT.
Dua tahun kemudian, saya kembali ke Tanah Suci pada tahun 1417 Hijriah. Kali ini, dengan fasilitas VIP yang hanya berdurasi dua pekan karena jatah cuti haji hanya sekali selama bekerja, dan untuk berikutnya hanya bisa mengambil cuti tahunan.
Meskipun fasilitas VIP lebih mewah dan nyaman, waktu yang terbatas membuat saya tidak bisa melaksanakan Sunnah Arbain. Pada perjalanan kali ini, saya lebih fokus pada pelaksanaan rukun haji dan menyesuaikan ibadah dengan waktu yang singkat. Pada kesempatan ini, waktu berdiam di Madinah tidak sampai 3 hari.
Dua pengalaman haji yang berbeda ini memberikan banyak pelajaran berharga. Ketika waktu dan kesehatan mendukung, memaksimalkan setiap bentuk ibadah sunnah seperti Sunnah Arbain menjadi ladang pahala yang sangat besar. Namun, ketika kondisi tidak memungkinkan, ada banyak cara lain untuk meraih keutamaan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menjaga kesehatan, salat berjamaah di tempat yang memungkinkan, melakukan salat sunnah, berpuasa sunnah, dan bersedekah tetap memberikan nilai spiritual yang tinggi.