Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dahulu Kami Harus Lulus P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di Awal Kuliah

1 Juni 2024   07:58 Diperbarui: 1 Juni 2024   07:59 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Saya masih ingat dengan jelas di era awal 80'an, ketika saya menyelesaikan SMA dan melangkah ke jenjang perguruan tinggi. Masa itu, perpeloncoan yang sering menakutkan digantikan dengan sesuatu yang lebih bermakna: Penataran P4(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Kami, para mahasiswa baru, tidak lagi harus mengalami kekerasan atau penghinaan. Sebaliknya, kami duduk bersama, belajar, dan merenungkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Penataran P4 ini sangat intens. Kami menjalani 100 jam penataran yang tidak hanya membuat kami hafal 36 butir Pancasila, tetapi juga memahami dan menghayati setiap butirnya. Pancasila bukan sekadar kata-kata yang diucapkan, tetapi menjadi nafas dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, bagi perguruan tinggi yang hanya menyelenggarakan penataran 45 jam, maka para mahasiswa mereka masih harus melalui mata kuliah Pancasila untuk benar-benar menginternalisasi nilai-nilainya.

Melangkah ke Universitas Katolik Parahyangan, saya merasakan kerukunan dan keharmonisan yang luar biasa. Kami, mahasiswa dari berbagai latar belakang agama, hidup berdampingan dengan penuh cinta kasih dan saling menghargai. Banyak pastor yang mengajar di sana, memberikan lebih dari sekadar pengetahuan akademis, tetapi juga membimbing kami dengan nilai-nilai moral dan etika.

Tahun demi tahun berlalu, dan kami, para mahasiswa dari berbagai suku, agama, dan ras, terus menjaga persaudaraan yang erat. Perbedaan tidak menjadi penghalang, tetapi justru memperkaya kehidupan kampus kami. Kami benar-benar merasakan makna dari Bhinneka Tunggal Ika.

Namun, sayangnya, keadaan berubah. Era Reformasi membawa banyak perubahan, termasuk penghapusan penataran P4. Pemerintah kemudian pada tahun 2016 menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, sebuah usaha untuk kembali menanamkan nilai-nilai dasar negara kita. Tapi ada yang terasa berbeda.

Di tengah hiruk-pikuk politik identitas yang semakin menguat, kerukunan yang dulu kami alami seperti sirna. Masyarakat mulai terbelah. Rasa curiga dan permusuhan antar kelompok mulai tumbuh. Perbedaan, yang dulu kami peluk dengan kasih, kini sering kali menjadi sumber konflik dan perpecahan.


Slogan "Saya Indonesia, Saya Pancasila" sering kali terdengar, tetapi apakah itu cukup? Apakah teriakan itu mampu menggantikan pemahaman dan penghayatan mendalam yang kami miliki dulu? Sila-sila Pancasila seakan kehilangan maknanya, seperti butiran pasir yang terhempas angin.

Hari ini, kita sering melihat orang yang berteriak lantang tentang kebangsaan dan Pancasila, tetapi di sisi lain, mereka juga mudah mengumpat dan menghujat orang lain yang berbeda pandangan atau pilihan politik. Ironisnya, mereka yang hanya meneriakkan slogan sering dianggap lebih Pancasilais dibandingkan mereka yang benar-benar memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Apakah cukup dengan hanya mengikuti upacara bendera untuk memperingati Hari Lahir Pancasila? Apakah itu cukup untuk menanamkan ideologi Pancasila dalam diri kita?

Tidak, itu tidak cukup. Pancasila harus dihidupkan kembali dalam jiwa kita, dalam tindakan kita sehari-hari. Pendidikan Pancasila harus lebih dari sekadar hapalan di sekolah. Pemahaman yang mendalam dan penghayatan nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan sejak dini. Para pemimpin harus memberikan teladan nyata dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila. Dialog antar kelompok harus didorong untuk membangun rasa saling pengertian dan kepercayaan.

Kita perlu lebih dari sekadar upacara dan slogan. Kita perlu kembali ke esensi Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Mari kita renungkan kembali. Mari kita hidupkan kembali Pancasila dalam hidup kita. Bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan nyata setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun