Candi Muara Takus, yang terletak di Provinsi Riau, adalah sebuah warisan budaya yang mempesona dan kaya akan sejarah. Kompleks candi ini, yang terdiri dari beberapa bangunan candi dengan arsitektur yang megah, menjadi saksi bisu dari perkembangan agama Buddha di Sumatra pada masa lalu.
Dalam menyambut Hari Raya Waisak, mari kita jelajahi keindahan dan sejarah Candi Muara Takus, sambil mengundang para pencinta budaya, sejarah, dan spiritualitas untuk berkunjung ke destinasi yang menakjubkan ini.
Sejarah dan Arsitektur Candi Muara Takus
Kompleks Candi Muara Takus mencakup beberapa bangunan utama, masing-masing dengan karakteristik uniknya. Bangunan utama di kompleks ini adalah Candi Mahligai, yang juga dikenal sebagai Stupa Mahligai.
Candi Mahligai ini adalah yang paling utuh dan terdiri dari tiga bagian: kaki, badan, dan atap. Fondasinya berbentuk persegi panjang dengan ukuran 9,44 meter kali 10,6 meter, dikelilingi oleh 28 sisi. Pintu masuknya berada di sebelah selatan, dan dahulu puncak menaranya dihiasi dengan batu yang dilukis daun oval dan relief-relief yang indah.
Berdasarkan penelitian, Candi Mahligai diduga mengalami dua tahap pembangunan, terlihat dari profil kaki bangunan lama yang tertutupi oleh bangunan baru.
Tidak jauh dari Candi Mahligai, berdirilah Candi Tua atau Candi Sulung, yang merupakan bangunan terbesar di kompleks ini. Candi ini juga terbagi menjadi tiga bagian dan memiliki tangga masuk di sisi barat dan timur, dihiasi dengan arca singa. Fondasi candi ini berukuran 31,65 meter kali 20,20 meter, dengan 36 sisi yang mengelilingi bagian dasarnya. Penelitian menunjukkan bahwa candi ini juga mengalami dua tahap pembangunan.
Candi Bungsu, yang bentuknya mirip dengan Candi Sulung, berdiri di sebelah barat Candi Mahligai. Fondasi candi ini memiliki 20 sisi, dan di atasnya terdapat bidang dengan relief teratai. Candi ini terbuat dari dua jenis bahan: bagian utara dari batu pasir, sedangkan bagian selatan dari bata. Perbedaan bahan ini menunjukkan bahwa candi ini juga dibangun dalam dua tahap.
Terakhir, ada Candi Palangka, yang terletak di sisi timur Stupa Mahligai. Bangunan ini memiliki ukuran 5,10 meter kali 5,7 meter dan terbuat dari batu bata, dengan pintu masuk yang menghadap ke arah utara.
Harmoni Alam dan Warisan Budaya
Kompleks Candi Muara Takus tidak hanya menyimpan kekayaan arsitektur dan sejarah, tetapi juga menyatu dengan keindahan alam sekitarnya. Dahulu, pada malam bulan purnama yang indah, candi ini sering dihiasi dengan kehadiran sekawanan gajah yang datang dengan gemulai, menginjakkan kaki mereka di kawasan suci ini, memberikan kesan sakral yang tak terlupakan.
Namun demikian, dengan berjalannya waktu, perubahan lingkungan dan pembabatan hutan menyebabkan berkurangnya habitat alami gajah, sehingga cerita kehadiran gajah di sekitar candi kini hanya tinggal kenangan.
Kehadiran gajah di sekitar Candi Muara Takus dahulu adalah cerminan harmoni antara alam dan warisan budaya yang kini semakin langka. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keberagaman hayati dan kelestarian lingkungan.
Melalui upaya konservasi dan peningkatan kesadaran akan pentingnya pelestarian habitat, kita berharap cerita keajaiban gajah yang kembali menghampiri Candi Muara Takus bisa menjadi kenyataan lagi.
Peringatan Hari Waisak di Candi Muara Takus
Pada 12-25 Mei 2019, sebelum pandemi Covid-19, Candi Muara Takus menjadi pusat peringatan Hari Waisak Nasional, yang dihadiri oleh sekitar 3.500 umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada yang datang dari mancanegara. Meskipun perayaan berskala nasional ini tergolong istimewa, setiap tahun ratusan umat Buddha dari berbagai kabupaten dan kota di Provinsi Riau selalu merayakan Hari Waisak di Candi Muara Takus.
Dipilihnya candi ini sebagai tempat perayaan Waisak 2019 bukan tanpa alasan. Situs cagar budaya ini diyakini sebagai peninggalan abad ke-7, yang pada zamannya berfungsi sebagai universitas agama Buddha.
Mengundang Para Traveler
Dengan kekayaan sejarah dan budayanya yang unik, Kompleks Candi Muara Takus merupakan salah satu destinasi yang tidak boleh dilewatkan bagi para pencinta budaya, sejarah, dan spiritualitas.
Sambil memandang keindahan Candi Muara Takus di bawah sinar bulan purnama yang bercahaya, kita diingatkan akan kerentanan alam dan pentingnya melindungi lingkungan sekitar.
Marilah kita berjuang untuk menjaga warisan budaya dan kehidupan satwa liar. Semoga, dengan upaya konservasi dan kesadaran lingkungan yang terus meningkat, kedatangan gajah di Candi Muara Takus tidak hanya menjadi sebuah dongeng, tetapi bisa kembali menjadi kenyataan yang mempesona.
Artikel sederhana ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan yang menarik dan menginspirasi dalam menyambut Hari Raya Waisak bagi yang merayakannya. Dengan menghargai dan melestarikan situs-situs bersejarah serta lingkungan sekitarnya, kita dapat memastikan bahwa warisan budaya dan keajaiban alam ini dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Mari kita renungkan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Buddha dan bagaimana kita dapat menerapkannya dalam menjaga keseimbangan alam dan warisan budaya kita.
Selamat Hari Raya Waisak bagi yang merayakannya!
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H