Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pesona Pameran Karya Butet Kertaredjasa "Melik Nggendong Lali": Merawat Amarah Menjadi Berkah

11 Mei 2024   20:18 Diperbarui: 11 Mei 2024   20:29 2620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, bersama para Kompasianer yang bergabung dalam Komunitas Kopaja71 (Kompasianer Jakarta 71), saya memasuki ruang penuh inspirasi di Galeri Nasional. Di sana, Pameran Tunggal Butet Kartaredjasa, berjudul "Melik Nggendong Lali", memukau kami dengan kekuatan wirid visualnya.

Karya ini merupakan hasil dari 90 hari wirid visual yang dilakukan oleh Butet Kartaredjasa. Wirid ini tidaklah biasa; ia adalah sebuah rapalan doa yang tak henti-hentinya mengalir, sebuah doa untuk dirinya sendiri dan untuk negeri. Namun, apa yang membuat wirid ini begitu istimewa adalah cara Butet melaksanakannya.

Butet memulai ritualnya dengan menuliskan nama lengkapnya sendiri. "Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa," katanya, suaranya penuh dengan ketenangan. Namun, inilah yang membuat proses ini begitu unik; nama lengkap Butet tidaklah umum diketahui oleh semua orang.

Hal tersebut bukanlah tugas yang mudah, karena kesalahan dalam menuliskan nama harus diulang dari awal. Saya sangat terpesona oleh dedikasi Butet terhadap proses ini. Setiap huruf yang ditulisnya adalah bagian dari sebuah doa yang mendalam, sebuah upaya untuk mencapai kesempurnaan spiritual.

Baca juga: Melawan Kesombongan

Dan, dalam setiap kali menuliskan nama lengkapnya, Butet juga memberikan doa untuk negeri ini, seperti riuhnya kereta api di Stasiun Gambir yang terlihat dari jendela galeri.

Karya Butet Kertaredjasa di
Karya Butet Kertaredjasa di "Melik Nggendong Lali",  sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Pada kesempatan bertemu dengan kami dari Komunitas Kopaja71, Butet juga menyampaikan bahwa karya-karyanya yang dipamerkan dalam "Melik Nggendong Lali" tersebut merupakan rasa kecewa dan marah terhadap seorang pembohong di negeri tercinta ini.

Namun demikian, beliau melampiaskan kemarahan tersebut dengan "Merawat Amarah Menjadi Berkah" sehingga jadilah karya-karya yang luar biasa yang sebagian dipamerkan dalam pameran tersebut.

Dari penuturan Butet Kartaredjasa dapat diambil pelajaran bahwa kemarahan yang dirawat bukan sekedar dilampiaskan, akan menghasilkan karya-karya yang luar biasa, yang akhirnya akan mendatangkan berkah bagi kita maupun bagi alam semesta.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal (Photographer: Andriyanto/Kopaja71)
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal (Photographer: Andriyanto/Kopaja71)

Karya tersebut dipamerkan di Galeri Nasional, tempat yang penuh dengan karya seni rupa modern dan kontemporer, menjadi latar yang sempurna bagi ekspresi Butet. Di sini, pengunjung dapat merasakan kekuatan dan keheningan dari karya-karya tersebut, serta menyelami perjalanan spiritual dan artistik yang dilakukan oleh Butet Kartaredjasa.

Pameran ini tidak hanya menampilkan hasil wirid visual Butet pada tahun 2022, 2023, dan 2024, tetapi juga karya keramiknya dari tahun 2018 hingga 2021. Butet dibantu oleh berbagai artisan seperti Basuki Supriyandono, Nugroho Hohok, dan Apriana Seruni Dewi untuk mengembangkan karyanya pada berbagai medium seperti kanvas, metal, batu, kayu, kain, dan bahkan video.

Rangkaian tulisan nama dan Nusantara Butet tersusun menjadi kaligram figuratif manusia, hewan, dan alam, yang disajikan dengan distorsi yang menarik. Butet menetapkan jejak wirid visualnya sebagai karya seni kontemporer yang menggabungkan laku spiritual, material, gagasan, narasi, dan kesadaran kritik sosial dan politik.

Sumber gambar: Kopaja71
Sumber gambar: Kopaja71

Salah satu karya hitam-putih yang menjadi pusat perhatian adalah "Tuli Permanen", sebuah karya tahun 2024 dengan ukuran 42 x 29,7 cm (A3), yang menggunakan medium tinta pada kertas. Dalam karyanya, Butet menampilkan kaligram figuratif manusia dengan judul yang menarik perhatian, menunjukkan distorsi yang memikat di antara kaligram lainnya.

Dalam peribahasa Jawa, "Melik Nggendong Lali" memiliki arti siapapun yang mempunyai keinginan atau pamrih yang terlalu besar (melik) terhadap sesuatu, dan harus tercapai dengan cara apapun, tak peduli melanggar tata aturan dan norma. Akan tetapi, Butet, aktor yang juga produktif melukis, tidak sedang lali (lupa) saat menulis judul ini. Ia sengaja menggunakan kata "Lali" sebagai bentuk distorsi untuk menggambarkan realitas hidup kita saat ini, di mana banyak hal yang salah dianggap benar.

Pameran ini bukan sekadar tontonan visual, tetapi sebuah pengalaman yang mendalam dan spiritual. Saya merasa beruntung dapat menyaksikan langsung hasil karya dari proses wirid visual Butet Kartaredjasa, dan saya yakin pengunjung lainnya juga akan merasakan keajaiban yang sama.

Dalam perjalanan melalui pameran "Melik Nggendong Lali" dan menyaksikan karya-karya yang luar biasa dari Butet Kartaredjasa, saya merenungkan betapa pentingnya cara kita merespon kemarahan dan kekecewaan dalam hidup. Dari kisah Butet, kita belajar bahwa kemarahan tidak selalu harus diungkapkan dalam bentuk yang merusak, tetapi dapat diubah menjadi sesuatu yang membangun dan berarti.

Sumber gambar: Kopaja 71
Sumber gambar: Kopaja 71

Seringkali, dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin merasa tergoda untuk mengambil jalan pintas dan melanggar nilai-nilai atau norma yang ada demi memenuhi keinginan atau pamrih kita sendiri. Namun, "Melik Nggendong Lali" mengajarkan kepada kita bahwa tindakan semacam itu tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga masyarakat dan lingkungan sekitar.

Dengan merawat amarah menjadi berkah, kita dapat mengubah energi negatif menjadi sesuatu yang positif dan produktif. Seperti Butet yang melukis dan menghasilkan karya-karya yang memukau sebagai wujud dari proses merawat amarahnya, kita juga dapat menemukan cara untuk mengekspresikan diri secara konstruktif dalam menghadapi tantangan dan ketidakadilan dalam hidup.

Setelah meninggalkan Galeri Nasional, saya membawa pulang tidak hanya kenangan visual, tetapi juga rasa ketenangan dan inspirasi yang mengalir dari karya-karya Butet Kartaredjasa. Semoga karya ini terus menginspirasi dan memberikan keberkahan bagi semua yang menyaksikannya.

Semoga kisah Butet Kartaredjasa dan pameran "Melik Nggendong Lali" menjadi inspirasi bagi kita semua untuk lebih bijaksana dalam mengelola emosi dan tindakan kita, serta untuk selalu mengutamakan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam segala hal yang kita lakukan.

Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun