Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Grave of the Fireflies (Hotaru no Haka): Film yang Membuka Mata Hati Saya dari Kufur Nikmat

1 April 2024   12:09 Diperbarui: 1 April 2024   13:15 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Grave of the Fireflies" (, Hotaru no Haka) adalah film animasi Jepang yang dirilis pada tahun 1988. Film ini disutradarai oleh Isao Takahata dan diproduksi oleh Studio Ghibli. Ceritanya didasarkan pada novel semi-autobiografi karya Akiyuki Nosaka dengan judul yang sama.

Film ini mengambil latar belakang Jepang pada akhir Perang Dunia II. Ceritanya mengikuti perjalanan dua anak yatim piatu, Seita dan adik perempuannya Setsuko, yang berusaha bertahan hidup di tengah kekacauan perang. Setelah rumah mereka dihancurkan oleh serangan udara, kedua saudara tersebut terpaksa hidup terpisah dari keluarga mereka.

"Grave of the Fireflies" (, Hotaru no Haka)  menerima sambutan luar biasa di Jepang dengan mengumpulkan 1,7 miliar yen di negara asalnya. Film ini juga berhasil meraih kesuksesan di Amerika Serikat dengan pendapatan sebesar USD516,962 dari penayangan di sana. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa 'Grave of the Fireflies' mampu menjadi salah satu karya yang sangat dihargai dalam sejarah sinema animasi, tidak hanya di Jepang tetapi juga secara internasional.

"Grave of the Fireflies" memulai perjalanan yang mengharukan dengan memperlihatkan kondisi menyedihkan Seita di Stasiun Sannomiya, Kbe, Prefektur Hyogo. Dengan tubuhnya yang lemah karena kelaparan, Seita terbaring di peron, di tengah kesibukan penumpang lain yang hanya mengabaikannya. Hingga pada suatu malam, Seita ditemukan meninggal di peron stasiun, bersama beberapa gelandangan lainnya.

Petugas kebersihan menemukan kaleng permen yang berisi abu Setsuko dari kantong Seita, dan membuangnya, menarik perhatian kunang-kunang di sekitar mereka. Dari sini, penonton diperkenalkan pada kisah pilu dua bersaudara yang saling bergantung, Seita dan Setsuko, yang berjuang bertahan hidup di tengah kekacauan Perang Dunia II.

Kisah mereka dimulai dengan serangan udara yang menghancurkan rumah mereka dan memisahkan mereka dari sang ibu. Ketika rumah mereka dihancurkan dalam serangan udara, kedua saudara tersebut kehilangan ibu mereka yang meninggal karena luka bakar yang parah. Seita yang berusia 14 tahun berusaha menjaga adiknya dan menyembunyikan kematian ibu mereka dari Setsuko.

Seita, yang berusaha melindungi Setsuko, membawanya pergi untuk tinggal bersama bibi mereka, namun kehidupan di sana tidaklah mudah. Mereka diusir dari rumah bibi karena dianggap menjadi beban, dan mereka pun terpaksa hidup dalam goa di pinggir danau dengan segala keterbatasan.

Seita dan Setsuko kemudian memutuskan untuk tinggal di sebuah goa di pinggir danau, bergantung pada persediaan makanan yang mereka miliki dan uang yang ditinggalkan oleh ayah mereka yang berada di medan perang.

Kehidupan mereka di goa penuh dengan kesulitan dan kekurangan. Mereka harus berjuang melawan kelaparan, penyakit, dan ketidakpastian. Meskipun Seita berusaha sekuat tenaga untuk melindungi adiknya, kondisi terus memburuk dan persediaan makanan semakin menipis.

Di tengah keputusasaan dan ketidakberdayaan, Seita dan Setsuko terus menggantungkan harapan pada janji-janji masa depan yang lebih baik. Namun, dalam kondisi yang semakin memburuk, mereka akhirnya dihadapkan pada pilihan yang menyedihkan dan tragis.

Dalam kondisi yang semakin memburuk, Seita dan Setsuko hanya memiliki satu sama lain. Mereka harus berjuang melawan kelaparan, penyakit, dan ketidakpedulian lingkungan sekitar. Di tengah keputusasaan dan ketidakberdayaan, mereka tetap berusaha menemukan kebahagiaan dalam momen-momen kecil, meskipun harus berhadapan dengan penderitaan yang tak terbayangkan.

Film ini menyajikan gambaran yang menyentuh tentang dampak perang pada kehidupan sehari-hari orang-orang biasa, terutama anak-anak yang paling rentan. Kisah ini tidak hanya menyoroti penderitaan dan kehilangan, tetapi juga kekuatan cinta, pengorbanan, dan keteguhan hati dalam menghadapi situasi yang paling putus asa.

Kisah mereka mengajarkan tentang kekuatan cinta, pengorbanan, dan keteguhan hati dalam menghadapi cobaan hidup. Meskipun berakhir dengan tragis, "Grave of the Fireflies" tetap menyisakan kesan yang mendalam dan menjadi salah satu karya paling berharga dalam sejarah sinema animasi.

"Grave of the Fireflies" merangkum kesan yang mendalam dalam diri saya. Melihat betapa gigihnya Seita dalam melindungi adiknya, Setsuko, di tengah badai penderitaan, saya merasa malu dengan diri sendiri. Saya, yang hidup dalam kenyamanan dan kelimpahan sejak kecil, tidak pernah memiliki semangat sebesar itu untuk melindungi dan merawat saudara-saudara saya seperti yang dilakukan Seita.

Kisah Seita dan Setsuko juga mengajari saya tentang arti sejati kebahagiaan. Meskipun dihadapkan pada penderitaan yang tak terbayangkan, mereka masih mampu menemukan kebahagiaan dalam setiap momen kecil dan sederhana. Mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa banyak yang kita syukuri.

Dalam mengakhiri Ramadan ini, saya merasa terpanggil untuk melakukan introspeksi diri. Saya menyadari betapa seringnya saya melakukan kufur nikmat, bahkan tanpa menyadarinya. Namun, menyaksikan kembali kisah Seita dan Setsuko membuka mata dan hati saya. Saya berjanji untuk lebih bersyukur atas segala nikmat dan karunia yang Allah berikan kepada saya, dan berusaha menjadi mukmin sejati sepanjang masa.

Semoga Ramadan ini membawa peningkatan ketaqwaan bagi kita semua, dan mengajarkan kita arti sejati dari rasa syukur dan pengabdian kepada-Nya.

Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun