Ketika saya menjadi mahasiswa di Universitas Katolik Parahyangan, lingkungan pergaulan saya semakin beragam, terdiri dari berbagai keyakinan, suku, dan etnis. Meskipun begitu, kami tetap sangat akrab dan tidak merasakan perbedaan itu. Dalam memilih mata kuliah pun, kami yang bukan Katolik mengambil mata kuliah Fenomenologi Agama, bukan mata kuliah Agama Katolik.
Sejak lahir hingga menjadi Sarjana, saya tidak pernah merasa bahwa keyakinan dan etnis saya membuat saya berbeda dari teman-teman lainnya. Namun, perbedaan itu mulai saya rasakan setelah saya memperoleh gelar sarjana dan memulai karier saya di sebuah perusahaan konglomerat milik keluarga Tionghoa, yang saya peroleh dari lowongan yang tersedia untuk alumni Unpar.
Saat bekerja itu, saya mulai merasakan perbedaan, saya merasa "diistimewakan" dari teman-teman saya yang sebelumnya memiliki IP yang lebih rendah dari saya karena saya bukan etnis Tionghoa. Penempatan kami yang pribumi seringkali sulit, seperti saya harus berurusan dengan konflik internal di tanah nenek moyang mereka.
Sementara itu, teman saya yang Tionghoa seringkali ditempatkan di posisi yang lebih nyaman, seperti mengurus administrasi dan memberikan uang kepada birokrat. Perbedaan imbalan yang diterima antara saya dan teman Tionghoa saya sangat besar.
Saya merasa shock. Ternyata, keindahan persahabatan yang saya alami sejak lahir dan keyakinan bahwa perbedaan tidak selalu menjadi pertentangan tidak lagi berlaku. Saya telah memilih untuk bekerja di antara beberapa tawaran perusahaan konglomerat lainnya, berharap bahwa mereka akan lebih mementingkan nilai-nilai nasionalis, namun kenyataannya tidak demikian.
Saya kemudian memutuskan untuk tidak bertahan lama di perusahaan tersebut dan keluar, memilih untuk bergabung dengan perusahaan yang lebih menghargai nilai-nilai pribumi.
Kenangan masa kecil yang indah kembali menghantuiku sejak masa reformasi tahun 1998. Bentrokan, pertikaian, penjarahan, dan kekerasan lainnya yang dipicu oleh perbedaan etnis dan agama membuatku terus teringat akan masa lalu. Hal ini semakin kentara saat ada pemilihan umum, pilkada, dan terutama pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, yang telah menjadi politik identitas yang terus berlanjut hingga hari ini.
Para agitator dengan senang hati menyaksikan keretakan dalam kebersamaan anak bangsa, yang begitu susah payah dibangun oleh nenek moyang bangsa dan pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya sering kali bertanya-tanya, apakah pada masa kecil kita tidak menganggap perbedaan iman dan etnis sebagai pertentangan karena pada saat itu kita masih polos dan belum dipengaruhi oleh kepentingan tertentu?
Namun, ketika kita telah dewasa dan memiliki kepentingan, seperti saat saya bekerja pertama kali di perusahaan konglomerat tersebut, kita mudah dijadikan alat pengadu domba dengan memicu isu perbedaan agama dan etnis. Padahal, pada masa kecil kita tidak pernah bertengkar dengan teman karena perbedaan etnis atau agama.
Saya sering merenung dan menangis ketika mengingat masa kecil yang indah, mencari jawaban atas permasalahan yang muncul. Namun, jawaban yang saya cari tidak pernah saya temukan. Apakah orang lain tahu jawabannya?
Entahlah...