Sebagai seorang muslim pribumi, lebih dari tiga perempat masa pendidikan saya dihabiskan di sekolah Katolik yang didominasi oleh etnis Tionghoa. Pengalaman selama masa sekolah, dari TK hingga lulus dari Universitas Katolik Parahyangan, bersama teman-teman dari berbagai agama dan etnis, selalu meninggalkan kesan indah dalam ingatan saya.
Saya mengawali masa TK di Bengkalis, Riau, pada sekitar tahun 1971. Di sana, komunitas etnis Tionghoa sangat dominan, tidak hanya sebagai pedagang, tetapi juga sebagai buruh, tukang becak, bahkan pembantu di rumah kami adalah seorang dari mereka. Kebanyakan teman bermain saya berasal dari etnis Tionghoa.
Setelah Ayah saya menyelesaikan tugasnya sebagai pejabat di Kabupaten tersebut, kami pindah kembali ke Pekanbaru. Kepergian kami disambut dengan tangisan oleh teman-teman saya, baik yang pribumi maupun yang Tionghoa. Hal yang paling mencolok adalah tangisan pembantu kami yang berasal dari etnis Tionghoa, yang telah menjadi bagian dari keluarga kami.
Di Pekanbaru, saya bersekolah di SD yang merupakan bagian dari Perguruan Katolik terbesar di kota tersebut, yang menyediakan jenjang pendidikan dari TK hingga SMA serta dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap, termasuk perpustakaan, poliklinik, bahkan rumah sakit.
Saya belajar di Perguruan Katolik Santa Maria, meskipun merupakan sekolah Katolik, namun banyak juga murid yang beragama Islam saat itu. Sekolah ini masih dipimpin oleh seorang Muder (sebutan untuk seorang biarawati), dengan beberapa pastor dan suster yang turut mengajar di sekolah tersebut.
Mungkin karena pemahaman yang kuat terhadap Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, saat itu tidak ada masalah bagi kami yang beragama Islam atau agama lain di luar Katolik dalam interaksi sehari-hari dengan guru dan teman sekelas, serta dalam menerima pelajaran. Semuanya berjalan lancar tanpa gejolak.
Sebagian besar teman saya di sini berbeda keyakinan dengan saya, kebanyakan dari mereka keturunan Tionghoa, namun persahabatan kami begitu erat sehingga perbedaan iman dan etnis tidak pernah menjadi penghalang bagi interaksi kami.
Ketika perayaan Imlek tiba, kami yang pribumi datang ke rumah teman-teman kami yang merayakannya, seperti Hoat, Liem, Joeliejon, Kim Han, dan lainnya. Begitu juga saat Natal, kami berkunjung ke rumah teman-teman seperti Dimos, Edwin, Oktobernat, Benhard, dan lainnya. Demikian pula saat Idul Fitri, teman-teman saya datang ke rumah saya dan rumah teman-teman muslim seperti Chery Wibisono, Andri, Rizon, dan lainnya.
Kegiatan keagamaan di sekolah tidak pernah terganggu. Saat ada mata pelajaran Agama Katolik, kami yang non-Katolik keluar dari kelas dan masuk ke kelas Budi Pekerti. Pada hari Jumat, sekolah pulang lebih cepat dan kami yang muslim dapat melaksanakan sholat Jumat di mesjid.
Saat ada hari besar Nasrani, sekolah mengadakan misa di gereja, sementara kami yang non-Katolik menunggu di halaman gereja atau dalam kelas, kemudian sekolah mengadakan acara gembira untuk semua murid.
Perjalanan toleransi saya berlanjut ketika saya meninggalkan Pekanbaru dan pindah ke Bandung saat SMA. Di SMA Negeri di Bandung, teman-teman saya lebih banyak yang seiman dan sebagian besar adalah pribumi, tetapi tetap saja ada yang berbeda keyakinan dan etnis. Saya masih memiliki sahabat seperti di sekolah Katolik dulu, seperti Siang Hwat dan Aloysius Rudy, yang merupakan anak Jawa Katolik. Di SMA ini, kami tetap menjaga sikap saling menghormati dan tidak pernah mengejek teman karena perbedaan iman dan etnis. Saat ada pelajaran Agama Islam, teman-teman non-Muslim keluar untuk belajar di kelas Agama yang sesuai.