Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menikmati Kawa Daun dan Gorengan sambil Meresapi Keindahan Alam Desa Tua Pariangan

5 Maret 2024   15:25 Diperbarui: 5 Maret 2024   15:34 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sawah yang menawan di lereng kaki Gunung Marapi,  sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Setiap perjalanan memiliki rahasia yang tersimpan dalam aroma dan cita rasa setiap sudutnya. Begitulah yang terjadi saat saya menjelajahi keindahan alam Desa Tua Pariangan, sebuah desa tua (dusun tuo) yang tersembunyi di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Dusun Tuo Pariangan, yang merupakan nagari tertua di Minangkabau, telah menjadi cikal bakal bagi rakyat Minangkabau dan salah satu desa terindah di dunia.


Saat menjelajahi Pariangan, saya tidak hanya disambut oleh keindahan alam yang menakjubkan, tetapi juga oleh warisan sejarah yang kaya dan mengesankan. Dari hamparan sawah yang menghijau hingga puncak Gunung Marapi yang menjulang, setiap sudut desa ini menyimpan cerita-cerita masa lalu yang membentuk identitasnya yang unik.

Menurut Tambo, tradisi lisan masyarakat Minangkabau, Pariangan dianggap sebagai desa atau nagari tertua tempat nenek moyang dan peradaban mereka bermula. Pepatah kuno yang menyatakan "dari mano datiang titiak palito, dari telong nan Batali. Dari mano asa nenek moyang kito, dari puncak gunuang Marapi" masih melekat kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat lokal.

Di antara lekuk-lekuk jalan berbatu dan bangunan tradisional, masih terdapat bukti-bukti peradaban tua masyarakat Minangkabau, seperti Batu Lantak Tigo, Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano, Sawah Satampang Baniah, Lurah Indak Barayia, dan banyak lagi situs bersejarah lainnya.

Melalui peninggalan-peninggalan bersejarah ini, kita dapat merasakan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka adalah saksi bisu dari masa lalu yang masih hidup, mengingatkan kita akan perjalanan panjang dan perjuangan nenek moyang kita untuk membangun dan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai mereka.

Keelokan alam Pariangan yang memukau membuatnya menjadi destinasi impian bagi para pelancong yang mencari keindahan alam yang memikat. Pada artikel "World's 16 Most Picturesque Village" yang ditulis Sandra Ramani pada 23 Februari 2012, Pariangan disandingkan dengan desa-desa indah di seluruh dunia seperti Shirakawa-go di Jepang, Eze di Perancis, dan Niagara-on-the-lake di Kanada.

Menjelajahi Dusun Tuo Pariangan, saya tidak hanya dihadapkan dengan keindahan alam yang menakjubkan, tetapi juga dengan sejarah yang harum yang membentuk identitas masyarakat setempat.

Pada abad ke-19, pada masa penjajahan Belanda, kebijakan tanam paksa kopi telah memaksa masyarakat Minangkabau untuk menyerahkan seluruh hasil panen kopi kepada Belanda. Akibatnya, mereka tidak lagi dapat menikmati hasil kopi dari tanah mereka sendiri.

Namun demikian, atas dasar kerinduan akan seduhan kopi, masyarakat di kawasan kebun kopi mulai mengolah daun kopi untuk dijadikan minuman. Walaupun tidak sebanyak biji kopi, daun kopi juga dipercaya memiliki kandungan kafein yang cukup. Dari situlah lahir kawa daun, minuman yang memberikan sececap rasa teh dengan aroma yang ringan dan lembut, serta memiliki warna yang menyerupai teh.

Cara pembuatannya pun unik, dengan proses pengeringan daun kopi menggunakan asap hingga menghasilkan warna yang coklat, kemudian direbus hingga mendidih. Inilah warisan sejarah yang terus hidup dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Pariangan.

Sambil menikmati kawa daun dan gorengan, saya tidak bisa mengabaikan keindahan alam Pariangan yang memukau. Desa wisata Nagari Tuo Pariangan, yang terletak di lereng Gunung Marapi, menawarkan pesona alam yang elok dan subur. Berada di ketinggian 800 - 1000 mdpl, Pariangan memiliki topografi daerah perbukitan dan pegunungan dengan udara yang sejuk.

Sawah berjenjang yang memanjakan mata dari lereng Gunung Marapi hingga lembah-lembah yang ada dibawahnya, bahkan hingga ke Danau Singkarak, memberikan anugerah alam yang menakjubkan bagi pengunjung yang datang.

Sawah yang menawan di lereng kaki Gunung Marapi,  sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sawah yang menawan di lereng kaki Gunung Marapi,  sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Dengan setiap tegukan kawa daun dan setiap gigitan gorengan, saya merasakan kehadiran dan keindahan Desa Tua Pariangan yang begitu memesona. Ini adalah pengalaman yang tak terlupakan, menggambarkan harmoni antara keindahan alam, budaya, dan tradisi lokal yang melekat erat di Desa Tua Pariangan.

Kopi Kawa yang khas disajikan dalam tempurung kelapa, sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Kopi Kawa yang khas disajikan dalam tempurung kelapa, sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Menyelami Keindahan yang Tak Tergantikan

Saat matahari mulai meredup di ufuk barat, saya menyadari bahwa petualangan di Dusun Tuo Pariangan tidak hanya meninggalkan kenangan yang indah, tetapi juga sebuah pengalaman yang mengajarkan saya tentang nilai-nilai kehidupan. Di tengah keindahan alam yang memukau, saya belajar tentang kekuatan sejarah dan warisan budaya yang tetap hidup dalam setiap tegukan kawa daun dan setiap langkah di jalanan berbatu.

Jalan menuju Dusun Tuo Pariangan, sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Jalan menuju Dusun Tuo Pariangan, sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Kawa daun dan gorengan mungkin hanya sekadar minuman dan makanan, tetapi bagi masyarakat Pariangan, mereka adalah simbol kebersamaan, kehangatan, dan kehidupan yang berkelanjutan. Mereka adalah pengingat akan nilai-nilai yang terkandung dalam sederetan sejarah panjang yang terus mempertahankan jati diri mereka.

Saat saya berpamitan pada Dusun Tuo Pariangan, saya membawa pulang lebih dari sekadar kenangan visual. Saya membawa pulang rasa syukur akan keindahan alam dan kearifan lokal yang telah saya nikmati, serta inspirasi untuk menjaga dan menghargai warisan budaya yang kita miliki.

Menikmati minum Daun Kawa dan Gorengan sambil memandang keindahan alam, sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Menikmati minum Daun Kawa dan Gorengan sambil memandang keindahan alam, sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Dengan hati penuh haru dan pikiran yang kaya dengan pengalaman, saya meninggalkan Pariangan dengan janji pada diri sendiri untuk kembali lagi suatu hari nanti, untuk sekali lagi menyelami keindahan yang tak tergantikan dari desa ini, walau pun saya sudah berulangkali ke sana.

Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun