Setiap perjalanan memiliki rahasia yang tersimpan dalam aroma dan cita rasa setiap sudutnya. Begitulah yang terjadi saat saya menjelajahi keindahan alam Desa Tua Pariangan, sebuah desa tua (dusun tuo) yang tersembunyi di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Dusun Tuo Pariangan, yang merupakan nagari tertua di Minangkabau, telah menjadi cikal bakal bagi rakyat Minangkabau dan salah satu desa terindah di dunia.
Saat menjelajahi Pariangan, saya tidak hanya disambut oleh keindahan alam yang menakjubkan, tetapi juga oleh warisan sejarah yang kaya dan mengesankan. Dari hamparan sawah yang menghijau hingga puncak Gunung Marapi yang menjulang, setiap sudut desa ini menyimpan cerita-cerita masa lalu yang membentuk identitasnya yang unik.
Menurut Tambo, tradisi lisan masyarakat Minangkabau, Pariangan dianggap sebagai desa atau nagari tertua tempat nenek moyang dan peradaban mereka bermula. Pepatah kuno yang menyatakan "dari mano datiang titiak palito, dari telong nan Batali. Dari mano asa nenek moyang kito, dari puncak gunuang Marapi" masih melekat kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat lokal.
Di antara lekuk-lekuk jalan berbatu dan bangunan tradisional, masih terdapat bukti-bukti peradaban tua masyarakat Minangkabau, seperti Batu Lantak Tigo, Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano, Sawah Satampang Baniah, Lurah Indak Barayia, dan banyak lagi situs bersejarah lainnya.
Melalui peninggalan-peninggalan bersejarah ini, kita dapat merasakan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka adalah saksi bisu dari masa lalu yang masih hidup, mengingatkan kita akan perjalanan panjang dan perjuangan nenek moyang kita untuk membangun dan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai mereka.
Keelokan alam Pariangan yang memukau membuatnya menjadi destinasi impian bagi para pelancong yang mencari keindahan alam yang memikat. Pada artikel "World's 16 Most Picturesque Village" yang ditulis Sandra Ramani pada 23 Februari 2012, Pariangan disandingkan dengan desa-desa indah di seluruh dunia seperti Shirakawa-go di Jepang, Eze di Perancis, dan Niagara-on-the-lake di Kanada.
Menjelajahi Dusun Tuo Pariangan, saya tidak hanya dihadapkan dengan keindahan alam yang menakjubkan, tetapi juga dengan sejarah yang harum yang membentuk identitas masyarakat setempat.
Pada abad ke-19, pada masa penjajahan Belanda, kebijakan tanam paksa kopi telah memaksa masyarakat Minangkabau untuk menyerahkan seluruh hasil panen kopi kepada Belanda. Akibatnya, mereka tidak lagi dapat menikmati hasil kopi dari tanah mereka sendiri.
Namun demikian, atas dasar kerinduan akan seduhan kopi, masyarakat di kawasan kebun kopi mulai mengolah daun kopi untuk dijadikan minuman. Walaupun tidak sebanyak biji kopi, daun kopi juga dipercaya memiliki kandungan kafein yang cukup. Dari situlah lahir kawa daun, minuman yang memberikan sececap rasa teh dengan aroma yang ringan dan lembut, serta memiliki warna yang menyerupai teh.