Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Kejujuran dan Ketulusan Ibu dalam Keterbatasan

25 Februari 2024   04:30 Diperbarui: 25 Februari 2024   06:38 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo ilustrasi, sumber: Dokumentasi Merza Gamal

Dalam kegelapan kehidupan yang dipenuhi dengan keterbatasan, tersembunyi secercah cahaya yang menerangi jalan kita: kejujuran dan pengorbanan seorang ibu yang tak terlupakan.

Saat aku memandang kembali masa kecilku, kenangan akan sejumlah momen indah bersama ibu menjadi sinar terang dalam ingatanku, menggambarkan bagaimana ia menjelma menjadi pahlawan sejati bagi keluarga kami.

Ketika aku masih kecil, saat itu rezeki seringkali menjadi hal langka bagi keluarga kami. Meski begitu, ibu selalu berusaha untuk memastikan anak-anaknya tidak kelaparan. Aku masih jelas ingat bagaimana ibu mengorbankan porsinya sendiri saat makan, dengan penuh kasih berkata, "Aku tidak lapar, nak." Setiap suapan yang kami ambil menjadi pengingat betapa besar pengorbanan seorang ibu.

Saat aku mulai memasuki masa remaja, tantangan hidup semakin berat. Ibu dengan gigihnya mencari cara untuk membiayai pendidikan abang dan kakakku. Aku masih teringat bagaimana suatu malam, aku bangun dan melihat ibu bekerja keras menempel kotak korek api demi mencari tambahan penghasilan.

Dengan senyum lembut, ibu berkata, "Cepatlah tidur, aku tidak penat," meski tubuhnya terlihat lelah karena usahanya yang tanpa henti.

Pada masa sekolah menengah, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kepentingan hidup. Di suatu malam, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api.

Aku berkata: "Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih harus kerja." Ibu tersenyum dan berkata: "Cepatlah tidur nak, aku tidak penat."

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental.

Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata: "Minumlah nak, aku tidak haus!"

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai keperluan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan.

Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang pakcik yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata: "Saya tidak butuh cinta."

Dari cerita di atas, saya yakin teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan: "Terima kasih, ibu..!" Coba dipikir-pikir, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah dan ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu untuk berbincang dengan mereka?

Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan mereka yang kesepian di rumah.

Jika dibandingkan dengan pasangan kita, kita pasti lebih peduli dengan mereka. Namun, apakah kita semua pernah merisaukan kabar dari orangtua kita? Apakah kita sudah memastikan bahwa mereka baik-baik saja dan bahagia?

Jangan biarkan kata "MENYESAL" menghantui kita di kemudian hari. Di waktu kita masih memiliki kesempatan untuk membalas budi orangtua kita, lakukanlah yang terbaik. Berikan mereka cinta, perhatian, dan waktu yang layak mereka terima. Karena ketulusan dan pengorbanan mereka tak ternilai harganya.

Terima kasih, ibu, atas semua pengajaran dan inspirasi yang engkau berikan. Semoga kisahmu menjadi sumber kekuatan bagi kita semua dalam mengarungi bahtera kehidupan yang penuh dengan gelombang dan ombak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun