Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sebongkah Ketegaran Hati Ha-Yoon

16 Februari 2024   20:31 Diperbarui: 16 Februari 2024   20:48 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen, Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Aku masih terpaku dan sulit berkata-kata ketika Ha-Yoon menceritakan apa yang terjadi sebenarnya di malam terakhir kami bertemu lima tahun lalu dan baru bertemu kembali secara tak sengaja di Incheon kemarin.

"Sesampai di apartemen, aku tiba-tiba menangis. Entah menyesal, entah bahagia karena kesucianku kuberikan pada laki-laki yang benar-benar aku cintai yang telah mengakhiri hubungan cinta kami selama 2 tahun," Ha-Yoon melanjutkan ceritanya tentang kejadian malam itu.

"Aku sadar, tak mungkin bersama lelaki itu, ya aku tak mungkin hidup bersamamu karena kita akan terpisah tempat. Dan, seperti katamu, budaya dan keyakinan kita sangat berbeda. Aku tak mengenal Tuhan, sementara kamu dari keluarga Muslim yang taat. Keluargamu tak mungkin menerimaku untuk menjadi pasangan hidupmu," aku menghela nafas panjang mendengarkan kata-kata Ha-Yoon.

Belum aku berkomentar apa pun, Ha-Yoon meneruskan ceritanya,"Waktu pun berlalu, aku kembali ke Seoul dan mulai bekerja di korporasi yang memberikan bea siswa untukku. Aku pun menjadi sangat sibuk dengan dunia baruku setelah menyelesaikan kuliah. Tiga bulan setelah malam itu, mendadak kepalaku pusing dan badanku meriang serta mual-mual. Aku kira aku kecapean."

"Namun, aku seperti tersadar, bahwa selama tiga bulan ini aku tidak kedatangan tamu bulanan sebagai seorang wanita. Ibuku menyuruhku ke dokter. Malam itu aku ditemani ibuku ke dokter. Dan, aku sangat terkejut ketika dokter menyatakan aku hamil," lidahku keluh mendengarkan cerita Ha-Yoon, namun aku mulai bisa menguasai diri.

"Mengapa kamu tidak menghubungi aku mengabarkan kejadian itu, bukankah bayi yang ada dalam kandunganmu adalah darah dagingku?" aku pun mulai bersuara.

"Ketika aku meninggalkanmu yang tertidur setelah terjadinya hubungan yang tidak kamu sadari itu, aku telah bertekad untuk tidak akan menghubungi dan mengganggumu karena kita sudah sepakat mengakhiri hubungan kita," jelas Ha-Yoon.

"Apa tanggapan ibumu dengan kejadian itu?" tanyaku kepada Ha-Yoon.

"Pertama mendengar itu, Ibu kaget dan terdiam. Beliau tidak menyangka aku hamil dan kemudian ketika sampai di rumah, Ibu bertanya siapa yang menghamiliku dan sejauhmana hubunganku dengan lelaki yang menghamiliku tersebut," Ha-Yoon tetap tenang menyampaikan semua itu.

"Lalu, aku bercerita bahwa aku hamil bersamamu, dan aku jelaskan kepada Ibu bahwa kita hanya sekali melakukan hubungan itu karena terlalu banyak minum soju. Sebelumnya selama dua tahun hubungan kita, kusampaikan pada Ibu bahwa kita tidak pernah melakukan hubungan sejauh itu," Ha-Yoon melanjutkan kisahnya.

"Apakah ibumu menerima kondisimu yang tiba-tiba hamil tersebut?" aku menjadi ingin tahu sikap ibunya.

"Ibu kemudian bertanya padaku apa yang akan aku lakukan dengan kehamilan ini, apakah aku akan minta pertanggungjawabanmu atau akan menggugurkan kandungan itu," mata Ha-Yoon terlihat menerawang dan ada sedikit genangan airmata mengantung.

"Lantas, apa yang kamu sampaikan pada Ibu?" celetukku penasaran.

"Aku sampaikan kepada Ibu, bahwa aku akan mempertahankan kehamilan ini dan akan merawat dan menjaga yang ada dalam kandunganku hingga bayi itu lahir dan dewasa. Dan Ibu bertanya, apakah kamu tidak meminta pertanggugjawaban, Gafar. Aku jawab tidak, aku akan membesarkannya seorang diri," ketegaran Ha-Yoon yang kukenal sejak semester pertama perkuliahan tampak nyata pada dirinya.

"Aku, benar-benar tidak tahu malam terakhir itu ternyata ada peristiwa yang membuat sesuatu tidak berakhir", aku mendesis dan menyesalkan peristiwa itu dengan mengapa setelah malam itu aku sama sekali tak pernah menghubungi Ha-Yoon lagi. Bukankah kami mengakhiri hubungan itu secara baik-baik, tetapi mengapa aku seperti seseorang yang ingin menghapus jejak hidupku bersama Ha-Yoon.

"Aku, memang tidak ingin kamu tahu, biarlah itu menjadi cerita hidupku sendiri," tegas Ha-Yoon.

"Bagaimana selanjutnya dengan kehamilanmu?" tanyaku terlontar begitu saja.

"Seperti kataku tadi, aku merawat bayi dalam kandungan itu hingga lahir dengan sempurna, dan aku membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Pada saat melahirkan, aku pun mendapatkan izin cuti dari pekerjaanku. Ayah dan ibuku sepenuhnya mendukungku," terang Ha-Yoon kepadaku.

"Kamu tidak merasa berat menjadi ibu tunggal?" tanyaku seperti orang bodoh.

"Aku tidak keberatan sama sekali, karena dengan adanya Dae-Hoon aku seperti punya semangat hidup yang membara. Dae-Hoon merupakan sinaran dari lelaki yang aku cintai, tetapi tak mungkin untuk membersamainya. Aku bahagia bersamanya, dan karirku melesat berkembang bersama bertumbuhnya Dae-Hoon dari seorang bayi menjadi anak kecil yang manis," dadaku semakin sesak mendengarkan kisah Ha-Yoon.

Ha-Yoon melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak mau mengganggumu karena memang kita sudah sepakat mengakhiri hubungan kita, tetapi sebenarnya di hatiku menyimpan cinta yang sangat dalam kepadamu. Aku sadar kita tak mungkin bersatu karena perbedaan kultur dan keyakinan. Namun, aku merasa Dae-Hoon adalah hadiah Yang Maha Kuasa untuk menemani hari-hariku dengan cinta dan kasih sayang."

"Andai setelah kejadian itu, kamu berkabar kepadaku, tentu akan lain ceritanya," aku seakan menyanggah kata-kata Ha-Yoon.

"Seperti yang telah kusampaikan, aku tidak mau mengganggumu dan hal itu akan merusak hubunganmu dengan keluargamu," tegas Ha-Yoon.

Ha-Yoon melanjutkan kata-katanya, "Memang, ada sedikit hal yang mulai menggangguku, ketika Dae-Hoon melihat teman-temannya di playgroup yang memiliki Ayah. Aku belum bisa menjawabnya. Aku agak bingung apakah aku harus mengatakan bahwa Ayahnya sudah meninggal atau Ayah pergi meninggalkan kami sejak Dae-Hoon belum lahir. Hingga akhirnya secara tak sengaja ketika kami baru mendarat dari Amerika, Dae-Hoon berlari-lari dan menabrakmu sehingga kita akhirnya berjumpa."

Terdengar Ha-Yoon menarik nafas panjang, "Namun, aku tak akan pernah meminta pertanggungjawabanmu karena itu sudah kuputuskan sejak perpisahan kita di malam terakhir lima tahun yang lalu."

"Jadi apa yang bisa kulakukan untuk itu?" tanyaku seperti seorang bodoh yang tidak tahu apa-apa.

"Jika kau memang berkenan, kamu bisa menemui Dae-Hoon selama kamu di Seoul. Nanti secara perlahan akan aku sampaikan kepadanya bahwa kamu adalah Ayahnya, tetapi kita tidak mungkin untuk bersatu sebagaimana sebuah keluarga yang lengkap," aku benar-benar merasakan wanita itu begitu tegar seakan-akan semuanya biasa saja.

"Aku yakin, kamu sudah punya penggantiku, bahkan mungkin juga sudah punya anak dari pasanganmu. Aku tidak mau mengganggumu, walau aku sangat mencintaimu. Kamu adalah satu-satunya lelaki yang pernah dekat denganku. Sejak sekolah menengah, teman-temanku sudah punya pacar, tetapi tidak ada seorang lelaki pun yang dekat denganku hingga aku mendapat gelar Bachelor dan melanjutkan kuliah Master, lalu bertemu denganmu di semester pertama hingga kita sepakat mengakhiri hubungan kita setelah kita meraih Master. Biarlah Dae-Hoon menjadi pengganti cintaku dan penyemangat hidupku," Ha-Yoon terus melanjutkan kata-katanya tanpa ada nada gentar sama sekali.

"Sekali lagi, jika kamu memang bersedia, datanglah melihat Dae-Hoon, dan tinggalkan kesan baik untuknya selama kamu ada di sini, dan setelah itu lupakan, biar selanjutnya aku yang mengaturnya," tegas Ha-Yoon dan membuatku seperti ayam sayur yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Pikiranku menerawang, terbayang dosa yang telah kulakukan dan teringat istri dan anakku yang berusia dua tahun di tanah air yang kemarin melepasku di Bandara untuk berangkat ke Seoul.

Aku bingung, apa yang terbaik yang harus kulakukan saat ini agar aku tak menyesal di kemudian hari?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun