Saudaraku yang kusayangi,
Hidup mulia menjadi dambaan bagi sebagian besar orang, dan banyak yang bersedia melakukan segala cara untuk mencapainya. Upaya mengejar jabatan tinggi, mengumpulkan harta, dan meraih gelar akademik tertinggi seringkali dianggap sebagai jalan menuju kemuliaan.
Namun, penting untuk merenung bahwa konsep kemuliaan tidak selalu sejalan dengan pencapaian-pencapaian materi atau status sosial semata.
Jika kita mengukur kemuliaan seseorang berdasarkan jabatan, kekayaan, atau kecerdasan semata, maka kita diingatkan pada cerita Firaun, Qarun, dan Hawan dalam Al-Qur'an. Meskipun mereka mencapai puncak dalam hal-hal tersebut, namun di sisi Allah Azza wa Jalla, mereka termasuk golongan yang tercela.
Firaun, seorang penguasa dengan kekuasaan yang besar, diabaikan oleh keagungan Allah karena kezalimannya. Qarun, yang memiliki harta berlimpah, mengalami kehancuran karena kesombongannya dan ketidakadilan terhadap sesama. Hawan, dengan kecerdasan luar biasa, pun tidak terlepas dari akibat perbuatannya yang menyimpang.
Dari kisah-kisah tersebut, kita diajak untuk merefleksikan bahwa kemuliaan sejati tidak hanya ditemukan dalam pencapaian dunia semata. Kemuliaan yang hakiki bersumber dari ketakwaan, keadilan, dan kebermanfaatan bagi sesama.
Menjadi manusia yang mulia di sisi Allah tidak hanya tentang jabatan, harta, atau kecerdasan, melainkan tentang integritas moral dan kepatuhan terhadap nilai-nilai agama.
Marilah kita introspeksi diri dan memperbaiki niat dalam mengejar kemuliaan. Jangan sampai kita terjebak dalam pandangan yang sempit, melainkan percayalah bahwa kehidupan yang mulia sejati adalah yang senantiasa mencari keridhaan Allah dan memberikan manfaat kepada sesama. Dengan demikian, kita dapat mencapai kemuliaan yang kekal, melebihi keduniawian yang fana dan sementara.
Saudaraku yang terkasih,
Dalam kitab "Manaqib Asy-Syafi'i" karya Al-Baihaqi, Imam Syafi'i memberikan pandangan yang mendalam mengenai kemuliaan seseorang. Menurutnya, terdapat tiga hal yang menunjukkan kemuliaan yang sesungguhnya:
- Mampu Menyembunyikan Kemiskinan:Â Imam Syafi'i menyatakan bahwa tanda kemuliaan seseorang adalah kemampuannya menyembunyikan kemiskinan, sehingga orang-orang di sekitarnya mengira bahwa dirinya adalah orang yang berkecukupan. Hal ini dilakukan bukan untuk menyembunyikan kelemahan, tetapi sebagai bentuk menjaga kehormatan diri dan menghindari merepotkan orang lain.
- Mampu Menyembunyikan Kemarahan:Â Menurut Imam Syafi'i, orang yang benar-benar mulia adalah yang mampu menyembunyikan kemarahannya. Dengan kata lain, dia bisa menahan emosinya dan membuat orang lain berpikir bahwa dia rela atau tidak marah, meskipun mungkin di dalam hatinya sedang dilanda kemarahan. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan konflik dan prasangka buruk dari orang lain terhadap dirinya.
- Menyembunyikan Kesulitan:Â Imam Syafi'i juga menekankan pentingnya menyembunyikan kesulitan dan kesusahan. Orang yang benar-benar mulia adalah yang mampu menyembunyikan segala kesulitan yang dialaminya, sehingga orang di sekitarnya berpikir bahwa dia adalah orang yang senantiasa hidup dalam kenikmatan dan kecukupan.
Begitu banyak orang yang menginginkan kemuliaan, namun tidak semua mau memahami hakikat sejati dari kemuliaan itu sendiri. Kemuliaan sejati bukanlah semata-mata tergantung pada jabatan, kekayaan, atau kecerdasan, melainkan lebih pada integritas moral dan keteguhan dalam menjalani kehidupan.
Untuk mencapai kemuliaan sejati, kita perlu memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan oleh ajaran agama dan bijak moralitas dengan hidup bersahaja, tidak menonjolkan diri dalam kekayaan harta dan kekuasaan jabatan.
Saudaraku yang terkasih,
Di sisi lain, kemuliaan seorang hamba benar-benar terletak pada ketaatannya dalam menjalankan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla. Kekuatan seorang Muslim dapat ditemukan dalam rasa tawakkalnya kepada Allah, dan rasa qanaah (berkecukupannya) tercermin dalam keistiqamahannya dalam berdoa memohon segala hajat kepada Allah.
Keselamatan seseorang terletak pada kualitas baik dalam menjalankan shalat, dan kebahagiaan dapat ditemukan dalam ketaatan kepada orang tua, silaturrahmi, dan berbuat baik kepada sesama.
Allah Azza wa Jalla menegaskan bahwa kehinaan dan kerugian seorang hamba terletak pada kecintaannya yang berlebihan kepada dunia, lupa terhadap kehidupan akhirat, serta berpaling dan tidak melaksanakan ibadah kepada-Nya.
Firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharap pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan" (QS. Yunus: 7-8).
Allah juga menegaskan bahwa orang yang zhalim adalah orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat-Nya namun berpaling. Allah berfirman, "Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang dosa" (QS. Sajadah: 22).
Kisah ummat-ummat terdahulu menjadi pelajaran berharga bagi kita. Allah memberikan nikmat berupa umur panjang, kekuatan fisik, pendengaran, dan penglihatan kepada mereka, namun semuanya tidak bermanfaat karena mereka mengabaikan ibadah kepada Allah dan terus mengingkari ayat-ayat-Nya.
Allah menegaskan bahwa semua kebaikan terkumpul dalam ibadah kepada-Nya, sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Semoga kita semua mendapatkan hidayah-Nya, agar tetap istiqamah dalam menjaga kemuliaan diri demi meraih ridha-Nya.
Wallahua'lam bishawab
WassalamÂ
Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H