Ketika kita memasuki era digital yang dipenuhi dengan informasi seketika, media sosial, dan koneksi konstan, konsep waktu tampaknya mengalami transformasi tak terduga. Digitalisasi telah merambah ke setiap aspek kehidupan kita, mengubah cara kita memahami dan merasakan waktu.
Seiring loncatan digitalisasi yang tak kenal lelah, pengalaman waktu menjadi lebih subjektif daripada sebelumnya. Tanpa henti memeriksa ponsel cerdas, membaca berita di media sosial, dan terus-menerus terhubung secara daring, kita mungkin merasa terhubung tetapi, pada saat yang sama, terpisah dari aliran waktu konvensional.
Bagaimana perubahan ini memengaruhi persepsi waktu kita? Apakah digitalisasi membuat waktu semakin terfragmentasi atau malah mempercepat laju pengalaman waktu kita? Dalam mengejar informasi dengan kecepatan cahaya, apakah kita kehilangan sesuatu yang berharga dalam pengalaman waktu kita? Apakah kita benar-benar terhubung dengan orang di sekitar kita, ataukah kita hanya terikat dalam ruang digital yang tanpa batas?
Mari kita merenungkan apakah, dalam upaya untuk terus maju secara digital, kita kehilangan kekayaan dalam memahami, menghargai, dan menjalani waktu dengan penuh kesadaran.
Sementara dunia digital membawa manfaat luar biasa, mari kita selidiki apakah ada sesuatu yang hilang di tengah loncatan teknologi ini, dan apakah waktu benar-benar dapat diukur oleh detik dan like digital.
Pengalaman waktu kita, pada dasarnya, bersifat subyektif. Ia melibatkan perasaan peralihan, aliran pengalaman yang tak terputus. Waktu adalah proses berkelanjutan yang melekat pada eksistensi kita.
Sebelum era televisi, berita disampaikan melalui film pendek sebelum film utama dimulai. Mereka sering kali menampilkan gerakan yang tak terhindarkan atau perjalanan waktu ke rumah penonton dengan gemuruh terompet dan kekacauan seremonial lainnya. Citra bumi yang berputar muncul di layar dengan sorakan singa, diikuti oleh pernyataan yang menggetarkan, seolah-olah itu adalah pemikiran yang luar biasa: "WAKTU BERJALAN!"
Tanpa gemuruh dan sorak-sorai, kita tetap harus mengakui kenyataan ini sebagai kebenaran yang tak terhindarkan. "Waktu tidak menunggu siapa pun," seperti yang terdengar dalam lirik lagu yang lebih lembut, "Dia melewatimu seperti bunga di musim semi atau awan di langit."
Semoga contoh-contoh di atas dapat membangkitkan kesadaran kita akan kenyataan bahwa esensi waktu yang paling langsung dan nyata adalah perjalanan keberadaan yang terus menerus, tanpa putus.
Waktu mungkin tidak berhenti, tetapi pasti bisa melambat hingga merayap atau terbang sebelum kita menyadarinya. Bagaimana kita mengalami dimensi ini bervariasi dari satu individu ke individu lainnya.
Variabilitas ini bergantung pada perubahan suasana hati dan minat kita. Artinya, pengalaman konkret kita terhadap waktu bersifat subjektif dan pribadi daripada bersifat bersamaan dan bersifat publik.
Misalnya ketika saya mengajar, di dalam ruang kelas, waktu tak terhindarkan terus berlalu, tetapi terkadang saya menyadari bahwa waktu berjalan dengan "lambat dan sangat lambat sampai akhir waktu yang tercatat" bagi beberapa siswa. Akan tetapi, waktu bisa terbang dengan cepat saat sepasang kekasih berpisah di stasiun kereta api, bandara, atau pelabuhan, berharap waktu bisa berhenti - membiarkan momen itu berlangsung selamanya.