Zakat, sebagai kewajiban ekonomi dalam Islam, memiliki peran yang sentral dalam menjaga keadilan sosial dan ekonomi.
Al Quran dengan tegas menyatakan kewajiban zakat, dan penyebutan kata "zakat" muncul sebanyak 30 kali, seringkali beriringan dengan perintah sholat. Keterkaitan ini menciptakan hubungan harmonis antara dimensi ibadah kepada Allah dan ibadah sosial kepada sesama manusia.
Dalam Al Quran, zakat juga disebut dengan beberapa istilah, termasuk shadaqah, haq, nafaqah, dan afuw. Penting untuk memahami perbedaan penggunaan istilah ini, di mana "zakat" digunakan untuk shadaqah wajib, sementara "sedekah" untuk shadaqah sunah.
Harta yang dikeluarkan untuk zakat memiliki tujuan suci, yakni mensucikan diri dan menyuburkan harta, menunjukkan kebenaran iman.
Zakat bukan hanya ibadah individual; ini adalah manifestasi gotong-royong antara orang kaya dan fakir miskin. Dalam ajaran Islam, zakat dianggap sebagai pembeda antara keislaman dan kekafiran, antara keimanan dan kemunafikan, serta antara ketaqwaan dan kedurhakaan.
Dalam konteks ekonomi, zakat bukan sekadar redistribusi kekayaan, tetapi juga solusi alternatif terhadap riba. Al Quran secara tegas menghapuskan berkah riba dan menyuburkan berkah sedekah.
Dalam pandangan Islam, kekayaan tidak boleh hanya terkonsentrasi pada kelompok tertentu, dan zakat menjadi instrumen untuk mewujudkan pemerataan keadilan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasi zakat belum sepenuhnya memenuhi potensinya.
Penerimaan zakat oleh Badan Amil Zakat (BAZ) masih rendah, sebagian karena kurangnya pengetahuan agama dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Masyarakat lebih cenderung menyalurkan zakat secara langsung, mengakibatkan zakat lebih berperan sebagai bantuan konsumtif sementara.
Pentingnya mengubah paradigma pendayagunaan zakat menjadi lebih profesional muncul sebagai solusi. Zakat harus lebih dari sekadar bantuan konsumtif; itu harus menjadi alat untuk memberdayakan masyarakat melalui pengembangan industri kecil dan mikro. Dana zakat harus digunakan untuk memberikan pelatihan, peralatan, dan dukungan materi agar masyarakat miskin dapat berdikari.
Zakat, infaq, dan sadaqah tidak hanya ada dalam ajaran Islam tetapi juga dalam agama-agama lain, seperti Hindu, Buddha, dan Kristen. Namun, ajaran Islam menekankan bahwa zakat bukan sekadar belas kasihan; itu adalah amanah yang harus dipenuhi oleh si kaya. Pembayaran zakat, menurut Rasulullah, tidak akan mengurangi kekayaan seseorang.
Pengelolaan zakat yang baik dapat menciptakan lingkungan sosio-ekonomi yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan investasi yang berkelanjutan. Peran lembaga publik, yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan zakat.
Dengan implementasi yang baik, zakat memiliki potensi untuk menjadi instrumen yang efektif dalam mencapai keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Dengan pendekatan yang profesional, zakat dapat menjadi pendorong utama untuk menciptakan lingkungan ekonomi yang berkelanjutan, berdikari, dan adil.
Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang mencita-citakan distribusi kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat, mengurangi ketidaksetaraan, dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, zakat bukan hanya tentang ibadah, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.
Membangun Masyarakat Berkelanjutan dengan Zakat
Dalam menggali lebih dalam peran zakat sebagai instrumen distribusi kesejahteraan dalam aktivitas ekonomi syariah, kita merangkai pilar-pilar keadilan sosial dan ekonomi. Zakat bukan hanya sekadar kewajiban keagamaan; ini adalah panggilan untuk membentuk masyarakat yang berdaya, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pengelolaan zakat yang profesional, melibatkan lembaga publik dengan dukungan pemerintah, swasta, dan masyarakat, merupakan langkah krusial untuk memaksimalkan dampaknya.
Dengan pendekatan ini, zakat dapat menjadi daya ungkit untuk mengatasi tantangan-tantangan sosial dan ekonomi, memungkinkan masyarakat miskin untuk mengangkat diri dari keterpurukan.
Kita tidak hanya berbicara tentang memberi bantuan sementara, tetapi juga tentang memberikan alat, pelatihan, dan peluang agar mereka dapat berkontribusi secara produktif dalam pembangunan ekonomi.
Dengan cara ini, zakat tidak hanya sekadar mengurangi kemiskinan, tetapi juga membuka pintu bagi kemandirian dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam dunia yang terus berkembang, zakat memiliki potensi besar untuk menjadi katalisator positif, membantu menciptakan lingkungan ekonomi yang adil, inklusif, dan berkeadilan. Ini adalah panggilan untuk melihat zakat sebagai investasi jangka panjang dalam kesejahteraan masyarakat, bukan hanya sebagai kewajiban singkat yang terlupakan.
Mari bersama-sama memahami dan menerapkan prinsip-prinsip zakat dengan bijak, agar ia tidak hanya menjadi amalan ritual, tetapi juga menjadi kekuatan mendorong perubahan positif dalam struktur sosial dan ekonomi.
Dengan zakat sebagai motor penggerak, kita dapat bersama-sama membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan, sebuah masyarakat yang menjadi bukti nyata dari kearifan Islam dalam mengatasi ketidaksetaraan dan menciptakan keadilan ekonomi yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H