Dalam rombongan yang menaiki 14 perahu, pada 23 Oktober 1771, mereka tiba di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Inilah tempat di mana hutan dibuka, pemukiman didirikan, dan kerajaan baru Pontianak muncul dengan masjid dan istana yang menjadi simbol keberanian dan keimanan.
Saat senja melabuhkan diri, suasana sekitar Masjid Jami semakin hidup. Masyarakat lokal berkumpul menjelang waktu magrib, menunggu dengan sabar untuk melaksanakan sholat berjamaah. Suara adzan mengalun, menciptakan harmoni yang menyatu dengan kegiatan sehari-hari masyarakat setempat.
Dari pelataran masjid, saya memutuskan untuk merenungi keindahan senja di tepian Sungai Kapuas. Cahaya senja yang memantul di permukaan air sungai menciptakan gambaran yang tak terlupakan. Sisi kota Pontianak di seberang sungai terlihat indah dengan gemerlapan lampu-lampu kota yang mulai menyala.
Berkunjung ke Pontianak tanpa singgah ke Keraton Kadriyah dan Masjid Jami rasanya seperti melewatkan sejarah yang hidup. Kedua bangunan ini, meskipun berbeda dalam fungsi dan arsitektur, bersatu padu mengisahkan perjalanan panjang Kota Pontianak.
Seiring matahari terbenam dan lampu-lampu kota mulai bersinar, saya merenung tentang keindahan dan kebijaksanaan para pendiri kota ini. Pontianak, sebuah kota yang tumbuh dari perjalanan dan persatuan, masih menjaga keagungan sejarahnya dalam setiap batasan Keraton Kadriyah dan doa yang mengalun di Masjid Jami.
Setiap kunjungan menjadi sebuah episode dalam buku hidup Kota Pontianak, yang tak pernah berhenti menawarkan keindahan dan kekayaan sejarahnya kepada para pengunjungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H