Baru saja menuntaskan semua tugas check-in dan pengecekan bagasi, ponselku berbunyi. Layar memperlihatkan panggilan dari Ayah. Aku menjawab, "Assalaamulaikum, Ayah di mana?"
Suara Ayah terdengar, "Ayah di depan pintu keberangkatan, masih sempat bertemu Alif?"
Rindu padanya memenuhi diriku sejak semalam. Aku ingin dia yang melepas keberangkatan ini, tapi tugasnya tak bisa ditinggalkan karena penggantinya sedang sakit. Sebelum adzan subuh, aku meninggalkan rumah menuju Bandara, dibantu oleh sahabat dan tetangga masa kecilku menuju pool Damri jurusan Bandara di Blok M. Tempat tinggalku berada di Blok S.
Aku menjawab, "Ya, Ayah. Alif masih punya waktu satu jam sebelum masuk ruang tunggu dan pemeriksaan imigrasi. Tunggu sebentar, Alif akan menyusul Ayah."
Sejak SMP, kami tinggal berdua setelah kepergian Ibu akibat Kanker Rahim. Ayah, seorang Satpam di kawasan Blok M, sangat menyayangiku dan bersikeras tidak ingin menikah lagi. Ketika aku lulus SMA, aku pernah mengajukan pertanyaan itu padanya. Alasannya simpel: dia takut aku akan mendapat ibu tiri yang tak mencintai.
Saat itu, aku menyarankan Ayah menikah lagi. Aku sudah cukup dewasa untuk merawat diri sendiri, bahkan jika ibu tiriku hanya mencintai Ayah. Namun, Ayah tidak pernah mengambil saran itu serius dan terus bertahan sebagai duda.
Di luar bandara, di teras keberangkatan, Ayah menanti. Aku segera mendekat, dan pelukan erat mengikuti. "Ayah, Alif akan selalu merindukan Ayah. Semoga kuliah Alif lancar dan bisa pulang tepat waktu ke tanah air."
Ayah merespon pelukanku dengan tetesan air mata di pipi kami. Dia berbisik, "Baik-baik di negeri orang, belajarlah sungguh-sungguh. Ayah menantimu di sini."
Aku berjanji untuk tidak mengecewakan Ayah. Jika bukan karena Ayah, mustahil bagiku melanjutkan S2 ke Jepang dan mendapatkan beasiswa dari Lembaga Persahabatan Alumni Jepang-Indonesia.
Sejak kepergian Ibu, Ayah bekerja sendirian untuk membiayai pendidikanku dan hidup kami berdua dari gaji Satpamnya. Jika Ayah tidak dinas malam, dia akan menemaniku belajar dan memberiku semangat. Selain sekolah di pagi hari, Ayah juga mengajakku belajar agama di sebuah madrasah sore hari.