Sejarah, Budaya, dan Arsitektur Sasak yang Memikat di Desa Sade
Pernahkah Anda merasa ingin menjelajahi budaya dan keindahan alam yang tak terduga di destinasi wisata yang berbeda? Itulah yang saya alami ketika saya memutuskan untuk berkunjung ke Desa Sade di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Perjalanan saya dimulai dengan sambutan hangat di pintu masuk Desa Sade. Hal pertama kali mencuri perhatian saya adalah arsitektur tradisional desa ini. Rumah-rumah di Desa Sade dibangun sepenuhnya dari bambu dengan atap yang terbuat dari alang-alang, menciptakan suasana desa yang penuh pesona. Desa seluas 5,5 hektar ini memiliki 150 rumah.Â
Setiap rumah terdiri dari satu kk, dengan jumlah penduduk sekitar 700 orang yang kesemuanya adalah suku Sasak Lombok. Semua penduduk di desa ini masih merupakan satu keturunan, karena mereka melakukan perkawinan antar saudara.
Saya sangat beruntung karena selama perjalanan ini, saya didampingi oleh masyarakat setempat yang telah dilatih menjadi pemandu wisata. Mereka memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan dan budaya Desa Sade, serta menjelaskan bahwa Desa Sade telah ditetapkan oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai destinasi wisata sejak tahun 1989 sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur NTB No. 2 Tahun 1989 tentang penetapan 15 kawasan pariwisata (Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara).
Sejarah Desa Sade yang Menawan
Cerita asal usul orang Sade yang paling umum adalah bahwa leluhur orang Sade berasal dari Jawa, mengikuti Hama Ratu Mas Sang Haji. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa orang Sade adalah keturunan dari kerajaan Hindu-Buddha di bawah pimpinan Raja A A Gede Karangasem.Â
Sejarah tersebut dapat dilihat dalam bentuk rumah mereka yang memiliki tiga tangga, yang merupakan simbol dari waktu telu. Semua ini menciptakan landasan sejarah yang dalam bagi masyarakat Sade dan budaya mereka yang unik.
Arsitektur Tradisional yang Memukau
Rumah-rumah di Desa Sade sangat erat berdekatan, menciptakan jalan setapak yang hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki. Keunikan arsitektur ini memberikan nuansa tradisional yang kental dan menunjukkan bagaimana masyarakat Sade mempertahankan cara hidup mereka selama berabad-abad.Â
Rumah-rumah ini memiliki tiga tingkat yang unik: bagian depan untuk tidur kaum pria dan orang tua, bagian tengah yang berisi dapur, lumbung, dan tempat tidur perempuan, serta bagian ketiga yang digunakan untuk tempat melahirkan.
Tradisi Kawin Culik: Ritual Perkawinan yang Unik
Salah satu pengalaman yang paling menarik adalah belajar tentang tradisi kawin culik di masyarakat Desa Sade. Pemuda Sasak yang ingin menikah akan menculik calon mempelainya pada malam hari.Â
Hal tersebut mungkin terdengar tidak biasa, tetapi dalam konteks budaya suku Sasak, ini adalah tahap awal dalam proses pernikahan. Setelah aksi culik-menculik, mempelai pria membawa calon istrinya ke rumah kerabat. Kemudian, pembicaraan tentang pernikahan akan dilakukan oleh keluarga dari kedua mempelai keesokan harinya.
Salah satu aspek menarik dari pernikahan di Desa Sade adalah perbedaan dalam mas kawin tergantung pada apakah mempelai pria menikahi gadis dari desa yang sama atau dari daerah lain. Ini menciptakan keunikan budaya yang menggambarkan hubungan erat antara pernikahan dan tradisi.
Kain Tenun: Keindahan dan Keterampilan di Balik Karya Seni
Dalam perjalanan ini, saya juga mendalami keterampilan tenun yang telah menjadi bagian integral dari budaya masyarakat Sade. Suku Sasak memiliki aturan adat yang mengatakan bahwa seorang perempuan Sasak tidak boleh menikah jika belum bisa menenun.Â
Ketrampilan menenun umumnya diajarkan kepada anak-anak perempuan pada usia muda, dan mereka menciptakan karya seni yang indah seperti kain songket, yang terbuat dari benang emas atau perak yang ditenun bersama dengan benang katun atau sutra.Â
Pembuatan kain songket membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, tergantung pada tingkat kerumitan polanya. Di sini kita dapat membeli langsung tenunan masyarakat tersebut dengan harga jauh lebih murah jika tenunan tersebut sudah dijual di berbagai artshop.
Penyelamatan Ekosistem di Lombok: Konsep Ekowisata
Pengalaman ini juga menunjukkan bagaimana Desa Sade telah mengadopsi pendekatan ekowisata yang mendukung pelestarian alam dan budaya mereka. Mengisi buku tamu dan memberikan kontribusi sukarela adalah cara bagi kita sebagai wisatawan untuk berpartisipasi dalam menjaga desa dan budaya mereka tetap hidup. Selain itu, kita dapat mendukung perekonomian masyarakat setempat dengan membeli produk tenunan dan kopi mereka.
Saya menemukan bahwa berlibur ke Desa Sade bukan hanya tentang pemandangan yang indah, tetapi juga tentang menyelam dalam kehidupan dan tradisi budaya yang kaya serta mendukung keberlanjutan lingkungan. Ini adalah pengalaman yang telah membuat saya semakin menghargai keanekaragaman budaya bangsa dan negeri tercinta Indonesia.
Melalui program #DiIndonesiaAja yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia, kita dapat lebih mendekatkan diri kepada keajaiban-keajaiban budaya yang ada di negeri ini. Semua ini mengingatkan saya bahwa kita memiliki kekayaan luar biasa di Indonesia yang menunggu untuk dieksplorasi, dihargai, dan dilestarikan.
Dengan hati yang penuh rasa terima kasih dan penghargaan, saya meninggalkan Desa Sade dengan kenangan yang tak terlupakan, dan keyakinan yang diperbaharui dalam pentingnya menjaga dan merayakan kekayaan budaya dan lingkungan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H