Â
Ketika kita berbicara tentang komunitas penulis daring yang beragam dan dinamis, Kompasiana adalah salah satu yang pertama kali terlintas dalam pikiran. Platform ini telah menjadi rumah bagi para penulis dari berbagai latar belakang dan keahlian sejak awal munculnya pada tahun 2008.
Namun demikian, dalam perjalanan panjangnya selama 15 tahun, Kompasiana telah mengalami transformasi yang signifikan, dan perubahan itu telah membentuknya menjadi apa yang kita lihat hari ini.
Saya sendiri telah menjadi bagian dari Kompasiana sejak awal munculnya pada tahun 2008. Aktivitas menulis saya di platform ini dimulai pada tahun 2011, dan saya terus berkontribusi hingga tahun 2015.
Akan tetapi, kesibukan membangun rumah sakit dan mengelola Yayasan Pendidikan membuat saya vakum menulis untuk Kompasiana sejenak. Hingga tahun 2020, saat dunia dihadapkan pada pandemi COVID-19, minat menulis saya terbangkitkan kembali.
Perjalanan saya di Kompasiana sejak tahun 2008 bukanlah tanpa hambatan. Saya mengalami peringatan pertama pada Mei 2022, setelah hampir 14 tahun menjadi Kompasianer, ketika salah satu artikel saya dituduh sebagai copy-paste dan plagiasi.
Artikel tersebut adalah hasil karya asli saya yang berisi foto-foto liputan terbaru tentang Masjid Raya di Banjarmasin. Kemudian, seiring berjalannya waktu, saya juga mendapatkan peringatan 'Oops' dan bahkan akun saya diblokir atas tuduhan plagiasi terhadap tulisan sendiri.
Selain itu, tulisan saya sebagian besar adalah hasil pembelajaran, sehingga wajar saja mengutip pendapat atau pelajaran dari berbagai sumber dan itu bisa saja dianggap menjiplak. Akan tetapi, hal yang tidak adil adalah begitu lebih 20% langsung dicap sebagai plagiat.
Cap plagiat dari Admin Kompasiana tersebut, telah menyebabkan sebuah bank membatalkan rencana kerjasama dengan saya untuk melakukan advisory transformasi di lembaganya. Dan, email saya pun terblokir di Kompas Media Group akibat diblokir oleh Admin Kompasiana hingga hari ini.