Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Revolusi Budaya Pekerja Jepang

13 September 2023   20:41 Diperbarui: 13 September 2023   21:48 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
File Merza Gamal, sumber gambar: news.gallup.com

Pergeseran dari Budaya "Pekerjaan Seumur Hidup" kepada Tingkat "Employee Engagement" Jepang yang Rendah Saat Ini

Jepang, sebuah negara yang dikenal dengan budaya "pekerjaan seumur hidup", menghadapi perubahan dramatis dalam kesejahteraan tempat kerja dan tingkat keterlibatan pekerja (employee engagement).

Pergeseran dari masa lalu yang dulu didominasi oleh loyalitas terhadap satu perusahaan hingga saat ini, di mana hanya sedikit pekerja yang merasa terlibat dalam pekerjaan mereka, memberikan sejumlah pelajaran yang berharga untuk pemberi kerja di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Artikel ini akan mengeksplorasi faktor-faktor yang menyebabkan perubahan ini dan mengapa tingkat keterlibatan pekerja adalah hal yang penting untuk diperhatikan.

Pergeseran Budaya "Pekerjaan Seumur Hidup"

Dahulu, Jepang terkenal dengan budaya "pekerjaan seumur hidup" atau dalam bahasa Jepang disebut "Shushin koyo". Konsep ini sangat kuat dan memiliki akar sejarah yang dalam dalam masyarakat Jepang. 

Pada masa lalu, banyak pekerja Jepang memulai karir mereka di satu perusahaan dan bertahan di sana hingga pensiun. Loyalitas terhadap perusahaan adalah prinsip yang sangat dijunjung tinggi, dan pekerja diharapkan untuk memberikan dedikasi penuh mereka kepada organisasi tempat mereka bekerja.

Budaya "pekerjaan seumur hidup" membawa sejumlah nilai positif. Ini menciptakan stabilitas dalam karir seseorang dan mengurangi ketidakpastian pekerjaan. Pekerja merasa memiliki jaminan pekerjaan yang relatif tinggi, bahkan selama masa-masa sulit dalam ekonomi. Selain itu, budaya ini sering kali menciptakan hubungan yang kuat antara karyawan dan perusahaan, yang dapat memperkuat kerjasama jangka panjang.

Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan dalam dinamika ekonomi global, budaya "pekerjaan seumur hidup" mulai mengalami tantangan. Beberapa faktor yang menyebabkan perubahan ini meliputi:

  1. Perubahan Ekonomi: Perubahan ekonomi, termasuk resesi ekonomi, membuat banyak perusahaan mengurangi jumlah pekerjaan yang tersedia. Ini mengakibatkan lebih sedikit peluang bagi generasi muda untuk memasuki pasar kerja dengan konsep "pekerjaan seumur hidup."
  2. Kebutuhan akan Fleksibilitas: Pekerja muda sering memiliki keinginan untuk menjelajahi berbagai peluang karir, mengembangkan keterampilan beragam, dan mencari tantangan yang berbeda. Konsep "pekerjaan seumur hidup" mungkin tidak lagi cocok dengan aspirasi dan nilai-nilai generasi yang lebih muda.
  3. Teknologi dan Inovasi: Kemajuan teknologi telah mengubah cara bisnis dijalankan. Perusahaan-perusahaan mungkin lebih cenderung untuk mencari keahlian khusus atau inovasi yang dapat ditemukan di luar organisasi mereka sendiri.
  4. Ketidaksetaraan Gender: Budaya "pekerjaan seumur hidup" sering kali menciptakan ketidaksetaraan gender dalam kesempatan karir. Wanita sering kali mengalami kendala dalam mencapai posisi kepemimpinan dalam budaya ini.
  5. Aspirasi Generasi Muda: Generasi yang lebih muda sering memiliki ambisi yang lebih besar untuk mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta menggabungkan berbagai pengalaman kerja dalam karir mereka.

Pergeseran dari budaya "pekerjaan seumur hidup" ke model karir yang lebih dinamis dan beragam mencerminkan adaptasi Jepang terhadap tantangan zaman. Meskipun budaya ini masih ada dan memiliki tempat dalam masyarakat Jepang, pengakuan akan perubahan ini menjadi kunci untuk memahami tren dalam tingkat keterlibatan pekerja dan kesejahteraan tempat kerja saat ini.

Rendahnya Tingkat Keterlibatan Pekerja (Employee Engagement)

Rendahnya tingkat keterlibatan pekerja adalah salah satu tantangan kritis yang dihadapi Jepang dalam konteks kesejahteraan tempat kerja. Menurut laporan State of the Global Workplace yang diterbitkan oleh Gallup, hanya 5% dari pekerja Jepang pada tahun 2022 yang merasa terlibat dan antusias dengan pekerjaan mereka. Angka ini menciptakan perbedaan yang sangat mencolok dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 23%.

Namun, mengapa tingkat keterlibatan ini begitu rendah dan mengapa penting untuk diperhatikan?

Rendahnya tingkat keterlibatan pekerja memiliki dampak yang signifikan, bukan hanya pada individu, tetapi juga pada organisasi secara keseluruhan:

  1. Produktivitas yang Rendah: Karyawan yang tidak terlibat dalam pekerjaan mereka cenderung kurang produktif. Mereka mungkin melakukan tugas mereka secara otomatis tanpa memberikan kontribusi tambahan yang berarti.
  2. Kesejahteraan yang Rendah: Karyawan yang merasa tidak terlibat dalam pekerjaan mereka lebih mungkin mengalami stres, kelelahan, dan kekecewaan. Ini dapat berdampak negatif pada kesejahteraan fisik dan mental mereka.
  3. Kesehatan Organisasi yang Buruk: Rendahnya tingkat keterlibatan pekerja dapat menciptakan ketidakstabilan dalam organisasi. Ini dapat menyebabkan tingkat turnover yang tinggi, konflik internal, dan kesulitan dalam mencapai tujuan bisnis.

Berbagai faktor telah mengontribusikan pada rendahnya tingkat keterlibatan pekerja di Jepang:

  1. Budaya Kerja yang Demanding: Jepang memiliki budaya kerja yang sangat berfokus pada produktivitas dan dedikasi terhadap perusahaan, yang sering memaksa pekerja untuk bekerja lembur dan kurang memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
  2. Tekanan Kerja yang Tinggi: Tekanan kerja yang tinggi dan tuntutan yang berlebihan dapat menyebabkan stres dan kelelahan di tempat kerja, mengurangi tingkat keterlibatan pekerja.
  3. Kebijakan Perusahaan yang Tidak Mendukung: Beberapa perusahaan mungkin memiliki kebijakan yang tidak mendukung kesejahteraan karyawan, seperti jam kerja yang sangat panjang atau kurangnya fleksibilitas dalam jadwal kerja.

Pelajaran untuk Pemberi Kerja di Indonesia

Kisah Jepang memberikan sejumlah pelajaran berharga bagi pemberi kerja di seluruh dunia, termasuk Indonesia:

  1. Keseimbangan Antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi: Mendorong keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi adalah kunci untuk meningkatkan keterlibatan pekerja. Memberikan fleksibilitas dalam jadwal kerja dan mendukung cuti yang lebih seimbang adalah langkah yang penting.
  2. Perhatikan Kesejahteraan Karyawan: Kesejahteraan karyawan, baik fisik maupun mental, adalah aspek yang harus diperhatikan. Karyawan yang merasa dihargai dan didukung cenderung lebih terlibat dalam pekerjaan mereka.
  3. Budaya Kerja yang Kolaboratif: Mendorong budaya kerja yang berfokus pada kolaborasi, umpan balik positif, dan penghargaan terhadap kontribusi karyawan dapat meningkatkan keterlibatan.
  4. Kebijakan yang Mendukung Kesetaraan: Menciptakan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dan peluang yang adil bagi semua karyawan adalah langkah yang penting.

Penutup: Menuju Masa Depan yang Lebih Baik

Pergeseran budaya "pekerjaan seumur hidup" hingga rendahnya tingkat keterlibatan pekerja di Jepang bukan hanya cerita tentang satu negara, melainkan juga merupakan refleksi dari perubahan global dalam dunia kerja.

Budaya yang dulu sangat kuat dan mapan telah mengalami evolusi signifikan, dan pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman Jepang menjadi berharga bagi semua pemberi kerja di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Memahami faktor-faktor yang memengaruhi keterlibatan pekerja adalah langkah pertama menuju menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik. Kesejahteraan pekerja adalah investasi yang penting bagi kesuksesan jangka panjang suatu organisasi.

Berfokus pada keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, memastikan fleksibilitas dalam jadwal kerja, memberikan pelatihan dan pengembangan kepada karyawan, dan menciptakan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender adalah langkah-langkah yang dapat membantu meningkatkan keterlibatan pekerja.

Dalam era globalisasi dan perubahan budaya, adaptasi dan inovasi dalam cara kita memandang pekerjaan dan karyawan adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Menghargai kontribusi individu, membangun lingkungan kerja yang inklusif, dan memprioritaskan kesejahteraan adalah langkah yang bijak.

Semua pemberi kerja memiliki peran penting dalam membentuk dunia kerja yang lebih produktif, berkelanjutan, dan manusiawi. Dengan demikian, kita dapat bergerak maju menuju masa depan yang lebih baik bagi semua pekerja di seluruh dunia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun