Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Wisata Sejarah di Rumah Cut Nyak Dhien

17 Juni 2023   17:39 Diperbarui: 29 Juni 2023   14:00 1171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Cut Nyak Dhien. (sumber: kmdikbud.go.id)

Menelusuri Perjuangan Pahlawan Nasional Perempuan Aceh dalam Menggapai Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Aceh, sebuah tanah yang kaya akan sejarah dan perjuangan. Di sini, terdapat sebuah tempat yang mengabadikan semangat dan tekad kuat seorang pahlawan nasional perempuan, Cut Nyak Dhien. 

Rumah Cut Nyak Dhien, terletak di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, adalah saksi bisu dari perjalanan panjang perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda. 

Dalam kunjungan ke rumah ini, kita dapat merasakan aura dan semangat perjuangan yang membara serta memahami sejarah Indonesia yang tak terpisahkan dari peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Rumah Cut Nyak Dhien, meskipun merupakan replika dari bangunan aslinya yang dibakar oleh Belanda pada tahun 1896, memberikan nuansa dan pengalaman yang autentik. Sebuah rumah panggung khas Aceh beratap rumbia dan disangga oleh 65 tiang kayu ulin yang kokoh dibangun kembali pada tahun 1981-1982. 

Kayu ulin merah berkualitas tinggi digunakan dalam pembangunan rumah ini, menambah keindahan dan kekuatan struktur bangunan. Kehebatan konstruksi rumah ini terbukti saat Aceh dilanda gempa dan tsunami pada tahun 2004. 

Meskipun bencana tersebut menghancurkan sebagian besar wilayah, Rumah Cut Nyak Dhien tetap berdiri tegak dan bahkan menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat sekitar.

Sumber gambar: Dokumen Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumen Merza Gamal

Saat memasuki rumah, pengunjung akan melalui anak tangga di sisi kanan bangunan. Di dalam, pengunjung akan disambut oleh ruangan lapang yang digunakan sebagai tempat berkumpul dan merencanakan strategi melawan Belanda pada masa lampau. 

Pada dinding ruangan, terdapat foto-foto perjuangan rakyat Aceh yang menjelma menjadi saksi bisu sejarah. Jika diperhatikan dengan saksama, salah satu foto menampilkan wajah asli Cut Nyak Dhien ketika ia berada dalam pengasingan di Sumedang, Jawa Barat. 

Sebuah bukti bahwa semangat dan perjuangan beliau tetap berkobar bahkan dalam kondisi yang sulit.

Satu hal menarik yang dapat ditemui di Rumah Cut Nyak Dhien adalah letak dua kamar dayang-dayang yang berada di sisi depan rumah. Sedangkan kamar Cut Nyak Dhien sendiri terletak di sisi belakang. 

Tata letak ini merupakan bagian dari strategi perlawanan, dimana jika Belanda menyerang rumah, mereka akan terkecoh dengan mendatangi terlebih dahulu kamar yang berada di depan. Kondisi ini memberi kesempatan pada Cut Nyak Dhien untuk meloloskan diri dan mempersiapkan perlawanan.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Di ruangan lain, pengunjung dapat melihat koleksi senjata tradisional Aceh yang digunakan dalam pertempuran melawan penjajah. Senjata-senjata tersebut mencakup pedang, tombak, keris, dan berbagai alat perang lainnya. 

Melalui koleksi ini, pengunjung dapat mendapatkan gambaran tentang keberanian dan ketangguhan para pejuang Aceh dalam melawan penjajah yang datang dengan kekuatan yang jauh lebih besar.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Salah satu peninggalan asli yang masih ada di Rumah Cut Nyak Dhien adalah sumur. Sumur tersebut sengaja dibangun setinggi dua meter pada masa itu sebagai langkah pencegahan agar Belanda tidak dapat meracuni air di dalamnya. Sumur tersebut menjadi bukti kecerdikan dan ketangguhan Cut Nyak Dhien dalam melindungi masyarakatnya dari ancaman musuh.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Saat ini, Rumah Cut Nyak Dhien buka setiap hari, mulai dari pukul sembilan pagi hingga pukul lima sore. Setiap harinya, puluhan hingga ratusan pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri, datang untuk mengunjungi rumah ini. 

Pada akhir pekan dan hari libur besar, jumlah pengunjung dapat meningkat hingga dua kali lipat. Wisatawan dari Malaysia juga sering mengunjungi Rumah Cut Nyak Dhien setelah mereka beribadah di Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di Kota Banda Aceh.

Meskipun usianya sudah mencapai empat puluh tahun, Rumah Cut Nyak Dhien tetap terawat dengan baik oleh para petugas yang merawatnya layaknya rumah mereka sendiri. 

Setiap sudut rumah ini dipelihara dengan cinta dan dedikasi, sehingga pengunjung dapat merasakan aura dan semangat perjuangan yang kuat yang mengisi setiap ruangan.

Mengunjungi Rumah Cut Nyak Dhien bukan hanya sekadar perjalanan wisata biasa, tetapi juga sebuah perjalanan mengenal sejarah dan menghormati perjuangan seorang pahlawan nasional perempuan yang berani menghadapi penjajah untuk memerdekakan Indonesia. Sejarah Cut Nyak Dhien mengawali perjalanan ini.

Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848, berasal dari keluarga bangsawan yang agamis di Aceh. Dari garis ayahnya, ia merupakan keturunan langsung Sultan Aceh. 

Namun, Cut Nyak Dhien memilih untuk melawan penjajah Belanda, daripada hidup dalam kenyamanan dan kemewahan. Cita-cita utamanya adalah membebaskan bangsanya dari kekuasaan para penjajah yang menindas.

Cut Nyak Dhien adalah sosok yang pantang menyerah. Suaminya, Ibrahim Lamnga, adalah seorang pejuang yang bertempur melawan Belanda. Setelah wilayah VI Mukim diserang, Cut Nyak Dhien mengungsi sementara suaminya bertempur. 

Namun, takdir tragis menimpa Cut Nyak Dhien ketika suaminya gugur di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878. Kematian Ibrahim Lamnga mengobarkan semangat perlawanan Cut Nyak Dhien menjadi lebih kuat lagi.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar (yang merupakan saudara sepupunya), seorang pejuang lain yang memiliki semangat perlawanan yang sama. 

Dari pernikahan ini, mereka memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, bersama-sama melanjutkan perjuangan melawan penjajah Belanda. 

Namun, takdir kembali menimpa Cut Nyak Dhien ketika pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur. Selanjutnya, Cut Nyak Dhien harus berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.

Meskipun Cut Nyak Dhien sudah tua dan tubuhnya digerogoti oleh berbagai penyakit, ia tetap tidak menyerah dalam memerangi penjajah. 

Akan tetapi, pada suatu hari, anggota pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya kepada Belanda karena iba melihat kondisinya yang rapuh. Cut Nyak Dhien akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.

Meskipun ditangkap dan diasingkan, Cut Nyak Dhien tetap memancarkan semangat perlawanan dan memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh. 

Oleh karena itu, Belanda memutuskan untuk mengasingkannya ke Sumedang, sebuah tempat yang jauh dari tanah kelahirannya. Di sana, Cut Nyak Dhien dirawat dan kondisi kesehatannya mulai membaik.

Di tengah pengasingannya di Sumedang, Cut Nyak Dhien tetap berperan aktif dalam mengajar agama kepada masyarakat sekitar. 

Ia melanjutkan perannya sebagai pemimpin dan penyemangat perjuangan. Meskipun ia menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya, semangat dan semarak perjuangannya tidak pernah padam.

Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dhien menghembuskan nafas terakhirnya. Wafatnya pahlawan ini menandai akhir perjalanan panjang perjuangannya. Namun, warisannya sebagai salah satu simbol perlawanan terhadap penjajahan masih terus dikenang dan dihormati.

Setelah kematian Cut Nyak Dhien, makamnya tidak diketahui secara pasti hingga tahun 1960. Pemerintah Daerah Aceh melakukan penelusuran dan berhasil menemukan makamnya di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat. 

Makam ini menjadi tempat bersejarah yang terus dikunjungi oleh masyarakat untuk mengenang dan menghormati perjuangan Cut Nyak Dhien.

Kini, Rumah Cut Nyak Dhien menjadi destinasi wisata sejarah yang penting di Aceh. Dengan mengunjungi rumah ini, pengunjung tidak hanya disuguhi pemandangan bangunan bersejarah yang indah, tetapi juga dapat mempelajari kisah perjuangan dan semangat juang Cut Nyak Dhien yang menginspirasi. 

Melalui kunjungan ke Rumah Cut Nyak Dhien, kita dapat menghargai nilai-nilai keberanian, semangat juang, dan perjuangan tanpa henti dari seorang pahlawan wanita yang berani melawan penindasan.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Wisata ke Rumah Cut Nyak Dhien tidak hanya memberikan pengalaman wisata sejarah yang unik, tetapi juga mengajarkan kita tentang pentingnya memahami sejarah dan menghargai perjuangan para pahlawan dalam memerdekakan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun