Pada akhir pekan dan hari libur besar, jumlah pengunjung dapat meningkat hingga dua kali lipat. Wisatawan dari Malaysia juga sering mengunjungi Rumah Cut Nyak Dhien setelah mereka beribadah di Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di Kota Banda Aceh.
Meskipun usianya sudah mencapai empat puluh tahun, Rumah Cut Nyak Dhien tetap terawat dengan baik oleh para petugas yang merawatnya layaknya rumah mereka sendiri.Â
Setiap sudut rumah ini dipelihara dengan cinta dan dedikasi, sehingga pengunjung dapat merasakan aura dan semangat perjuangan yang kuat yang mengisi setiap ruangan.
Mengunjungi Rumah Cut Nyak Dhien bukan hanya sekadar perjalanan wisata biasa, tetapi juga sebuah perjalanan mengenal sejarah dan menghormati perjuangan seorang pahlawan nasional perempuan yang berani menghadapi penjajah untuk memerdekakan Indonesia. Sejarah Cut Nyak Dhien mengawali perjalanan ini.
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848, berasal dari keluarga bangsawan yang agamis di Aceh. Dari garis ayahnya, ia merupakan keturunan langsung Sultan Aceh.Â
Namun, Cut Nyak Dhien memilih untuk melawan penjajah Belanda, daripada hidup dalam kenyamanan dan kemewahan. Cita-cita utamanya adalah membebaskan bangsanya dari kekuasaan para penjajah yang menindas.
Cut Nyak Dhien adalah sosok yang pantang menyerah. Suaminya, Ibrahim Lamnga, adalah seorang pejuang yang bertempur melawan Belanda. Setelah wilayah VI Mukim diserang, Cut Nyak Dhien mengungsi sementara suaminya bertempur.Â
Namun, takdir tragis menimpa Cut Nyak Dhien ketika suaminya gugur di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878. Kematian Ibrahim Lamnga mengobarkan semangat perlawanan Cut Nyak Dhien menjadi lebih kuat lagi.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar (yang merupakan saudara sepupunya), seorang pejuang lain yang memiliki semangat perlawanan yang sama.Â
Dari pernikahan ini, mereka memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, bersama-sama melanjutkan perjuangan melawan penjajah Belanda.Â