Menghadapi Tantangan dalam Menjadi Penulis dan Pembicara: Kisah Seorang Penulis yang Tidak Dihargai
Hai Kompasianer dan sahabat pembaca yang Kakek Merza cintai,
Terinspirasi tulisan Bu Ari Budiyanti, Engkong Felix, Bu Isti, pagi ini saya ingin berbagi dengan Anda semua pengalaman saya sebagai seorang penulis yang hidup di negeri tercinta kita, Indonesia. Saya yakin banyak di antara Anda yang juga memiliki mimpi dan semangat untuk berbagi ilmu serta pengalaman melalui tulisan. Namun, sayangnya, saya harus mengakui bahwa perjalanan menjadi seorang penulis belum selalu indah seperti yang saya harapkan.
Pengalaman dalam dunia penulisan sering kali tidak seindah yang diharapkan. Di negeri tercinta kita, Indonesia, menjadi seorang penulis belum selalu mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang layak. Sayangnya, perbedaan tersebut sangat kontras dengan pengalaman kita sebagai pembicara.
Profesi penulis seringkali tidak mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang sebanding dengan peran yang mereka mainkan dalam menyumbangkan karya-karya tulisnya. Di sisi lain, pembicara seringkali dihargai lebih tinggi dan diperlakukan dengan baik dalam acara-acara di mana mereka berbicara.
Saya seringkali merasa tidak dihargai dan dianggap rendah oleh banyak penerbit buku, redaksi media, dan admin blog. Mereka cenderung meremehkan peran dan kontribusi kita sebagai penulis. Saya yakin beberapa dari Anda juga pernah mengalami hal yang serupa. Rasanya tak terelakkan, perasaan kecewa dan frustrasi akan muncul di dalam hati kita.
Namun, meskipun menghadapi tantangan dan perlakuan yang tidak adil, saya tetap memilih untuk tidak menyerah pada impian saya sebagai seorang penulis. Saya percaya bahwa ilmu dan pengalaman yang tidak dibagikan akan hilang seiring berjalannya waktu. Karena itu, saya terus melangkah maju, berbagi tulisan-tulisan saya secara gratis kepada siapa pun yang ingin membacanya.
Di tengah perjuangan saya sebagai penulis, saya juga memiliki kesempatan menjadi seorang pembicara. Dan oh, betapa berbedanya perlakuan yang saya terima saat menjadi pembicara! Saya merasakan penghormatan dan pelayanan yang luar biasa, dari petugas yang mengundang hingga pucuk pimpinan lembaga yang mengundang. Semua fasilitas dan perhatian diberikan dengan baik, seolah saya adalah tamu kehormatan. Tapi, apakah itu berarti peran saya sebagai penulis tidak berarti?
Pernah ada momen yang sangat pahit ketika link artikel-artikel saya di Kompasiana dianggap sebagai spam, dan saya mendapat peringatan dari Admin Facebook karena ada laporan bahwa tautan Kompasiana yang saya posting merupakan spam. Hanya karena saya ingin membagikan tulisan-tulisan saya kepada lebih banyak orang, saya terancam diblokir dari platform media sosial yang telah saya gunakan selama hampir 15 tahun. Bagaimana mungkin ada orang yang iri dengan keberhasilan saya dan berusaha menghentikan langkah saya?
Sementara itu, pegalaman buruk lain sebagai penulis adalah untuk menghubungi admin saja, seringkali tidak ditanggapi. Bahkan saya pernah ditegur oleh seorang Admin Kompasiana di sebuah WAG Komunitas Penulis Kompasianer, dengan menyatakan, "apakah di Facebook, seorang Mark Zuckerberg mau menanggapi keluhan Anda?".  Bukankah artinya dia menyamakan dirinya dengan seorang founder Facebook? Betapa sombong dan angkuhnya. Padahal yang saya kenal, kedua founder Kompas Gramedia yang menjadi induk Kompasiana, PK Ojong dan Jakob Oetama sangat low profile dan ramah mau menyapa siapa saja.