Sementara itu, Rantau Hilia meliputi wilayah Mudiak Batanghari, Malayu Batanghari di Provinsi Jambi dan Kuantan Inderagiri di Provinsi Riau. Wilayah ini dilambangkan dengan Tembakau. Dan, Rantau Mudiak meliputi wilayah Rantau Pasisia Panjang di Pantai Barat Sumatera dan dilambangkan dengan Sadah/Kapur, yaitu bahan yang terbuat dari kerang laut yang ditumbuk.
Sejarahnya, ketika jumlah penduduk di ketiga wilayah Luhak nan Tigo semakin meningkat dan tempat tinggal semakin sempit, mereka kemudian merantau ke daerah-daerah lain. Daerah lain tersebut dikenal sebagai daerah rantau dan daerah pasisia yang lebih luas untuk memperluas wilayah tempat tinggal mereka.
Penduduk Luhak nan Tigo mempertahankan adat dan budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu adat yang menjadi ciri khas suku Minangkabau adalah adat rumah gadang. Rumah gadang biasanya dibangun dengan atap yang berbentuk seperti tanduk kerbau, yang melambangkan kekuatan dan kemakmuran. Selain itu, bentuk dan arsitektur rumah gadang juga menjadi ciri khas dari masing-masing luhak di Minangkabau.
Di Luhak Tanah Data, bentuk rumah gadang biasanya memiliki anjungan di bagian kanan dan kiri rumah dengan lantai yang dibuat agak miring. Sedangkan di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota, rumah gadang lebih sering dibangun dengan lantai yang datar tanpa anjungan di bagian kanan dan kiri rumah.
Selain adat rumah gadang, suku Minangkabau juga terkenal dengan masakan mereka yang lezat, salah satunya adalah rendang. Rendang merupakan masakan daging yang dimasak dengan berbagai rempah-rempah seperti serai, lengkuas, jahe, cabai, dan kelapa parut. Masakan ini sudah dikenal luas di seluruh Indonesia bahkan di seluruh dunia.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, masyarakat Luhak Tanah Data dikenal sebagai masyarakat yang cukup egaliter dan tidak suka berdebat. Sedangkan masyarakat Luhak Agam cenderung lebih emosional dengan tingkat persaingan yang tinggi dan lebih heterogen. Sementara itu, masyarakat Luhak Lima Puluh Kota dikenal sebagai masyarakat yang lebih homogen dengan hidup dalam kebersamaan dan rukun.
Ketiga luhak tersebut tergambar dalam marawa, sejenis umbul-umbul tiga warna yang mirip dengan bendera Jerman yang berwarna hitam, merah, dan kuning. Warna hitam melambangkan Luhak Limopuluah, merah melambangkan Luhak Agam, dan warna kuning (emas) melambangkan Luak Tanah Data.
Secara keseluruhan, keberagaman budaya suku Minangkabau yang ada di ketiga wilayah Luhak nan Tigo tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas masyarakat Sumatra Barat. Hal ini menjadi bukti bahwa kekayaan budaya Indonesia sangat beragam dan patut untuk dilestarikan dan dijaga keberlangsungannya.
Dari sejarah yang panjang dan kaya akan budaya dan adat istiadat suku Minangkabau, kita dapat melihat bagaimana nenek moyang mereka yang berasal dari gunung Marapi telah membentuk kehidupan dan budaya yang beragam di ketiga wilayah Luhak Nan Tigo. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan kecil antara masyarakat di Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota, namun mereka tetap mempertahankan kesatuan dan kebersamaan dalam bingkai adat istiadat yang diwarisi dari generasi ke generasi.
Saat ini, kebudayaan Minangkabau terus berkembang dan diakui secara internasional. Dari seni dan budaya tradisional seperti tari Piring dan Randai, hingga makanan khas seperti rendang dan gulai, suku Minangkabau telah menjadi kebanggaan Indonesia. Keberagaman budaya dan adat istiadat suku Minangkabau dapat terus bertahan dan berkembang berkat semangat gotong royong dan kebersamaan dalam mempertahankan identitas dan warisan nenek moyang mereka.