Soft skill sulit untuk dibangun, direplikasi, dan diotomatisasi, namun dapat berdampak signifikan pada kemampuan insan perusahaan untuk mengintegrasikan, mengembangkan, bekerja, dan belajar. Keterampilan penting seperti kemampuan beradaptasi, keterampilan interpersonal yang kuat, pemecahan masalah yang efisien, dan kemampuan mengelola diri sendiri merupakan hal penting untuk kesuksesan jangka panjang yang berkelanjutan seorang talent dalam suatu organisasi.
Memprioritaskan pengalaman dan hard skill dengan mengorbankan soft skill adalah sesuatu yang tidak tepat pada masa sekarang. Kegagalan menyaring kecocokan pada dimensi soft skill dapat berdampak negatif pada individu, tim, dan kesehatan organisasi.
Keterampilan insan perusahaan merupakan aset inti bagi perusahaan. Membangun dan mengembangkan keterampilan merupakan tantangan dan membutuhkan investasi yang signifikan dalam pembelajaran dan pengembangan. Organisasi pembelajaran yang paling efektif memberikan rata-rata 75 jam pelatihan per insan perusahaan setiap tahunnya.
Sebagai imbalannya, perusahaan melihat tingkat promosi yang lebih tinggi untuk insan perusahaan dan mencapai tingkat retensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak banyak berinvestasi dalam pembelajaran. Perusahaan akan kehilangan keunggulan kompetitif jika mereka tidak sepenuhnya memanfaatkan pembelajaran dan pengembangan sebagai pengungkit inti untuk membangun dan mengembangkan keterampilan insan perusahaan mereka.
Insan perusahaan yang merasa seperti bagian dari tim akan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dan lebih terinspirasi dalam jangka panjang. Faktor integral adalah lingkungan yang benar-benar inklusif. Perusahaan dapat mencapai kondisi tersebut melalui proses rekrutmen dan orientasi yang ditargetkan. Dan, mereka dapat mempertahankannya dengan memastikan bahwa inklusivitas tertanam dalam semua proses organisasi dan talent management.
Dari perspektif talenta teknologi, mengabaikan integrasi inklusif dan gagal menumbuhkan rasa memiliki dapat berdampak negatif terhadap keterlibatan dan meningkatkan tingkat peralihan dini. Penilaian terhadap tenaga kerja yang ada menunjukkan bahwa perusahaan memiliki peluang untuk membuat tim yang lebih beragam di semua tingkatan.
Pada saat ini, masih terjadi kesenjangan keterampilan teknologi di tengah berkembangnya digitalisasi di berbagai bidang pada banyak perusahaan. Untuk menutup kesenjangan keterampilan teknologi dalam jangka panjang, McKinsey merekomendasikan tiga perubahan mendasar yang dapat mendorong pendekatan yang lebih berbasis keterampilan untuk manajemen talenta teknologi secara keseluruhan.
Pertama, Keterampilan di atas peran
Pendekatan berbasis keterampilan untuk manajemen talenta (talent management) memungkinkan organisasi menemukan kandidat yang cocok untuk peran berdasarkan keterampilan dan potensi keterampilan mereka. Pendekatan ini seringkali membutuhkan perubahan pola pikir dalam SDM, kemampuan yang diperluas dalam analitik orang, dan peningkatan infrastruktur teknologi yang mendasarinya. Filosofi talenta baru juga membuka peluang tambahan, termasuk penawaran pembelajaran dan pengembangan yang lebih baik, mobilitas bakat yang lebih besar, dan jalur karier yang lebih sesuai untuk tujuan.
Peningkatan keterampilan ((upskilling) strategis ini sangat berharga di masa transformasional, ketika beberapa keterampilan dan peran menjadi usang dan lainnya langka karena perubahan struktural seperti demografi dan kurangnya tenaga kerja terampil nasional. Dengan mengidentifikasi kandidat untuk peran baru dalam angkatan kerja dan dengan sengaja meningkatkan keterampilan mereka, pemberi kerja dapat mempertahankan pengetahuan yang berharga dan menutup kesenjangan keterampilan secara internal.
Selama perekrutan, seleksi berbasis keterampilan memperluas kumpulan talenta (talent pool) Â karena meskipun kandidat tidak memegang peran spesifik yang dicari perekrut, mereka dapat memiliki potensi keterampilan untuk peran tersebut. Mengadopsi pola pikir ini, salah satu industri teknologi di Jerman mengumumkan akan membatalkan persyaratan tingkat awal untuk gelar universitas dan sebagai gantinya mencari sertifikat relevan yang menyoroti keterampilan aktual pelamar.
Kedua, Belajar dari pengalaman sebelumnya
Perusahaan harus membangun keterampilan baru (redeployment) dalam tenaga kerja mereka untuk mengikuti perubahan teknologi yang cepat, dan perlu mendapat dorongan dari insan perusahaan dengan ambisi bersama untuk belajar dan berkembang. Perusahaan kemudian harus menyediakan akses ke penawaran pembelajaran dan pengembangan yang menarik pada skala perusahaan. Khususnya untuk keterampilan teknologi, mencakup peluang bagi talenta teknologi untuk tetap menjadi yang terdepan dalam inovasi.
Perusahaan harus mampu meningkatkan keterampilan seluruh tenaga kerja di bidang digital, data, analitik, dan hal-hal penting teknologi. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan Jerman dapat membuktikan diri dengan meningkatkan kedalaman keterampilan di seluruh tenaga kerja mereka sendiri untuk kesuksesan di masa depan.
Pemberi kerja harus memahami dasar keterampilan lunak (soft skill) dan keras (hard skill) insan perusahaan mereka saat ini serta kebutuhan keterampilan di masa depan. Setelah itu mampu menyesuaikan penawaran pembelajaran dan pengembangan untuk memungkinkan pekerja meningkatkan keterampilan mereka untuk mengisi kesenjangan. Membina budaya pembelajaran (learning culture) dan pengembangan (performance culture) dengan insentif bagi insan perusahaan dan manajer mereka sama-sama bermanfaat. Selain itu, mampu mengumpulkan tim yang terdiri dari insan perusahaan yang termotivasi secara internal membuka potensi anggota tim untuk belajar dari satu sama lain.
Ketiga, Fleksibilitas atas kontrol
Perusahaan yang menarik talenta dengan pengalaman dan latar belakang berbeda, sesuai kajian McKinsey, memiliki kemungkinan 12 persen lebih besar untuk mengungguli perusahaan lain secara finansial. Organisasi perusahaan yang berharap dapat membangun insan perusahaan yang begitu beragam perlu menciptakan lingkungan yang inklusif dan fleksibel.
Pelatihan inklusi adalah langkah awal yang baik, Â perusahaan harus bisa menerapkan pendekatan holistik dalam bentuk strategi keberagaman, kesetaraan, dan inklusi. Intervensi perusahaan dapat mencakup membangun kesadaran yang lebih dalam tentang bias dalam diskusi promosi dan kemajuan di antara para manajer dan penilai kinerja.
Cara lain untuk menarik talenta yang beragam adalah dengan memenuhi keadaan calon kandidat. Empat puluh empat persen orang kembali bekerja setelah jeda sementara, mensyaratkan fleksibilitas dalam bekerja sebagai alasan utama untuk kembali. Pandemi COVID-19 menyoroti bahwa insan perusahaan, terutama yang memiliki profil teknis, dapat bekerja secara efektif dari mana saja, dengan infrastruktur teknis yang tepat.
Sebagai contoh, salah satu perusahaan teknologi Eropa menerapkan kebijakan "bekerja dari mana saja", yang memberi insan pilihan mereka untuk bekerja dalam model jarak jauh atau hybrid. Kebijakan ini menurunkan tingkat pengunduran diri sebesar 15 persen, meningkatkan pangsa perempuan dalam angkatan kerja sebesar 17 persen, dan mengurangi waktu untuk mempekerjakan lebih dari 12 persen.
Tiga hal perubahan yang disampaikan McKinsey tersebut membutuhkan pola pikir dan budaya yang berbeda secara fundamental bagi sebagian besar insan dan organisasi perusahaan. Akan tetapi, perubahan atau transformasi sangat penting bagi mereka yang ingin menarik kumpulan talenta teknologi yang lebih luas dan untuk membantu mempertahankan dan mengembangkan kandidat yang paling menjanjikan. Transformasi merupakan solusi untuk kesenjangan talenta teknologi yang signifikan yang dihadapi semua perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H