Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memahami Pertumbuhan Produktivitas yang Menurun

12 Maret 2023   11:29 Diperbarui: 12 Maret 2023   11:52 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Memahami Pertumbuhan Produktivitas Yang Menurun (Photo by Merza Gamal)

Dalam dunia perekonomian, seringkali kita mendengar kata-kata produktivitas. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan produktivitas? Secara sederhana, pengertian produktivitas adalah mengukur jumlah nilai yang diciptakan untuk setiap jam yang digunakan dalam masyarakat.

Sebagai insan ekonomi, Anda mungkin tahu bahwa jumlah pekerjaan yang dapat Anda selesaikan dalam satu hari adalah tingkat produktivitas Anda. Produktivitas dalam ekonomi hampir sama dengan produktivitas yang Anda lakukan. Akan tetapi, bagi sebuah perusahaan atau bahkan suatu negara, mengukur produktivitas sedikit lebih rumit daripada seberapa baik Anda dapat melakukan panggilan video di tengah kebisingan konstruksi dari jalan.

Produktivitas pada skala negara dapat berarti perbedaan antara standar hidup yang baik dan tidak terlalu baik. Sementara produktivitas bagi sebuah perusahaan adalah seberapa mampu mereka bisa menaikkan upah bagi pekerjanya atau sejauh mana mereka dapat terus beroperasi. Produktivitas yang stagnan atau menyusut dapat menimbulkan masalah serius di masa depan bagi individu, organisasi (perusahaan), dan negara.

Memahami apa itu produktivitas ekonomi dan bagaimana cara kerjanya sangat penting untuk berupaya mempertahankan dan meningkatkannya. Produktivitas tenaga kerja pada skala negara seringkali dihitung sebagai rasio PDB per total jam kerja. Misalnya, PDB suatu negara adalah $1 triliun dan masyarakatnya bekerja 20 miliar jam untuk menciptakan nilai tersebut. Artinya, produktivitas tenaga kerja negara tersebut adalah $50 per jam. Pengaruh pertumbuhan produktivitas tenaga kerja menjadi sangat penting untuk meningkatkan upah dan standar hidup, serta membantu meningkatkan daya beli konsumen.

Selain produktivitas tenaga kerja, para ekonom juga mengukur jenis produktivitas modal, yaitu ukuran seberapa baik modal fisik (seperti real estat, peralatan, dan inventaris) digunakan untuk menghasilkan output seperti barang dan jasa. Produktivitas modal dan produktivitas tenaga kerja sering digunakan sebagai indikator standar hidup keseluruhan suatu negara. Selain itu, ada pula produktivitas faktor total yng merupakan bagian dari pertumbuhan output yang tidak dijelaskan oleh pertumbuhan tenaga kerja atau modal. Biasanya orang menyebut jenis produktivitas tersebut sebagai "pertumbuhan yang didorong oleh inovasi".

Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Amerika Serikat dan Eropa Barat mengalami penurunan sejak ledakan ekonomi di tahun 1960-an. Kejadiaannya tidak sama pada setiap negara. Misalnya, di Amerika Serikat dan Swedia terdapat pertumbuhan produktivitas yang kuat dari pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an, kemudian terjadi penurunan terbesar dalam pertumbuhan produktivitas karena dampak lanjutan krisis keuangan dan ketidakpastian. Berbeda dengan di Italia dan Spanyol, pertumbuhan produktivitas mendekati nol selama bertahun-tahun sebelum krisis keuangan pada tahun 2008. Kondisi tersebut membuat kontraksi hebat di pasar tenaga kerja setelah krisis.  

Dalam kajian yang dilakukan oleh McKinsey di Eropa Barat dan Amerika Utara, terdapat tiga pola mikro penurunan produktivitas, yaitu sebagai berikut:

  • Pertama, pemulihan dari krisis keuangan tahun 2008 karena berbagai alasan telah menciptakan lingkungan yang kuat terhadap pekerjaan, tetapi lemah dalam produktivitas;
  • Kedua, beberapa sektor yang mengalami percepatan pertumbuhan produktivitas terlalu kecil atau bergerak terlalu lambat untuk menggeser angka keseluruhan;
  • Ketiga, perkembangan teknologi belum memberikan efek peningkatan pada produktivitas tenaga kerja seperti di masa lalu.

Keadaan tersebut di atas, menurut beberapa analis, tampak seperti kemunculan kembali Solow Paradox pada tahun 1980-an. Solow Paradox dinamai dari ekonom Robert Solow yang mengamati pada tahun 1987 bahwa momentum pengumpulan era komputer tidak tercermin dalam statistik produktivitas. Pada era 1990-an, Solow Paradox yang asli dapat diselesaikan ketika beberapa sektor, seperti teknologi, ritel, dan grosir memimpin percepatan pertumbuhan produktivitas AS. Fenomena Solow Paradox yang terjadi saat ini, masih harus dilihat kapan atau apakah akan teratasi.

Terjadinya fenomena Solow Paradox masalah yang didorong oleh penawaran yang bisa berarti merupakan salah satu dari beberapa hal, yakni: apakah digitalisasi belum mencapai potensi penuhnya atau era inovasi hebat telah berlalu dan semua buah yang menggantung rendah telah dipetik. Atau, bisa juga akibat ekonomi maju semakin berorientasi pada layanan, yang pada dasarnya memiliki potensi pertumbuhan produktivitas yang lebih rendah.

Selama beberapa dekade belakangan ini, kelebihan kapasitas industri telah mematikan mesin pertumbuhan manufaktur, dan tidak ada alternatif yang ditemukan. Menurut para ekonom, paradoks produktivitas adalah masalah yang digerakkan oleh permintaan. Artinya, rumah tangga memiliki kecenderungan konsumsi yang lebih rendah karena krisis keuangan tahun 2008 dan 2010 dan kebijakan penghematan berikutnya. Dikombinasikan dengan meningkatnya ketimpangan, hal ini menyebabkan pendapatan yang lebih rendah bagi rumah tangga dengan kecenderungan konsumsi yang lebih tinggi.

Permintaan agregat yang lebih rendah pada gilirannya akan menyebabkan pasokan lebih stagnan. Kondisi tersebut terjadi karena hanya sedikit insentif bagi perusahaan untuk berinovasi, berinvestasi, dan mengambil risiko. Oleh karena itu, untuk mempercepat produktivitas, pemimpin bisnis, pembuat kebijakan, dan individu harus berkomitmen pada transisi digital. Mereka harus mampu mengelola perubahan sosial dan ekonomi yang dibawa oleh digitalisasi, termasuk dampaknya terhadap perpindahan pekerjaan.

Perlu kita ingat, bahwa inti dari teknologi sebenarnya adalah untuk membantu kita menyelesaikan sesuatu dengan lebih cepat dan dengan sedikit usaha. Namun dalam perjalanan waktu yang terjadi adalah memberi lebih banyak kepada konsumen dengan lebih sedikit yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan sosial. Banyak orang yang berasumsi bahwa peningkatan inovasi teknologi berarti peningkatan produktivitas. Memang kondisi tersebut sempat terjadi pada 1990-an, ketika revolusi teknologi informasi dan komunikasi memicu ledakan produktivitas.

Teknologi terus berkembang tetapi pertumbuhan produktivitas tetap lamban. Kondisi itulah yang terjadi saat ini. Menurut analisis McKinsey Global Institute, keterputusan ini disebabkan oleh tiga gelombang yang jatuh setelah krisis keuangan tahun 2008, yaitu sebagi berikut:

  • Gelombang Pertama adalah memudarnya ledakan produktivitas tahun 1990-an;
  • Gelombang Kedua merupakan dampak lanjutan dari krisis keuangan, termasuk lemahnya permintaan dan ketidakpastian;
  • Gelombang ketiga adalah digitalisasi, yang mengharuskan transformasi model operasi dan bisnis.

Pertumbuhan produktivitas pada dua gelombang pertama menurun sekitar satu poin persentase. Gelombang ketiga menjanjikan peningkatan produktivitas, tetapi disertai dengan hambatan adopsi, biaya transisi, dan kelambatan yang terkait dengan kebutuhan untuk mencapai kesiapan teknologi dan bisnis.

McKinsey Global Institute ke depan memperkirakan pertumbuhan, yang sebagian besar akan datang dari peluang digital yang muncul. Akan tetapi, pertumbuhan tersebut akan membutuhkan fokus ganda untuk mendorong pertumbuhan permintaan dan difusi digital, selain pendekatan sisi penawaran tradisional. Pertumbuhan juga bergantung pada sumber daya manusia. Hal tersebut menuntut insan yang memiliki keterampilan dan pelatihan yang tepat untuk menerapkan digitalisasi, Artificial Intelligence, dan teknologi baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun