Sepulang sekolah, anak-anak bergantian mendampingi Bundanya. Kanker telah menyebabkan anak-anak cepat dewasa sebelum waktunya. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang sabar dan penuh tenggang rasa. Apalagi saya masih tugas keliling Indonesia, meski sudah jauh berkurang dari sebelum istri saya divonis kanker. Sehingga anak-anak semakin dewasa pada saat saya tidak ada di rumah.
Sebagai penyitas kanker, istri saya pun bergabung dengan komunitas penyitas kanker untuk saling menguatkan di antara mereka. Namun, tidak sedikit berita seidh datang dari komunitas tersebut. Banyak yang tidak kuat menjalankan proses penyembuhan mereka atau pun sekedar proses usaha memperpanjang usia mereka. Hal tersebut terjadi bukan saja karena kejamnya sel kanker yang menyerang tubuh mereka, tetapi juga beban mental yang semakin berat mereka pikul.
Beberapa penyitas kanker yang sedang berjuang menyerah karena sejak mereka menjalankan proses operasi, kemo, penyinaran, dan lain sebagainya, mereka tidak bisa berfungsi menjalankan tugasnya sebagai pasangan suami istri. Beberapa pasangannya berselingkuh dan bahkan ada yang kawin lagi karena pasangan tidak bisa memberikan nafkah batin.
Saya sebagai suami yang juga mengalami kondisi itu hanya tidak habis pikir, mengapa mereka melakukan hal itu? Apakah cinta yang mereka ikrarkan di kala pasangannya sehat bisa luntur hanya gara-gara hasrat seksualnya tidak dapat dipenuhi sementara oleh pasangannya. Belum lagi masalah materi, karena menjalankan sekali kemoterapi membutuhkan biaya jutaan, bahkan ada yang obatnya hingga ratusan juta sekali kemo.
Oleh karena itu, perlu dipahami, bahwa bagi seorang penyitas kanker bukan hanya berjuang melawan ganasnya serangan sel kanker, tetapi juga permasalahan yang juga sangat berat dalam menjalankan semua proses untuk memperpanjang usia dan memperoleh kesembuhan.
Waktu pun berlalu, istri saya alhamdulillah mampu melewati masa-masa kemoterapi selama enam bulan dengan 8 kali tindakan. Rambut istri saya, sebagai mahkota yang dibanggakan kaum wanita pun luruh, kulit tangan bekas jarum-jarum proses kemoterapi pun menghitam. Namun, ketegaran terlihat dalam sorot matanya. Jarang orang yang mengetahui bahwa istri saya adalah penyitas kanker yang menjalani kemoterapi.
Ketika sanak saudara dan handai taulan datang ke rumah bermaksud mengunjungi dan memberikan semangat ke istri saya, tapi yang mereka temukan adalah seorang wanita tegar dan anggun serta tidak terlihat sama sekali seperti orang sakit. Bahkan, ketika istri saya ikut menghadiri beberapa acara keluarga, seperti pernikahan keponakan kami, tidak tampak istri saya sedang berjuang dengan kankernya. Selama proses kemoterapi pun, para dokter dan tim kesehatan lainnya kagum dengan ketegaran istri saya dan mereka merasakan istri saya benar-benar kuat menjalani semua proses kemoterapi. Dan, hal itu jarang meraka temukan pada pasien lain.
Orang-orang baru seakan tidak percaya bahwa istri saya sedang berjuang melawan ganasnya sel kanker yang ada di tubuhnya, pada saat dia melepaskan kerudungnya. Saat kerudung dilepaskan, terlihatlah kepala istri saya yang plontos tak berambut. Dan, ketika lengan bajunya disingsingkan, terlihat hitam-hitam di sekujur aliran nadinya.
Ketika mereka pulang dari rumah kami setelah melihat istri saya, mereka menelepon atau bertemu saya dan menyatakan bahwa mereka tidak menyangka betapa kuatnya istri saya menghadapi semua itu dan tak terlihat sama sekali bahwa dia sedang berjuang untuk memperpanjang usia dan melawan ganasnya sel kanker yang menyerang tubuhnya.