Sesuai dengan survei Gallup terakhir, ditemukan tiga dari sepuluh insan perusahaan merasa  sering diliputi kejenuhan dan selalu kelelahan (burnout syndrome). Di sisi lain, insan perusahaan yang merasa dihormati, 50% lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami kejenuhan.
Masih banyak pemimpin dan manajer yang gagal memahami betapa pentingnya DEI (Diversity, Equity and Inclusion) bagi kesejahteraan dan produktivitas insan perusahaan di tempat kerja. Mereka sering tidak menyadari bahwa konsekuensi dari tidak menjadikan program keragaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) tersebut sangat luas terhadap terjadinya burnout.
Insan perusahaan yang mengalami burnout syndrome merasa "sangat sering" atau "selalu" kehabisan tenaga di tempat kerja. Dampaknya adalah setiap bulan, insan perusahaan memilih untuk keluar dari pekerjaannya karena kelelahan, stres, dan efek negatif pada kehidupan mereka. Kondisi tersebut berdampak bukan hanya pada perusahaan yang bersangkutan, tetapi mempengaruhi perkonomian global karena menambah hingga 322 miliar dolar yang dihabiskan untuk biaya turnover pekerja dan hilangnya produktivitas sebagai akibat dari fenomena burnout syndrome di kalangan insan perusahaan secara global. (Dari berbagai sumber)
Dengan terjadinya kondisi tersebut, berarti para eksekutif perusahaan harus bertindak sekarang untuk membangun budaya yang kuat dan inklusif serta praktik-praktik adil yang mendorong kesejahteraan insan perusahaan mereka.
Sebuah survei baru-baru ini yang dilakukan oleh Gallup Center on Black Voices terhadap lebih dari 9.000 orang dewasa yang bekerja, menunjukkan bahwa cara pengusaha memperlakukan insan perusahaan adalah pembeda utama antara insan perusahaan yang memiliki tingkat engagement dan berkinerja tinggi dengan mereka yang kelelahan yang memiliki kemungkinan akan keluar dari perusahaan.
Untuk mengantisipasi dan memitigasi burnout syndrome di perusahaan, para eksekutif bisa memulai dengan hal-hal yang mendasar. Insan perusahaan yang diperlakukan dengan baik oleh organisasinya dan merasa dihargai serta dilibatkan cenderung tidak akan merasa lelah dan jenuh. Manajer dan eksekutif perusahaan tidak boleh menganggap hal tersebut sebagai pilihan, tetapi harus menganggapnya sebagai persyaratan.
Hal-hal mendasar yang harus dilakukan adalah:
1. Perlakukan semua insan perusahaan dengan hormat.
Norma umum dalam masyarakat, "perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan" juga seharusnya berlaku di tempat kerja. Manajer, pemimpin, dan rekan kerja harus memperlakukan semua orang dengan sopan dan hormat. Untuk itu, manajer dapat memimpin peningkatan kesejahteraan dengan meningkatkan budaya tim. Manajer juga bertindak sebagai panutan (role model) yang mendorong anggota tim untuk memperlakukan satu sama lain dengan hormat. Manajer juga bisa mengambil tanggung jawab untuk melindungi insan perusahaan dari pengalaman berbahaya, dan tidak menjadi sumbernya.
2. Menumbuhkan rasa inklusi.
Semua insan yang ada di perusahaan ingin merasa bahwa mereka adalah bagian dari organisasi mereka. Keberadaan mereka dirasakan penting dan dimilik oleh organisasii. Ketika hal itu terjadi, maka insan perusahaan tidak terlalu rentan terhadap burnout.
Berdasarkan hasil survei Gallup, insan perusahaan yang diterima dan dihargai sebagai pribadi, 52% lebih kecil kemungkinannya untuk merasakan tingkat kelelahan yang tinggi. Demikian pula, insan perusahaan yang merasa seperti anggota tim yang berharga, 57% lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami burnout syndrome.
Oleh karena itu, manajer harus bisa mendorong inklusi dan rasa memiliki ketika menyertakan setiap anggota tim dalam percakapan, memberi mereka penghargaan atas kontribusi mereka, dan dengan tulus menanyakan bagaimana hari mereka berjalan. Hal tersebut terlihat sangat  sederhana, tetapi mempunyai daya ungkit yang sangat kuat.
3. Memberikan kesempatan yang adil kepada seluruh insan perusahaan.
Insan perusahaan jarang mengalami kejenuhan ketika mereka merasa diperlakukan secara adil dan memiliki akses yang adil terhadap peluang di organisasi mereka.
Insan perusahaan yang memiliki kesempatan yang sama untuk maju seperti insan lain di organisasinya, 43% lebih kecil kemungkinannya untuk merasa kelelahan. Insan perusahaan  yang memiliki kesempatan yang sama untuk maju ke manajemen senior dalam organisasinya, memiliki kemungkinan 30% lebih kecil untuk mengalami tingkat kejenuhan yang tinggi.
Peningkatkan kesejahteraan insan perusahaan sangat bergantung dari sikap manajer. Manajer harus bisa memastikan bahwa semua insan perusahaan memiliki apa yang mereka perlukan untuk berkembang, termasuk dukungan dan dorongan, pengalaman utama dan peluang untuk bereksperimen, serta percakapan berkelanjutan tentang tujuan dan kemajuan.
Ketika insan perusahaan melihat manajer mereka memberikan pengalaman tersebut secara teratur, maka mereka memiliki keyakinan yang lebih besar bahwa atasan mereka bertindak dengan itikad baik dan dapat dipercaya untuk memberikan peluang yang adil di masa mendatang. Perasaan terhadap masa depan yang cerah mengilhami insan perusahaan untuk terus maju, merasa semangat melakukan pekerjaannya, bahkan saat dibutuhkan mau dan mampu bekerja keras untuk mencapainya.
Ketika insan perusahaan merasa dihargai, diterima, dan diperlakukan dengan adil yang menjadi budaya dalam perusahaan, maka mereka merasa lebih baik untuk tampil dan memberikan yang terbaik untuk bekerja setiap hari. Para eksekutif dan manajer tidak memerlukan program mewah atau investasi besar untuk melakukan hal tersebut.
Hal utama yang harus diingat oleh para manajer adalah menghindarkan tempat kerja memiliki 'Budaya Beracun'. Apa yang biasanya disebut "budaya kerja beracun" paling sering merupakan budaya yang membingungkan. Budaya menjadi membingungkan ketika berbagai aspek organisasi mengkomunikasikan pesan yang saling bertentangan. Pesan pemasaran tidak sesuai dengan insentif kinerja insan perusahaan. Informasi onboarding untuk insan perusahaan tidak sesuai dengan panduan yang diberikan dalam pelatihan manajemen. Perilaku pimpinan tidak sesuai dengan perilaku insan perusahaan yang diharapkan.
Transformasi budaya kerja akan gagal karena inisiatif baru seringkali hanya mengubah satu aspek budaya sementara membiarkan sistem lainnya tetap utuh. Organisasi seringkali tidak mengubah aturan keras dari budaya tempat kerja beracun, seperti struktur organisasi, insentif kinerja, atau ekspektasi manajemen saat menetapkan transformasi budaya. Oleh karena itu, ketika tim kepemimpinan gagal melihat budaya mereka secara holistik dan gagal mengidentifikasi pendorong utama dari budaya perusahaan ideal mereka, hasilnya adalah pendekatan tambal sulam yang tidak memiliki keselarasan budaya dan lebih merugikan perusahaan itu sendiri daripada menguntungkan.
Menghilangkan fenomena burnout syndrome di lingkungan perusahaan mungkin merupakan kasus bisnis terbaik untuk DEI (Diversity, Equity and Inclusion). Oleh karena itu, eksekutif dan manajer dapat mulai meningkatkan kesejahteraan insan perusahaan dengan mencontohkan rasa hormat, membasmi diskriminasi, mendorong inklusi, dan mempraktikkan kesetaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H