Peningkatkan kesejahteraan insan perusahaan sangat bergantung dari sikap manajer. Manajer harus bisa memastikan bahwa semua insan perusahaan memiliki apa yang mereka perlukan untuk berkembang, termasuk dukungan dan dorongan, pengalaman utama dan peluang untuk bereksperimen, serta percakapan berkelanjutan tentang tujuan dan kemajuan.
Ketika insan perusahaan melihat manajer mereka memberikan pengalaman tersebut secara teratur, maka mereka memiliki keyakinan yang lebih besar bahwa atasan mereka bertindak dengan itikad baik dan dapat dipercaya untuk memberikan peluang yang adil di masa mendatang. Perasaan terhadap masa depan yang cerah mengilhami insan perusahaan untuk terus maju, merasa semangat melakukan pekerjaannya, bahkan saat dibutuhkan mau dan mampu bekerja keras untuk mencapainya.
Ketika insan perusahaan merasa dihargai, diterima, dan diperlakukan dengan adil yang menjadi budaya dalam perusahaan, maka mereka merasa lebih baik untuk tampil dan memberikan yang terbaik untuk bekerja setiap hari. Para eksekutif dan manajer tidak memerlukan program mewah atau investasi besar untuk melakukan hal tersebut.
Hal utama yang harus diingat oleh para manajer adalah menghindarkan tempat kerja memiliki 'Budaya Beracun'. Apa yang biasanya disebut "budaya kerja beracun" paling sering merupakan budaya yang membingungkan. Budaya menjadi membingungkan ketika berbagai aspek organisasi mengkomunikasikan pesan yang saling bertentangan. Pesan pemasaran tidak sesuai dengan insentif kinerja insan perusahaan. Informasi onboarding untuk insan perusahaan tidak sesuai dengan panduan yang diberikan dalam pelatihan manajemen. Perilaku pimpinan tidak sesuai dengan perilaku insan perusahaan yang diharapkan.
Transformasi budaya kerja akan gagal karena inisiatif baru seringkali hanya mengubah satu aspek budaya sementara membiarkan sistem lainnya tetap utuh. Organisasi seringkali tidak mengubah aturan keras dari budaya tempat kerja beracun, seperti struktur organisasi, insentif kinerja, atau ekspektasi manajemen saat menetapkan transformasi budaya. Oleh karena itu, ketika tim kepemimpinan gagal melihat budaya mereka secara holistik dan gagal mengidentifikasi pendorong utama dari budaya perusahaan ideal mereka, hasilnya adalah pendekatan tambal sulam yang tidak memiliki keselarasan budaya dan lebih merugikan perusahaan itu sendiri daripada menguntungkan.
Menghilangkan fenomena burnout syndrome di lingkungan perusahaan mungkin merupakan kasus bisnis terbaik untuk DEI (Diversity, Equity and Inclusion). Oleh karena itu, eksekutif dan manajer dapat mulai meningkatkan kesejahteraan insan perusahaan dengan mencontohkan rasa hormat, membasmi diskriminasi, mendorong inklusi, dan mempraktikkan kesetaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H