Malam ini merupakan malam terakhir aku di Stuttgart sebelum besok pagi bertolak ke Frankfurt, dan akhir pekan tugas kami di Jerman sudah selesai, dan rencananya aku akan langsung pulang ke Jakarta.
Sesampai di rumah, sepulang dari kantor, seperti biasa sudah ada hidangan sore dan kopi tersedia untukku dan Gustav. Mama menyambut kami pulang kantor, "besok Morgan sudah tidak ada di rumah ini lagi, Mama wird meinen Sohn Morgan immer vermissen. Semoga tidak lama kita berpisah dan bisa bertemu kembali."
Mama memelukku dengan erat, kemudian Mama mengelus tanganku, membelai rambutku. Aku kembali diperlakukan bagaikan anak kecil Mama.
"Mama masak hidangan istimewa untuk malam sebagai malam perpisahan kita," kata Mama sambil terus memelukku. "Cepat sekali waktu berlalu, Mama vermisst meinen Sohn Morgan immer noch sehr," Mama seakan tidak mau melepaskanku.
Tiba-tiba Papa muncul dari ruang depan. Papa baru kembali dari kantornya. Mama pun meminta kami bebersih diri dan siap-siap makan malam. "Mama tunggu semuanya jam tujuh malam di ruang makan." Dan, kami pun bangkit menuju kamar masing-masing.
Setelah di kamar aku pun langsung mandi, kemudian berwudhu dan bersiap shalat maghrib dijamak isya. Selesai semua itu, jam masih menunjukkan pukul 6.30 PM, masih setengah jam lagi untuk kumpul di meja makan. Tetapi, mengapa ada perasaan aku ingin cepat-cepat bersama Mama menghabiskan malam terakhirku di Stuttgart? Kemungkinan ini pertemuan kami terakhir sebelum aku kembali ke Indonesia. Karena dari Frankfurt aku akan langsung pulang ke Indonesia.
Seminggu bersama Mama ditambah dengan akhir pekan di minggu lalu, membuat batinku semakin dekat dengan Mama. Apabila aku sedang dipeluk Mama ada rasa aliran-aliran darahku yang menyatu dengan aliran darah Mama. Logika yang menyatakan aku bukan anak Mama dan bukan saudara kembar Gustav semakin hari semakin terkalahkan oleh getaran-getaran batinku.
Getaran-getaran itu semakin mengantarkan suara hatiku ke suatu tempat dimana kau dan Gustav pernah di suatu tempat yang penuh keheningan dan damai dalam sekian lama. Pelukan Mama memperkuat getara-getaran itu. Apalagi, jika kami sedang bertiga. Biasanya Mama memelukku, dan Gustav memeluk Mama.
Namun getaran-getaran batin itu selalu kulawan dengan kehadiran wajah Mama yang memelukku erat-erat seakan aku tak akan terlepas dari pelukannya. Bahkan, dalam suatu malam di rumah ini aku sempat bermimpi tidur dalam dekapan Ibu di sisi kananku dan Mama di sisi kiriku.
 Aku pun keluar dari kamarku, dan menuju tangga serta turun ke bawah, lalu di ruang keluarga aku pun duduk di sofa mengarah pandangan ke TV. Baru saja aku duduk di sofa, tanpa kusadari Mama sudah ada di sebelahku, dan dia memelukku erat. "Mama wird meinen Sohn Morgan immer vermissen," kata-kata yang diucapkan Mama tadi sore kembali kudengar.
Pelukkan secara otomatis langsung kubalas dengan pelukan erat di luar alam sadarku. Mama kemudian menangis saat aku membalas erat pelukkannya.
"Maafkan Mama telah menyia-nyiakan Morgan. Gott sei Dank, akhirnya kita dipertemukanNya kembali setelah Morgan dewasa. Bayi yang tidak kupedulikan itu ada di hadapanku saat ini, dan dia sangat sopan dan baik. Aku benar-benar beruntung," serentetan kata-kata meluncur dari bibir Mama yang semakin erat memelukku.
Tiba-tiba Gustav pun telah berada di antara Aku dan Mama. Gustav memeluk kami berdua. "Keajaiban benar-benar telah memepertemukan kita kembali," kata-kata itu meluncur dari mulut Gustav.
Badanku terasa semakin ringan melayang-layang di antara pelukan Mama dan Gustav. Kemudian seolah-olah ada tangan yang menggapai badanku yang sedang melayang-layang tersebut. Terdengar suara Ibu meraihku dan mengendongku seperti seorang bayi, "aku yang membesarkan dan merawatnya, tidak ada seorang pun yang dapat mengambilnya dari pelukanku." Aku semakin terasa melayang-layang seperti layangan putus yang sedang diperebutkan anak-anak pemain layangan.
Suara Papa menyadarkanku, "sudah manja-manjaannya, mari kita makan malam." Kami pun saling melepaskan pelukan dan beranjak ke ruang makan. Masih terlihat linangan air mata di pipi Mama, dan genangan air mata menggantung di kelopak mata Gustav.
Di meja makan sudah tersedia set makanan yang telah ditata untuk empat orang. Sebagaimana kata Mama tadi, bahwa malam ini Mama menyediakan makanan istimewa masakan Mama untuk makan malam perpisahan denganku. Makanan utama yang tersedia di depan kami masing-masing adalah Klassische Rinderroulade. Kata Mama, makanan yang tersaji itu adalah resep dari Oma turun temurun.
Klassiische Rinderroulade biasanya disajikan pada acara-acara pesta khusus yang terbuat dari daging bagian khusus sapi yang di bungkus bersama lapisan daging asap dan didalam ada wortel dan mentimun. Daging dimasak bersama anggur merah hingga berwarna kecoklatan dan dihidangkan dengan siraman saus mustard yang dilengkapi dengan kentang bayi dan kubis merah.
Selama di Stuttgart, aku menikmati berbagai masakan lezat Mama. Dalam hal memasak, Mama punya kemiripan dengan Ibu. Masakan Ibu juga lezat, tapi Ibu biasanya masak hanya di akhir pekan karena hari-hari biasa Ibu sibuk di rumah sakit dan di Fakultas Kedokteran.
Selama makan tidak banyak terdengar suara dari kami, sepertinya masing-masing tenggelam dalam pikirannya masing-masing, terutama aku, Mama, dan Gustav. Papa berusaha memecah keheningan tersebut dengan berbagai hal-hal ringan.
Ketika makan utama selesai, saat hidangan penutup disajikan. Papa kembali berbicara, dan kali ini lebih serius, "Apa yang Papa sampaikan kemarin, perlu Morgan pikirkan. Papa siap bantu urusan untuk kuliah pasca sarjana Morgan di Jerman."
"Akan Morgan pikirkan setelah Morgan di Indonesia dan berbicara dengan pihak kantor dan Ibu," kataku untuk menghormati penawaran Papa.
"Apakah ada kewajiban Morgan pada perusahaan yang harus diselesaikan jika tidak lagi bekerja di sana?" tanya Papa padaku.
"Ya Papa, sehubungan Morgan diterima melalui jalur program Management Trainee, dan mengikuti Pendidikan satu tahun sebelum mulai bekerja, sehingga Morgan terikat ikatan dinas selama tiga tahun terhitung setelah lulus program Management Trainee," jawabku menerangkan posisiku sebagai pegawai bank saat ini.
"Sudah berapa lama ikatan dinas dijalankan?" tanya Papa lagi.
"Baru menjelang dua tahun Papa," jawabku.
"Apakah melanjutkan sekolah juga tidak dibenarkan dalam ikatan dinas tersebut?" Papa terus bertanya.
"Jika yang menyekolahkan adalah perusahaan, boleh Papa, tetapi jika sekolah atas keinginan sendiri, artinya mengundurkan diri dari perusahaan sebelum habisnya jangka waktu ikatan dinas, berarti harus membayar ganti rugi yang telah ditetapkan di awal," aku menjelaskan kondisinya kepada Papa.
"Apalagi, Morgan baru selesai mengikuti training dan magang terkait Kerjasama Asian Development Bank dengan Pemerintah Jerman, tentu lebih sulit untuk dapat izin meninggalkan kantor untuk kuliah pasca sarjana di luar negeri" lanjutku menjelaskan.
"Hmm, jika Morgan mengambil kuliah tentang Manajemen dan Keuangan Lingkungan di Jerman, itu artinya pas sekali dengan proyek kredit rehabilitasi lingkungan yang akan Morgan kelola. Papa punya jalur terkait dengan itu dan Papa bisa bantu untuk mengaturnya agar Morgan bisa kuliah sekaligus menjadi added value untuk proyek Kerjasama itu," jelas Papa panjang lebar.
"Morgan pikirkanlah dengan sebaik-baiknya penawaran Papa  untuk Morgan melanjutkan kuliah di sini untuk masa depan yang lebih baik," Mama ikut pula menimpali.
"Ya Papa dan Mama, akan Morgan pertimbangkan setelah Morgan sampai di Jakarta kembali," hanya itu yang bisa aku jawab.
Selain urusan dengan bank tempatku bekerja saat ini, izin utama yang harus aku dapatkan tentulah keikhlasan Ibu untuk melepaskanku kuliah di Jerman, apalagi dengan kondisi seperti saat ini. Di mana setelah aku ketemu Gustav di Singapore dan sekarang aku dekat dengan keluarganya di Jerman yang meyakini bahwa aku adalah bagian keluarganya yang hilang selama seperempat abad dan baru ditemukan kembali.
Selain masalah izin Ibu mau melepaskan kuliah di Jerman untuk waktu dua tahun, aku juga perlu klarifikasi dari ibu tentang Ayah dan diriku sebenarnya. Apakah Ibu akan terbuka? Apakah akan ada permasalahan antara aku dan Ibu setelah aku bertemu Ibu kembali di Jakarta?
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H