Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-16)

8 Desember 2022   07:12 Diperbarui: 8 Desember 2022   07:29 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam sudah menunjukkan angka enam. Aku pun bersiap untuk sarapan, dan seperti permintaan Gustav tadi malam agar aku menyinggahi di kamarnya sebelum turun ke resto tempat sarapan. Namun sebelum aku membuka pintu untuk keluar kamar, sudah terdengar bell pintu kamar. Ketika pintu kubuka, ternyata Gustav sudah ada di depan pintu.

 "Pagi Gustav. Lah, katanya menunggu aku singgahi dikamarmu Gustav?" sapaku sekaligus bertanya pada Gustav.

"Ya, aku sudah siap dari tadi. Daripada menunggu di kamar sendiri, lebih baik menunggu di sini. Dan, seperti kata Papa kemarin kehadiran Morgan di Jerman tidak lama, setelah pulang ke Indonesia, kita belum tahu kapan lagi bertemu. Aku benar-benar mau dekat dan menghabiskan waktuku bersama saudara kembarku yang  tak kutemui selama 26 tahun," jelas Gustav yang selalu membuat pertahanan batinku semakin melemah untuk menerima logikaku bahwa aku bukan saudara kandung Gustav.

Menunggu waktu jam 6.15 untuk turun ke bawah, sarapan bersama dengan peserta magang dari negara lain memberi waktu tambahan bagi Gustav untuk dekat dan bercakap-cakap denganku.

Jam 6.15 kami pun turun. Keluar dari lift sudah terlihat Cheon, Nguyen, Joong, dan Gonzales di lobby, dan kami pun menuju resto untuk sarapan. Selanjutnya kami pun berangkat ke Kantor Lingkungan Kota Heidelberg untuk magang hari terakhir di Heidelberg. Besok pagi kami tinggal ke kantor Cabang Deutsche Bank Heidelberg untuk melaporkan kegiatan magang kami dan pamitan untuk melanjutkan magang di Stuttgart.

Seharian aku dan peserta lain disibukkan dengan magang di Kantor Lingkungan Kota. Banyak pengalaman baru yang kudapat selama magang dan mempelajari Perencanaan Pengembangan Pengurangan Emisi CO2, baik yang kudapat dari IFEU yang melakukan feasibility study dan Kantor Lingkungan Kota Heidelberg sebagai penangungjawab program. Hari ini adalah terakhir, adalah saatnya untuk merangkum segala yang didapat dan mencari penjelasan untuk hal-hal belum jelas atau belum kami pahami.

Jam kantor pun berakhir, kami kembali ke hotel dengan minivan yang disediakan pihak Deutsche Bank untuk kami selama di Jerman. Hari ini Vera jadwal intraship di rumah sakit universitas. Jadi tidak ada rencana makan malam bertiga jika Vera sedang kebagian jadwal insternship malam di rumah sakit.

Selama di Heidelberg, kami memang belum pernah makan malam bersama dengan semua peserta. Keluar dari kantor, Gustav meminta driver untuk keliling kota dan dilanjutkan makan malam bersama. Besok pagi kami akan melaporkan kegiatan magang kami ke kantor cabang sekaligus pamitan dan meneruskan perjalanan untuk magang di Stuttgart.

Selasa, 17 September 1991 setelah melaporkan kegiatan magang di kantor cabang Deutsche Bank Heidelberg, jam sepuluh pagi kami pun bertolak ke Stuttgart menuju Cabang Deutsche Bank Stuttgart.  

Sampai di Stuttgart sudah hampir jam dua belas siang. Setelah melapor kedatangan kami, relationship officer menyilahkan kami makan siang terlebih dahulu, dan nanti setelah selesai jam istirahat akan bertemu dengan Branch Manaager.

Kegiatan magang kami di Stuttgart adalah mempelajari proyek Manajemen Energi Bangunan Publik. Proyek itu telah berjalan sejak tahun 1977, dan berhasil menghemat sekitar enam juta megawatt jam energi pemanas di Stuttgart dengan 0,6 juta megawatt jam listrik, serta mengurangi emisi CO2 sebesar 1,8 ton.

Proyek tersebut di Stuttgart sangat bermanfaat dan menjadi percontohan manajemen energi yang kemudian modelnya diadopsi oleh berbagai kota metropolitan dalam pengaturan dan pengurangan konsumsi energi di gedung-gedung kota. Proyek Manajemen Energi Bangunan Publik tersebut lebih efektif daripada pembangkit listrik tenaga nuklir.  

Di samping itu, di Stuttgart kami juga akan mempelajari pengembangan lanskap yang dilindungi dan kawasan konservasi alam dalam membangun kota metropolitan hijau. Stuttgart merupakan kota metropolitan terhijau di Jerman, dimana hampir tidak ada penduduk kota yang tinggal lebih jauh dari 300 meter dari ruang hijau. Bahkan, di pusat kota, area vegetasi alami terlihat dari segala penjuru.

Dalam sesi magang di Stuttgart, kami banyak berhubungan dengan Amt fr Umweltschutz - Landeshauptstadt Stuttgart (Kantor Perlindungan Lingkungan - Ibukota Negara Bagian Stuttgart).  Kami magang di Kantor itu selama tiga hari, dari Rabu hingga Jumat.

Aku sangat terkagum-kagum dengan pegawai kantor tersebut ketika mengenalkan diri dan tugas mereka. Pegawai tersebut mengatakan dengan ramah bahwa Kantor Perlindungan Lingkungan melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat kota dengan tugas mengembangkan dan menerapkan solusi yang dapat diterima secara ekologis, ekonomi dan sosial untuk tantangan masa depan ibu kota negara bagian Stuttgart.

Kami diajak selama tiga hari tersebut turun ke lapangan melihat berbagai implementasi perlindungan lingkungan yang dilakukan di Stuttgart. Kami melihat secara langsung sel surya di atap balai kota yang berkontribusi pada pasokan listrik dari energi terbarukan. Semoga semua itu bisa diterapkan di Indonesia tanah airku. Pemerintah Jerman telah siap membantu baik secara teknis maupun fasilitas pembiayaan.

Kami akan berada di kantor Cabang Deutsche Bank Stuttgart hari Senin, 23 September 1991 untuk merangkum apa yang didapat dari magang di Badan Perlindungan Lingkungan Stuttgart dan mempelajari teknis pembiayaan bank terhadap proyek terkait dengan perlindungan lingkungan. Dan, hari Selasa rencananya kami kembali ke Franfkfurt.

Selama di Stuttgart, akhirnya aku ikut menginap di rumah keluarga Gustav sesuai permintaan Papa dan Mama. Jam pulang kantor, hari-hari selama di Stuttgart dihabiskan dengan kebersamaan keluarga Gustav. Papa dan Mama sudah terang-terangkan memperlakukan aku sebagai saudara kembar Gustav yang hilang selama ini.

Aku masih tetap dengan logikaku, sesuai dengan dokumen-dokumen terkait tentang aku dan Ayahku. Di dalam dokumen yang pernah aku lihat, usiaku berbeda satu tahun dengan Gustav. Ayahku seorang warganegara Indonesia. Nama Ayahku dalam berbagai dokumen yang aku miliki adalah Jatmiko Rachman, sedangkan Ayah Gustav bernama Nicolaus Ehrlichmann.

Walau pun kusadari batinku mulai melemah menerima pengaruh logikaku. Batinku semakin dekat dengan Gustav yang memang begitu gencar mendekatiku dan mencuci otakku sejak pertemuan di Singapore bahwa aku pasti saudara kembarnya yang hilang dan telah ditemukan kembali saat ini. Demikian pula dengan sikap dan keyakinan Mama bahwa aku adalah anaknya yang dibawa suaminya ketika mereka bercerai. Dan, ditambah dengan sikap Papa yang begitu memperhatikanku selama di Stuttgart. Belum lagi Vera yang sangat bahagia bila berada dekatku.

Setiap pulang kantor telah tersedia berbagai makanan kecil untukku yang disediakan Mama. Dan, setiap makan malam ada saja hidangan yang katanya khusus dibuatkan untukku. Aku benar-benar serasa seorang anak yang sudah lama tidak pulang ke rumah orangtuanya.  Segala perhatian dicurahkan untukku.

Jumat malam, Vera pun menyusul dari Heidelberg ke Stuttgart untuk berakhir pekan dan berkumpul bersama keluarga. Dan, kehadiran Vera pun melengkapi kemesraan keluarga tersebut.

Sabtu pagi, Aku dan Morgan kembali bersepeda di Lembah Neckar sebagaimana hari Minggu lalu. Pulang dari bersepedaan, Gustav langsung bilang padaku, "Morgan sudah seminggu tidak telepon Ibu. Mumpung sekarang masih sore di Jakarta, telepon dulu Ibu sebelum Morgan ke kamar. Ibumu pasti sudah gelisah, anaknya tidak menelepon seminggu."

Aku tercekat dan tambah kagum dengan Gustav. Dia benar-benar seorang yang penuh perhatian dan logikanya sangat terjaga. Meskipun dia "memaksaku" untuk mengakui dia sebagai saudara kembarnya, namun dia paham bahwa aku mempunyai seorang Ibu yang membesarkanku yang harus tetap disayangi dan dihormati.

Ya, aku pasti masih mencintai dan akan tetap menyayangi Ibuku, andai pun suatu saat ternyata bahwa aku benar-benar bukan anak kandungnya. Aku tidak meneleponnya seminggu ini hanya karena aku tidak tahan jika mendengarkan lagi Ibu menangis dan berkata, "Morgan anak Ibu, Ibu tidak mau kehilangan Morgan, Hanya Morgan milik Ibu di dunia ini..." Aku benar-benar tidak ingin mendengar Ibu menangis lagi. Aku pun tidak akan mencari tahu tentang Ayah dan diriku sebenarnya sampai bertemu Ibu di Jakarta dan dalam suasana yang tepat.

Aku menelepon Ibu di Jakarta setelah diingatkan Gustav. Aku tidak banyak bercerita tentang keberadaanku di rumah keluarga Gustav. Aku hanya menyampaikan aku baik-baik saja dan disibukkan oleh kegiatan magang di Stuttgart, dan malam baru berada di rumah keluarga Gustav, seolah-olah aku hanya istirahat di rumah. Aku tidak bercerita bahwa hubungan aku dengan Papa  dan Mama semakin erat setiap malamnya.

Hari Minggu pagi, aku dan Gustav diajak Papa main golf. Sebelum kami berangkat bertemu dengan Alfred yang menjemput Mama untuk ke Gereja. Gustav terlihat berusaha menghindar untuk bertemu dengan Alfred. Gustav seperti mengambil sesuatu yang tertinggal di atas. Aku pun menyambut dan menyalami Alfred.

"Tidak ikut ke Gereja menemani Mama?" tanya Alfred kepadaku. "Mumpung di sini, temanilah Mama, pasti dia akan bahagia jika anaknya yang selama ini hilang, menemaninya menemui juru selamat," ujar Alfred melanjutkan ajakannya.

Aku hanya tersenyum membalas ajakan Alfred. Kemudian Alfred membimbing Mama keluar dan naik ke mobil untuk berangkat ke gereja. Aku yakin, Alfred pasti tidak tahu jika aku adalah seorang Muslim. Jika dia tahu, pasti Alfred tidak akan mengajakku menemani Mama beribadah Minggu.

Papa sudah siap di dalam mobil untuk berangkat ke lapangan golf. Aku masuk ke dalam rumah dengan maksud memanggil Gustav yang sudah ditunggu Papa di mobil. Sebelum aku naik tangga, Gustav ternyata sudah turun. "Ah, aku lagi malas mendengarkan kotbah Alfred yang itu-itu saja. Aku sudah menyatakan padanya aku tidak percaya dengan doktrin agama. Tapi dia seakan tiada jera untuk berkotbah kepadaku."

Aku diam, tidak mengomentari omelan Gustav. Seperti biasa, aku tidak bisa bicara banyak jika itu sudah menyangkut masalah keyakinan seseorang. Bagiku perbedaan itu untuk dinikmati bukan untuk dipertentangkan.

Bersambung...

Episode ke-17 dan selanjutnya akan dilanjutkan dengan judul "Misteri Bankir Kembar Antar Bangsa"

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun