"Itu membuktikan bahwa Tuhan hanya memilih orang-orang tertentu untuk dekat denganNya. Morgan mendapatkan dua doktrin agama yang berbeda, tetapi Morgan menjalankan kehidupan spiritual berdasarkan keyakinan kepada satu agama bukan kepada kedua agama yang doktrinnya mempengaruhi hari-hari Morgan," balas Gustav lagi.
Aku tidak melanjutkan argumenku kepada Gustav. Menurut keyakinanku, masalah kedekatan kita dengan Tuhan dan agama yang kita anut merupakan pengalaman spiritual masing-masing individu, bukan karena doktrin yang disampaikan orang lain untuk mempengaruhi kita mempercayai dan meyakini suatu agama.
Lantas, aku pun berpikir, jangan-jangan pikiranku juga pikiran seorang agnostik seperti Gustav. Mungkin yang membedakannya, Gustav tidak tersentuh oleh agama yang dikenalkan Mamanya, sementara aku begitu tersentuh dengan keyakinan agama yang menyertai kehidupanku bersama Ibu sejak aku mengenal arti kehidupan dunia. Aku dari kecil di sekolah  belajar agama yang berbeda dengan agama yang aku yakini dan aku jalankan ibadahnya di rumah. Â
Saat mahasiswa, aku juga mengambil mata kuliah fenomenologi agama dan ilmu budaya, serta ilmu alamiah dasar yang diajarkan oleh beberapa Pastor. Namun semua itu, tidak memengaruhi keyakinan agama yang aku peluk hingga saat ini. Dan hingga saat ini pun, aku tidak pernah mempermasalahkan keyakinan dan agama orang lain. Keyakinan dan agama tidak menjadi pembatas dalam pergaulan hidupku.
Sampai saat ini, aku masih suka membaca kitab suci dari berbagai agama. Hal itu malah memperdalam keyakinanku kepada Tuhan yang mengatur segala kehidupan di alam semesta ini, sehingga memperkuat imanku kepada agama yang kuanut saat ini.
Jarum jam sudah mendekati angka 12, malam sudah larut. Gustav pun pamit ke kamarnya, dan menyampaikan besok sebelum sarapan ke bawah, singgahi dia dulu di kamarnya.
Bersambung... Â Â
 Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H