Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-9)

30 November 2022   07:27 Diperbarui: 30 November 2022   07:33 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat pagi saat berangkat ke lokasi magang di IFEU, aku masih tak ingin banyak bicara seperti tadi malam. Demikian pula selama di IFEU, aku hanya bicara seperlunya. Aku pun ingin shalat Jumat, tapi tak tahu di mana. Waktu di Singapore, aku masih bisa melakukan shalat Jumat saat istirahat ke tempat shalat Jumat yang disiapkan oleh komunitas Muslim di dekat lokasi kantor Deutsche Bank. Tidak bisa shalat Jumat di Heidelberg hari ini membuat mood aku semakin buruk.

Tampaknya Gustav memahami kondisiku yang sedang tidak mood hari ini. Pas jam istirahat dia tidak banyak berbicara seperti menjaga perasaaanku yang sedang tidak menentu. Pikiranku masih membayangkan ibuku dan kata-katanya yang meyakinkanku bahwa dia adalah ibu kandungku. Nanti malam aku akan bertemu dengan seorang Ibu yang juga merasa aku adalah anak kandungnya yang hilang.

Perhatian Gustav sejak di Singapore yang tidak mau aku jauh darinya ditambah perhatian Vera sejak pertemuan di Airpot Frankfurt membuat batinku seakan dekat dengan Gustav dan keluarganya. Gustav penuh perhatian, dia tidak mau minum bir saat bersamaku di acara apa pun, dia malah mengingatkkanku jika dia lihat siang atau malam aku belum shalat.

Sementara aku tidak pernah melihatnya melakukan ritual tertentu, dan juga selama sebulan bersamanya aku tidak pernah melihatnya ke gereja. Hari minggu  selama di Singapore dan hari minggu kemarin di Jerman aktvitasnya seharian bersamaku. Bahkan, Vera pun hari minggu kemarin tidak terlihat ke gereja. Kami menghabiskan hari bersama dari Sabtu saat aku dan Gustav sampai di Jerman hingga  sorenya  Vera diantar ke train station untuk kembali ke Heidelberg dari Frankfurt. Bertanya tentang ibadah dan agama kepada orang Eropah adalah sesuatu yang sangat privasi.

Sore hari pun tiba, jam sudah menunjukan angka 5, kami pun bersiap untuk mengakhiri magang hari itu di IFEU. Senin kami akan berada di Kantor Lingkungan Kota untuk merangkum apa yang kami pelajari minggu ini di Heidelberg.

Seperti kemaren, kami berpisah pulang ke Hotel. Nguyen, Cheong, Joong, dan Gonzales pulang ke hotel dengan minivan Deutsche Bank. Aku dan Gustav sudah ditunggu mobil papanya Gustav dan supirnya. Kami pun menuju dorm Vera untuk menjemputnya berangkat bersama ke Stuttgart. Setelah menjemput Vera, kami menuju hotel untuk mengambil pakaianku yang akan di bawa berakhir pekan ke Stuttgart.

Di mobil sudah tersedia berbagai makanan dan minuman ringan untuk di perjalanan. Kata Vera, kami makan malam di rumah saja, Mama sudah mempersiapkan untuk diner bersama malam ini. Perjalanan ke Stuttgart lebih kurang satu setengah jam. Kami bertolak dari Hotel jam setengah tujuh. Jadi diperkirakan jam delapan kami sudah tiba di rumah keluarga Gustav dan Vera.

Selama di mobil aku lebih banyak diam, walau pun Vera banyak bercerita tentang apa saja yang dilihat di perjalanan. Gustav terlihat memahami aku sedang tak ingin bicara banyak seperti biasa jika kami bersama. Pikiranku sepanjang perjalanan selalu dibayangi oleh wajah Ibu dan kata-katanya di telepon yang selalu mengatakan tidak mau kehilangan aku dan aku adalah anak kandungnya.

Akhirnya, perjalanan kali ini yang kurasakan membosankan dan terasa lama itu berakhir. Mobil berhenti di sebuah rumah dengan gerbang tinggi dan besar. Dugaanku Papa Gustav dan Vera  bukan orang biasa mulai terasa. Setelah gerbang terbuka, mobil berhenti di teras rumah. Sepasang pria dan wanita separuh baya terlihat sudah berdiri di muka pintu.

Wanita itu segera menghambur menyambutku ketika pintu mobil terbuka. Dia langsung memelukku erat-erat. "Das Wunder, auf das ich gewartet habe, ist heute wahr geworden. Du bist wirklich mein lang verlorener Sohn," terdengar suaranya terisak. "Morgan, es tut mir leid, dass ich dich als Baby vernachlssigt habe," dan tangis wanita itu pun pecah.

Pria yang mendampinginya terlihat menenangkannya. Aku awalnya merasa hampa, namun ketika airmata wanita itu menyentuh pipiku dan pelukannya semakin erat, tiba-tiba ada sesuatu menelusup jauh di dalam batinku. Aku merasakan seperti sedang berada di suatu tempat yang belum pernah kualami. Aku merasa seperti menelusup kedalam rahim wanita itu. Airmataku pun menetes deras tanpa kukehendaki.

Terasa satu tangan kokoh merengkuh pundakku, terdengar seperti dia sedang menenangkanku. Tiba-tiba kami berempat berpelukan erat, dan terdengar pula suara Vera ikut menimpali dan ikut menambah banyak pelukan.

Laki-laki setengah baya itu terdengar terus menenangkan kami dan menuntun kami untuk masuk ke dalam ruangan. Tidak kata-kata yang bisa kuucapkan. Apakah ini sesuatu yang nyata? Mengapa aku begitu terbawa perasaan? Bukankah aku anak ibuku, seorang wanita Jawa bernama Sundari Sunarko?

Jika aku benar anak wanita Jerman itu? Bagaimana ibu yang kuakui selama ini membawaku bersama suaminya ke Jakarta? Jika suami ibuku sama dengan suami wanita Jerman itu ketika dia melahirkan bayi kembar, tetapi mengapa nama Ayah dan suaminya berbeda dengan kewarganegaraan yang berbeda? Oh, aku benar-benar bingung dalam pikiran yang berkecamuk dan tidak tahu harus bertanya kepada siapa.

Ketika suasana agak mereda, wanita itu mengambil sebuah album yang sudah dia persiapkan sebelumnya. Kemudian wanita itu membuka album tersebut dan melihatkan satu halaman photo-photo sepasang bayi kembar. Ada photo sepasang suami istri sedang mengendong bayi-bayi kembar tersebut. "Ini Ayah kita Morgan," terang Gustav sambil  menunjuk photo laki-laki yang sedang menggendong salah satu bayi. Terdengar suara ibunya menegaskan siapa lelaki yang ada di photo tersebut.

Aku berusaha mengingat photo-photoku bersama Ayah sebelum dia meninggal saat aku masih berumur 5 tahun di tahun 1970. Photo-photo tersebut masih hitam putih, jadi agak sulit membayangkannya. Di photo yang kulihat di Jerman ini, lelaki yang dibilang ayahku itu berambut gondrong. Sementara di photo-photo yang pernah kulihat di rumah ibuku  di Jakarta, ayahku berambut cepak.

Secara sepintas wajah ayahku dengan ayah Gustav ada kemiripan, yaitu sama-sama berhidung mancung seperti hidungku dan Gustav. Ibu tidak menyimpan photo-photo saat aku masih bayi. Kata Ibu, saat itu kondisi negara sedang tidak kondusif, sehingga tidak ada kesempatan untuk memphoto kondisiku saat bayi. Photo kecilku yang pertama, saat aku sudah berusia 3 tahun menurut Ibu.   

Tapi aku tidak membawa photo-photo itu untuk mencocokkan secara dekat. Aku cukup bingung dengan kondisiku saat ini. Di satu sisi aku masih yakin dengan apa yang disampaikan Ibuku selama ini. Di sisi lain, aku merasakan sesuatu yang beda dalam batinku.

Mulutku kemudian berucap, "photo ini berbeda dengan photo ayahku yang pernah kulihat sebelum Ayahku meninggalkanku saat aku masih kecil. Ayahku tidak berambut gondrong seperti di photo itu. Rambutnya cepak."

"Morgan, kami mengerti perasaanmu. Tentu tidak mudah mengenyampingkan apa yang disampaikan ibu yang membesarkanmu sejak kecil, apalagi dia membesarkan Morgan sebagai orangtua tunggal sejak Ayah kita meninggal dunia," Gustav berusaha menenangkanku.

"Sampai saat ini, aku masih meyakini dia adalah ibuku. Dan, aku juga belum yakin jika Ayah kita sama Gustav," aku bicara setengah nelangsa di depan mereka. Terdengar Mama Gustav menimpali kata-kataku dalam Bahasa Jerman.

Gustav menjelaskan apa yang yang disampaikan Mamanya, "kami sangat menghargai ibumu, dan Mama sangat berterimakasih kepada Ibu yang telah membesarkann Morgan. Jika dia tidak sayang sama Morgan, pertemuan ini tidak mungkin akan terjadi."

"Tapi, kami yakin suatu saat, bahwa Morgan adalah saudara kembar Gustav akan terungkap pada waktunya," lanjut Morgan.

"Sebagai lelaki dewasa, aku menghargai perhatian kalian, dan sangat memahami bagaimana kehilangan seorang anak bagi Mama dan seorang saudara kembar bagi Gustav. Aku bersedia menganggap kalian adalah keluargaku, tetapi aku tetap yakin aku anak ibuku yang bernama Sundari Sunarko, orang Indonesia," tuturku di depan mereka.

Papa Gustav dan Vera berdiri, dan berkata, "mari kita makan malam, hidangan sudah tersedia dari tadi," dia pun merangkul pundak istrinya dan satu tangannya menggapai tanganku.

Saat menuju meja makan, Papa Gustav berbisik ditelingaku, "apa pun yang terjadi, kami sangat menyayangimu, kami bahagia ada keajaiban yang telah mempertemukan kita."

Aku merasa bersyukur kepada Allah, telah dipertemukan dengan keluarga Jerman yang baik ini. Aku sangat simpati dengan mereka yang telah kehilangan anak dan saudara kandungnya, namun aku tetap yakin aku bukan keluarga kandung mereka.    

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun