Pria yang mendampinginya terlihat menenangkannya. Aku awalnya merasa hampa, namun ketika airmata wanita itu menyentuh pipiku dan pelukannya semakin erat, tiba-tiba ada sesuatu menelusup jauh di dalam batinku. Aku merasakan seperti sedang berada di suatu tempat yang belum pernah kualami. Aku merasa seperti menelusup kedalam rahim wanita itu. Airmataku pun menetes deras tanpa kukehendaki.
Terasa satu tangan kokoh merengkuh pundakku, terdengar seperti dia sedang menenangkanku. Tiba-tiba kami berempat berpelukan erat, dan terdengar pula suara Vera ikut menimpali dan ikut menambah banyak pelukan.
Laki-laki setengah baya itu terdengar terus menenangkan kami dan menuntun kami untuk masuk ke dalam ruangan. Tidak kata-kata yang bisa kuucapkan. Apakah ini sesuatu yang nyata? Mengapa aku begitu terbawa perasaan? Bukankah aku anak ibuku, seorang wanita Jawa bernama Sundari Sunarko?
Jika aku benar anak wanita Jerman itu? Bagaimana ibu yang kuakui selama ini membawaku bersama suaminya ke Jakarta? Jika suami ibuku sama dengan suami wanita Jerman itu ketika dia melahirkan bayi kembar, tetapi mengapa nama Ayah dan suaminya berbeda dengan kewarganegaraan yang berbeda? Oh, aku benar-benar bingung dalam pikiran yang berkecamuk dan tidak tahu harus bertanya kepada siapa.
Ketika suasana agak mereda, wanita itu mengambil sebuah album yang sudah dia persiapkan sebelumnya. Kemudian wanita itu membuka album tersebut dan melihatkan satu halaman photo-photo sepasang bayi kembar. Ada photo sepasang suami istri sedang mengendong bayi-bayi kembar tersebut. "Ini Ayah kita Morgan," terang Gustav sambil  menunjuk photo laki-laki yang sedang menggendong salah satu bayi. Terdengar suara ibunya menegaskan siapa lelaki yang ada di photo tersebut.
Aku berusaha mengingat photo-photoku bersama Ayah sebelum dia meninggal saat aku masih berumur 5 tahun di tahun 1970. Photo-photo tersebut masih hitam putih, jadi agak sulit membayangkannya. Di photo yang kulihat di Jerman ini, lelaki yang dibilang ayahku itu berambut gondrong. Sementara di photo-photo yang pernah kulihat di rumah ibuku  di Jakarta, ayahku berambut cepak.
Secara sepintas wajah ayahku dengan ayah Gustav ada kemiripan, yaitu sama-sama berhidung mancung seperti hidungku dan Gustav. Ibu tidak menyimpan photo-photo saat aku masih bayi. Kata Ibu, saat itu kondisi negara sedang tidak kondusif, sehingga tidak ada kesempatan untuk memphoto kondisiku saat bayi. Photo kecilku yang pertama, saat aku sudah berusia 3 tahun menurut Ibu. Â Â
Tapi aku tidak membawa photo-photo itu untuk mencocokkan secara dekat. Aku cukup bingung dengan kondisiku saat ini. Di satu sisi aku masih yakin dengan apa yang disampaikan Ibuku selama ini. Di sisi lain, aku merasakan sesuatu yang beda dalam batinku.
Mulutku kemudian berucap, "photo ini berbeda dengan photo ayahku yang pernah kulihat sebelum Ayahku meninggalkanku saat aku masih kecil. Ayahku tidak berambut gondrong seperti di photo itu. Rambutnya cepak."
"Morgan, kami mengerti perasaanmu. Tentu tidak mudah mengenyampingkan apa yang disampaikan ibu yang membesarkanmu sejak kecil, apalagi dia membesarkan Morgan sebagai orangtua tunggal sejak Ayah kita meninggal dunia," Gustav berusaha menenangkanku.
"Sampai saat ini, aku masih meyakini dia adalah ibuku. Dan, aku juga belum yakin jika Ayah kita sama Gustav," aku bicara setengah nelangsa di depan mereka. Terdengar Mama Gustav menimpali kata-kataku dalam Bahasa Jerman.