Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-3)

23 November 2022   07:04 Diperbarui: 23 November 2022   15:29 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (dokpri)

Cerita-cerita Gustav membuatku semakin penasaran dan ingin segera bercerita pada Ibu. Jumat sore selepas jam kantor aku pun menuju Kantor Telepon. Kepada Gustav kusampaikan, aku ada keperluan, dia jangan ikut aku kali ini. Gustav kuminta ke hotel saja, jika memang mau menungguku makan malam bersama, seperti biasa sejak aku menyatakan padanya untuk menganggap aku saudara kembarnya yang hilang hingga saudara kembarnya yang sesungguhnya ketemu kembali.

Ketika telepon tersambung, terdengar suara mbok Ijah. "Ibu sedang di ruang praktek Aden Morgan. Mbok pangilin ya, moga ndak lagi periksa pasien." Ibu selain praktek di rumah sakit, sore hari juga praktek di pavilun rumah.

Tak lama, terdengar suara Ibu, "Morgan, Ibu kangen sama kamu. Apakabar Nak?" Suara Ibu terlihat beda dari biasanya, tidak seperti jika kami sedang berpisah. Ada nada sangat rindu di sana. Setelah basa-basi menanyakan kabar, tentang makanku selama di Singapore, tentang kesehatan dan lain sebagainya seperti pembicaraan umum seorang ibu dengan anaknya yang sedang kangen-kangenan, aku pun membuka cerita Gustav.

Aku ceritakan pada Ibu semua yang yang diceritakan Gustav tentang dia dan saudara kembarnya yang hilang setelah perceraian ibu dan ayah mereka. Selama aku bercerita, Ibu banyak diam dan terdengar helaan-helaan nafas panjang tanpa interupsi sepata kata pun hingga aku menyelesaikan ceritaku.

"Morgan, cerita Gustav sangat berbeda dengan kehidupan kita. Mungkin banyak kebetulan-kebetulan yang sama antara Ayahnya Gustav dengan Ayahmu. Tetapi mereka berbeda, engkau anak Ibu, dia anak ibunya..." ibu sejenak terhenti, dan kembali menghela nafas panjang.

"Kamu anakku Morgan... Tidak ada seorangpun yang dapat mengambilmu dariku. Engkau satu-satunya milik Ibu yang berharga setelah Ibu seorang diri tanpa Kakek dan Nenekmu sejak Ibu kuliah di Jerman, dan Ayahmu pun telah pergi meninggalkan kita saat engkau masih kecil..." dan sayup-sayup terdengar Ibu tidak bisa menahan tangisnya.

"Ibu, Morgan tak akan meninggalkanmu, walau Gustav dan ibunya yakin aku saudara kembarnya yang hilang. Morgan yakin, Morgan anak Ibu dan Morgan sangat menyayangi Ibu," ujarku menenangkan Ibu dan sekaligus menenangkan diriku. Dalam hatiku yang bertanya, mengapa Ibu takut kehilangan aku? Bukankah aku anaknya? Apakah sebagai laki-laki yang sudah dewasa, aku akan meninggalkan ibuku begitu saja, karena ada orang yang  mengaku aku adalah saudara kembarnya? Dan ada seorang Ibu, di benua lain yang merasa bahwa aku adalah anaknya yang hilang?

Terdengar suara asisten praktek Ibu yang memanggil Ibu karena banyak pasien telah menunggu Ibu. Telepon pun kami tutup, dan Ibu pun berpesan untuk lebih sering meneleponnya.

Dari kantor telepon, aku singgah ke mart yang ada satu gedung dengan kantor telepon tersebut untuk membeli beberapa kebutuhan harianku yang habis di kamar hotel. Saat mengambil barang-barang yang kubutuhkan, dan dalam perjalanan pulang ke hotel, pikiranku menerawang. Mengapa Ibu, menangis seperti di telepon tadi?

Boleh dikata, aku hampir tak pernah melihat Ibu menangis, apalagi tersedu-sedu sebagaimana yang kudengar di telepon tadi dan lima hari yang lalu ketika aku bercerita pertemuan pertamaku dengan Gustav.

Ketika tiba di hotel, terlihat Gustav sudah ada di lobby. "Aku menunggumu dari tadi di sini. Mari kita makan malam," ujarnya sambil menggapit tanganku. "Aku mau menyimpan tas kerja dan belanjaanku ke kamar. Kamu makan saja dulu," elakku.

"Tidak, aku tidak mau makan tanpa kamu, Morgan saudara kembarku," wajahnya berubah mendung. "Sini, kantong belanjamu aku bawakan," Gustav langsung merebut kantong belanja dari tanganku dan menuntunku ke resto hotel dekat lobby itu.

Aku sebenarnya ingin menyendiri setelah menelepon Ibu tadi. Meskipun aku berusaha tenang dan yakin dengan kata-kata Ibuku, tapi kenapa ada secercah tanya, benarkah aku anak kandung Ibu?

Wajah ibuku, cantik, seperti puteri keraton Jawa. Sementara wajah Ayahku hanya kulihat dari beberapa photo yang tersimpan di album keluarga. Photo-photo itu masih hitam-putih, jadi aku tak bisa memastikan warna kulitnya, apakah juga bule dengan rambut yang tidak hitam pekat seperti rambutku. Rambutku berbeda dengan teman-temanku dan saudara-saudara Ibu yang terkadang bertemu pada acara kumpul keluarga besar.

Dari dokumen-dokumen yang baru kulihat ketika aku akan kuliah untuk mengurus kuliahku. Aku lihat dokumen pernikahan Ayah dan Ibu di Jerman, serta surat keterangan lahirku yang bukan akte kelahiran. Memang anak-anak seusiaku pada saat itu kebanyakan tidak memiliki akte kelahiran karena pada saat itu ada masalah kekacauan di dalam negeri. Baru pada tahun 1970, anak-anak kelahiran pertengahan era 60'an diurus surat keterangan lahirnya. Surat kematian Ayah pun kulihat berkewarganegaraan Indonesia.

Ayah dan Ibu menikah di Jerman akhir tahun 1964, dan tanggal lahirku yang tercantum dalam dokumen 28 Juni 1965 di Jakarta. Jika Ayah dan Ibu kembali ke Indonesia setelah pergantian pemerintahan, tentu mereka kembali setelah Maret 1967. Apakah Ayah dan Ibu sempat pulang ke Indonesia dan aku lahir di Jakarta, kemudian mereka balik lagi ke Jerman sebelum meletusnya G-30S/PKI? Atau memang aku lahir di Jerman, dan surat keterangan lahirku yang diterbitkan tahun 1970 isinya tidak sesuai dengan kenyataan? Tetapi, bukankah surat keterangan lahir itu dibuat di depan saksi-saksi? Aku mulai confuse memikirkannya.

"Morgan, mengapa kamu diam saja, dan kenapa wajahmu galau sekali?", suara Gustav mengejutkanku. "Ayo, makan! Nanti makanannya  dingin." Aku masih menelangsa, dan terasa telapak tangan Gustav ada di keningku, "Apakah, kamu sakit?"

"Tidak, aku tidak sakit. Aku hanya kangen dengan ibuku dan belum puas berbicara dengannya ditelepon tadi," jawabku. "Bukan kangen dengan pacarmu?", sergah Gustav. "Aku, lagi tak punya pacar," balasku.

"Nanti, sehabis on the job di sini, kamu ikut aku ke Jerman bertemu Ibu dan sekalian kenalan dengan gadis-gadis Jerman yang akan membuat kamu jatuh hati. Dan kita buat pesta pernikahan kita bersama," Gustav menyerocos di hadapanku. "Ayolah makan adik kembarku, nanti kamu benar-benar sakit jika kurang makan," Gustav tak berhenti berbicara.

Dengan agak ogah-ogahan aku makan juga hidangan yang telah tersaji. Jujur aku ingin sendirian malam ini, tanpa kehadiran Gustav. Banyak pikiran yang berseliweran setelah menelepon Ibu tadi.

Selesai makan, aku langsung pamit kepada Gustav. Tetapi dia mau ikut ke kamarku untuk ngobrol-ngobrol katanya. Aku ingin menolak, tetapi terlihat Gustav memaksa. "Besok kan kita libur, jadi kan ngak perlu cepat-cepat istirahat." Aku sedang malas untuk mendengarkan cerita-cerita Gustav tentang dirinya dan keluarganya yang akan membuatku semakin galau malam ini.

Gustav tak bergeming tetap mengikutiku dengan membawakan kantong belanjaku. Kami naik lift bersama. Di dalam lift terlihat beberapa orang yang berbisik-bisik melihat ke arah kami. Pasti mereka membicarakan kekembaran kami. Kami sangat mirip, hanya berbeda sedikit pada warna rambut. Rambutku agak hitam kepirang-pirangan, sementara Gustav lebih pirang dari warna rambutku.

Ketika lift terbuka di lantai kamarku berada, aku pun belok kanan menuju kamar diikuti Gustav di sampingku. Tiba-tiba Gustav berhenti dan membuka pintu sebuah kamar sebelum sampai ke kamarku. Aku pun bingung, "ini kamarku sekarang, aku  telah minta pindah kamar di sebelah kamarmu Morgan, agar kita selalu dekat selama di sini." Morgan pun menggeret tanganku masuk ke kamar itu.

"Walaupun kamu tidak mau mengakui kita saudara kembar dari satu ibu dan satu ayah, tetapi aku akan terus mengakuimu sebagai saudaraku sampai kapan pun." Gustav terus menyerocos. Gustav mempersilahkanku duduk. Kemudian dia menuju kulkas dan mengeluarkan dua kaleng bier. Kemudian mengunjukkan satu kaleng ke  tanganku. "Mari kita rayakan malam ini, aku telah membeli beberapa kaleng bier untuk menemani malam kita," katanya.

"Maaf, aku tidak minum bier. Ibuku mengajarkanku untuk tidak meminum alkohol karena kami Muslim." Lalu lanjutku, "Kamu minum saja sendiri, aku akan ke kamarku. Selamat menikmati bier mu dan selamat beristirahat." Aku pun bangkit dan bersiap ke kamarku.

Tangan Gustav pun menahanku, seraya bermohon, "Morgan, please forgive my mistake. I really don't know if you don't drink alcohol. Please be with me while we are here, even if you don't want to acknowledge me as your brother. Let me be happy to find my twins, even if it's just for a moment."

Aku pun tak sampai hati mendengar permohonan Gustav, walau hatiku sedang galau setelah mendengarkan suara kerinduan dan isak tangis Ibuku di telepon tadi.

Bersambung...

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun