Ketika tiba di hotel, terlihat Gustav sudah ada di lobby. "Aku menunggumu dari tadi di sini. Mari kita makan malam," ujarnya sambil menggapit tanganku. "Aku mau menyimpan tas kerja dan belanjaanku ke kamar. Kamu makan saja dulu," elakku.
"Tidak, aku tidak mau makan tanpa kamu, Morgan saudara kembarku," wajahnya berubah mendung. "Sini, kantong belanjamu aku bawakan," Gustav langsung merebut kantong belanja dari tanganku dan menuntunku ke resto hotel dekat lobby itu.
Aku sebenarnya ingin menyendiri setelah menelepon Ibu tadi. Meskipun aku berusaha tenang dan yakin dengan kata-kata Ibuku, tapi kenapa ada secercah tanya, benarkah aku anak kandung Ibu?
Wajah ibuku, cantik, seperti puteri keraton Jawa. Sementara wajah Ayahku hanya kulihat dari beberapa photo yang tersimpan di album keluarga. Photo-photo itu masih hitam-putih, jadi aku tak bisa memastikan warna kulitnya, apakah juga bule dengan rambut yang tidak hitam pekat seperti rambutku. Rambutku berbeda dengan teman-temanku dan saudara-saudara Ibu yang terkadang bertemu pada acara kumpul keluarga besar.
Dari dokumen-dokumen yang baru kulihat ketika aku akan kuliah untuk mengurus kuliahku. Aku lihat dokumen pernikahan Ayah dan Ibu di Jerman, serta surat keterangan lahirku yang bukan akte kelahiran. Memang anak-anak seusiaku pada saat itu kebanyakan tidak memiliki akte kelahiran karena pada saat itu ada masalah kekacauan di dalam negeri. Baru pada tahun 1970, anak-anak kelahiran pertengahan era 60'an diurus surat keterangan lahirnya. Surat kematian Ayah pun kulihat berkewarganegaraan Indonesia.
Ayah dan Ibu menikah di Jerman akhir tahun 1964, dan tanggal lahirku yang tercantum dalam dokumen 28 Juni 1965 di Jakarta. Jika Ayah dan Ibu kembali ke Indonesia setelah pergantian pemerintahan, tentu mereka kembali setelah Maret 1967. Apakah Ayah dan Ibu sempat pulang ke Indonesia dan aku lahir di Jakarta, kemudian mereka balik lagi ke Jerman sebelum meletusnya G-30S/PKI? Atau memang aku lahir di Jerman, dan surat keterangan lahirku yang diterbitkan tahun 1970 isinya tidak sesuai dengan kenyataan? Tetapi, bukankah surat keterangan lahir itu dibuat di depan saksi-saksi? Aku mulai confuse memikirkannya.
"Morgan, mengapa kamu diam saja, dan kenapa wajahmu galau sekali?", suara Gustav mengejutkanku. "Ayo, makan! Nanti makanannya  dingin." Aku masih menelangsa, dan terasa telapak tangan Gustav ada di keningku, "Apakah, kamu sakit?"
"Tidak, aku tidak sakit. Aku hanya kangen dengan ibuku dan belum puas berbicara dengannya ditelepon tadi," jawabku. "Bukan kangen dengan pacarmu?", sergah Gustav. "Aku, lagi tak punya pacar," balasku.
"Nanti, sehabis on the job di sini, kamu ikut aku ke Jerman bertemu Ibu dan sekalian kenalan dengan gadis-gadis Jerman yang akan membuat kamu jatuh hati. Dan kita buat pesta pernikahan kita bersama," Gustav menyerocos di hadapanku. "Ayolah makan adik kembarku, nanti kamu benar-benar sakit jika kurang makan," Gustav tak berhenti berbicara.
Dengan agak ogah-ogahan aku makan juga hidangan yang telah tersaji. Jujur aku ingin sendirian malam ini, tanpa kehadiran Gustav. Banyak pikiran yang berseliweran setelah menelepon Ibu tadi.
Selesai makan, aku langsung pamit kepada Gustav. Tetapi dia mau ikut ke kamarku untuk ngobrol-ngobrol katanya. Aku ingin menolak, tetapi terlihat Gustav memaksa. "Besok kan kita libur, jadi kan ngak perlu cepat-cepat istirahat." Aku sedang malas untuk mendengarkan cerita-cerita Gustav tentang dirinya dan keluarganya yang akan membuatku semakin galau malam ini.