Setiap pagi, Gustav sudah menungguku di lobby hotel untuk sarapan bersama dan setelah itu langsung berangkat ke kantor bersama. Hotel kami tidak jauh dari kantor, sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Gustav selalu bercerita banyak saat kami berdua, di luar jam kerja. Dia bercerita bahwa Ayah dan Ibunya bercerai saat dia dan saudara kembarnya belum genap berumur setahun. Ayahnya seorang dokter yang mengajar di Fakultas Kedokteran dan selalu sibuk. Ibunya merasa kesepian, tetapi Ayahnya tidak peduli, hingga akhirnya mereka bercerai dan masing-masing membawa  satu anak.
Setelah bercerai, Ibu Gustav meninggalkan Heidelberg, kota tempat Ayahnya menjadi dokter sekaligus dosen, kembali ke Stuttgart, kota asal ibunya. Dua tahun setelah bercerai, ibunya menikah lagi dengan seorang manajer pabrik mobil di kotanya. Ketika Gustav, berumur 5 tahun, lahirlah adiknya seorang perempuan, yang masih kuliah dan sebentar lagi akan jadi dokter.
Entah mengapa setiap Gustav bercerita tentang Ibunya, hatiku ikut bergetar. Jangan-jangan yang diceritakan Gustav benar. Tetapi, aku lebih yakin dengan ibuku yang sejak aku kenal dunia yang aku tahu ibuku hanya dia. Ibu yang setia, meskipun pada usia lima tahun aku telah kehilangan Ayah, tetapi Ibu tidak pernah menikah lagi demi aku.
Gustav bilang nama saudara kembarnya adalah Morgan Nicolaus Ehrlichmann, sementara dia sendiri bernama Gustav Nicolaus Ehrlichmann. Nama ku yang ada dalam surat keterangan Akte Kelahiranku adalah "Margano Jatmiko Rachman anak dari seorang perempuan Sundari Sunarko hasil pernikahan dengan Jatmiko Rachman." Tempat kelahiranku di Jakarta, sementara Gustav lahir Heidelberg.
Menurut ibuku, dia bertemu almarhum Ayah ketika kuliah di Heidelberg. Ayah sudah lebih dulu jadi dokter di Jerman. Ketika Ibu lulus, Indonesia sedang bergejolak, sehingga dia tidak bisa pulang ke Indonesia dan bekerja di Jerman bersama Ayah. Ibu baru pulang ke Indonesia bersama Ayah setelah kondisi keamanan Indonesia mulai kondusif. Ayah bekerja sebagai dokter sukarelawan membantu penanggulangan malaria yang menyerang berbagai pelosok negeri Indonesia.
Menurut cerita Ibu, sejak kemerdekaan Indonesia, malaria merupakan penyakit yang menakutkan, hingga datang bantuan USAID yang menekan angka kematian karena malaria pada tahun 1959. Akan tetapi, tahun 1964 pemerintah memutuskan banyak kerjasama dengan Amerika termasuk penaggulangan malaria yang sudah jauh menurun dari sebelumnya.
Ketika pemerintah berganti, dokter-dokter Indonesia yang dulu disekolahkan pemerintah diminta pulang dan pemerintah juga merekrut banyak dokter asing untuk penanggulangan malaria. Dan, ibu beserta Ayah pun pulang ke Indonesia. Selanjutnya Ayah menjadi dokter sukarelawan yang bertugas menanggulangi malaria di berbagai pelosok negeri, hingga akhirnya Ayah pun ikut terkena malaria ketika sedang bertugas di Jawa Tengah, dan meninggal setelah sempat dibawa ke Jakarta. Sementara Ibu bertugas di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta.
Mendengarkan cerita-cerita Gustav, secara tidak sadar aku pun mulai membandingkan dan mencocokkan ceritanya dengan cerita ibuku. Gustav dilahirkan satu tahun lebih dahulu dibandingkan aku, berdasarkan surat keterangan kelahiran yang kupegang. Nama Ayah Gustav adalah Nicolaus Ehrlichmann, sementara nama ayahku adalah Jatmiko Rachman. Gustav seorang Nasrani, sementara aku seorang Muslim. Gustav dan ayahnya berkewarganegaraan Jerman, sementara aku dan ayahku warganegara Indonesia.
Saat itu, HP belum familiar, yang ada baru mobilephone yang besar dan biasanya dibawa di mobil. Sehingga jika sedang berada di luar negeri, kita harus menelpon ke kantor telepon. Jika minta disambungkan telepon internasional pada operator hotel, biayanya sangat mahal. Aku ingin sekali bercerita banyak dengan ibuku tentang hal itu, tetapi tidak mungkin bicara berlama-lama di telepon. Aku pikir, setelah aku kembali ke Indonesia dalam tugas yang hanya sebulan ini, aku akan bertanya dan bercerita banyak dengan ibuku.
Bersambung...