Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Gelembung Keuangan, Belajar dari Resesi Ekonomi Dunia 1998 (Bagian 2)

26 Oktober 2022   09:01 Diperbarui: 30 Oktober 2022   01:15 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era ekonomi baru dengan gaya kapitalisme Amerika sejak runtuhnya Uni Soviet di awal 1990'an telah memunculkan gairah ekonomi irasional. 

Gairah irasional telah membuat asset keuangan negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) tumbuh dua kali lebih cepat daripada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB/GDP). 

Pembesaran asset keuangan seperti itu, merupakan suatu distorsi ekonomi yang amat menyesatkan.

Penyesatan itu terjadi, karena pemindahan kekuasaan ekonomi dari orang yang menciptakan kekayaan yang sesungguhnya kepada orang yang membuat uang. (Korten, 1999)

Pembesaran asset keuangan jauh di atas nilai produksi barang dan jasa menyebabkan terjadi gelembung keuangan (financial bubble). 

Transaksi gelembung keuangan terjadi ketika suatu lembaga mempromosikan sebuah skema investasi yang tidak didukung oleh suatu aktivitas yang produktif. 

Kepiawaian berpromosi kepada pemilik tabungan untuk ikut serta menanamkan investasinya dilakukan dengan janji keuntungan yang sangat besar setiap bulan.

Banyaknya dana yang masuk, membuat lembaga yang melakukan promosi tersebut memakai sebagian uang dari investor untuk membayar keuntungan-keuntungan yang telah dijanjikan kepada investor yang datang terlebih dahulu. 

Pembayaran keuntungan kepada investor awal menimbulkan rasa percaya investor berikutnya terhadap skema tersebut. Hal tersebut, menambah keyakinan banyak orang untuk ikut berinvestasi.

Banyak orang dicengkram demam spekulasi dan menjual asset mereka untuk ikut serta dalam keuntungan besar yang dijanjikan berupa harta kekayaan yang diperoleh tanpa susah payah. 

Dan, pada titik tertentu, semua menjadi terbalik. Asset yang dipertaruhkan untuk mendapatkan kekayaan yang luar biasa, hanya menjadi impian kosong dengan hilangnya pihak yang seharusnya bertanggungjawab.

Kondisi semacam itu, terjadi juga pada bursa dunia. Berdasarkan keyakinan yang salah, banyak orang membeli saham atau reksa dana berharap akan menghasilkan keuangan yang produktif di masa depan. 

Berdasarkan angka Federal Reserve tahun 1993, pendanaan saham yang dijual melalui penjualan saham baru hanya menyumbang empat persen terhadap seluruh modal keuangan dari perusahaan-perusahaan terbuka di Amerika Serikat. 

Sisa modal didapatkan dari pinjaman sebesar 14%, dan pendapatan yang ditahan sebesar 82%.

Perusahaan-perusahaan penjual saham ketika itu, sebenarnya, lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli saham mereka sendiri dibandingkan dengan apa yang mereka terima dari penerbitan saham-saham baru. 

Aliran dana yang murni dari pasar saham ke perusahaan pada hakikatnya adalah negatif.

Menurut Korten (1999), sesungguhnya, pasar saham adalah sebuah kasino judi canggih dengan wataknya yang unik. 

Para pemain di pasar saham, melalui interaksinya, memperbesar harga saham-saham yang dimainkan demi menambah asset keuangan kolektif mereka. Hal itu, memperbesar tuntutan mereka terhadap kekayaan yang sesungguhnya dari anggota masyarakat yang lain.

Berjalannya permainan tersebut, dapat dirasakan pada krisis moneter Asia. Perputaran pasar saham dunia berdampak terhadap kehidupan manusia-manusia sesungguhnya. 

Pada tahun 1997, mukjizat keuangan Asia yang sering digembar-gemborkan sebelumnya, tiba-tiba berubah menjadi kehancuran keuangan Asia. 

Kehancuran tersebut dimulai dari Thailand, dan kemudian dengan cepat menjalar, sebagaimana deretan kartu domino yang berjatuhan, ke Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, dan Hong Kong.

Pemasukan mata uang asing yang besar pada fase mukjizat Asia, dengan cepat mencetuskan gelembung-gelembung keuangan yang berkembang dalam saham dan real estate. 

Pertumbuhan yang cepat dalam impor dan penjualan barang-barang konsumsi mewah, menciptakan sebuah khayalan kemakmuran ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan suatu pertambahan dalam hasil produkstif yang sesungguhnya. 

Gelembung-gelembung yang semakin berkembang itu, lalu menarik lebih banyak uang lagi.

Image: Fatamorgana gelembung keuangan (by Merza Gamal)
Image: Fatamorgana gelembung keuangan (by Merza Gamal)

Bank-bank internasional menciptakan uang dengan menerbitkan hutang yang diperoleh dari asset-asset yang digelembungkan itu. Investasi industri dan pertanian produktif tidak mampu bersaing dengan hasil-hasil yang diperoleh dari spekulasi saham dan real estate. 

Oleh karena itu, investasi asing yang masuk ke dalam sebuah negara, memperbanyak uang-uang yang mengalir keluar dari sektor-sektor produktif untuk ikut serta dalam ajang spekulasi.

Ketika terjadi goncangan, para investor segera menarik uang mereka keluar untuk mengantisipasi keambrukan. Akibatnya, harga saham dan real estate menjadi jatuh. 

Namun demikian, bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya dibiarkan begitu saja dengan sejumlah besar daftar hutang yang tidak dapat ditagih. Mengeringnya likuiditas mengancam kehancuran keuangan.  

Dalam rangka penyelamatan atas  kondisi tersebut, pemerintah membayarkan hutang-hutang para banker dan badan-badan investasi dengan uang pemerintah. 

IMF pun tak kalah bergegas membantu dengan hutang darurat yang dijamin oleh pemerintah. IMF memberikan bantuan USD 57 milyar kepada Korea Selatan pada bulan Desember 1997, sebagai contoh.

Seketika dengan bantuan tersebut, pasar saham Korea meningkat kembali dengan bergairah. Akan tetapi yang menyedihkan, para spekulator mengambil uang IMF itu dan melarikan diri. 

Akibatnya, pasar saham menderita kejatuhan 50% dan pembayar pajak Korea mendapatkan surat hutang IMF sebanyak USD 57 milyar ditambah dengan bunga yang harus dibayar dalam valuta asing.

Dari pengalaman yang terjadi di Asia, mengajarkan, bahwa suatu kenyataan yang amat umum terjadi, yaitu kemampuan kapitalisme untuk menciptakan sebuah khayalan kemakmuran dengan jalan menciptakan demam spekulasi. 

Padahal yang terjadi sebenarnya, adalah sebuah kenyataan yang menggerogoti aktivitas yang benar-benar produktif.

Spekulasi uang di pasar saham dan peminjaman uang yang tidak bertanggungjawab oleh bank, membuat banyak pihak terhanyut dalam kehancuran gelembung-gelembung keuangan. 

Namun demikian, para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme itu, tampaknya, tetap tidak mempan dan tidak paham terhadap perbedaan investasi produktif dengan investasi yang ekstratif. 

Investasi produktif adalah menggunakan tabungan untuk menambah dasar modal produktif di satu pihak, sementara investasi yang ekstraktif adalah menghasilkan uang dengan jalan spekulasi untuk mengajukan tuntutan kekayaan orang lain yang benar-benar ada.  

Terjadinya transaksi keuangan internasional yang lebih besar daripada harga keseluruhan ekonomi global pada dekade terakhir, mempunyai andil membuat ketidakpahaman para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme uang tersebut. 

Volume perdagangan uang internasional meningkat delapan kali lipat dari dekade sebelumnya atau mencapai USD 1,5 milyar per hari. Akan tetapi, volume ekspor barang dan jasa global hanya USD 25 milyar per hari atau selama satu tahun hanya USD 6,6 trilyun.

Image: Belajar dari Resesi Ekonomi Dunia 1998 (by Merza Gamal)
Image: Belajar dari Resesi Ekonomi Dunia 1998 (by Merza Gamal)

Kondisi tersebut memperlihatkan, bahwa betapa mencoloknya perbedaan perdagangan riil dibandingkan dengan perdagangan asset-asset keuangan yang bersifat maya. 

Logika kapitalisme uang yang kurang memperdulikan tindakan-tindakan dalam membuat tambahan bersih kepada hasil produk dan jasa, mengakibatkan tidak satu sen pun investasi dalam menciptakan atau mempertinggi suatu asset yang produktif.

Tujuan kapitalisme uang hanya menambah keseluruhan nilai pasar dari surat-surat berharga yang diperdagangkan, sehingga hanya berfungsi untuk menciptakan gelembung-gelembung uang sementara. 

Gelembung-gelembung tersebut akan menambah tuntutan mereka yang memegang sekuritas dalam menghadapi kekayaan masyarakat yang sesungguhnya. 

Dengan kondisi demikian, kapitalisme uang telah melupakan produksi dan kepentingan-kepentingan kelas pekerja, masyarakat, dan alam.

MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun