Dan, pada titik tertentu, semua menjadi terbalik. Asset yang dipertaruhkan untuk mendapatkan kekayaan yang luar biasa, hanya menjadi impian kosong dengan hilangnya pihak yang seharusnya bertanggungjawab.
Kondisi semacam itu, terjadi juga pada bursa dunia. Berdasarkan keyakinan yang salah, banyak orang membeli saham atau reksa dana berharap akan menghasilkan keuangan yang produktif di masa depan.Â
Berdasarkan angka Federal Reserve tahun 1993, pendanaan saham yang dijual melalui penjualan saham baru hanya menyumbang empat persen terhadap seluruh modal keuangan dari perusahaan-perusahaan terbuka di Amerika Serikat.Â
Sisa modal didapatkan dari pinjaman sebesar 14%, dan pendapatan yang ditahan sebesar 82%.
Perusahaan-perusahaan penjual saham ketika itu, sebenarnya, lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli saham mereka sendiri dibandingkan dengan apa yang mereka terima dari penerbitan saham-saham baru.Â
Aliran dana yang murni dari pasar saham ke perusahaan pada hakikatnya adalah negatif.
Menurut Korten (1999), sesungguhnya, pasar saham adalah sebuah kasino judi canggih dengan wataknya yang unik.Â
Para pemain di pasar saham, melalui interaksinya, memperbesar harga saham-saham yang dimainkan demi menambah asset keuangan kolektif mereka. Hal itu, memperbesar tuntutan mereka terhadap kekayaan yang sesungguhnya dari anggota masyarakat yang lain.
Berjalannya permainan tersebut, dapat dirasakan pada krisis moneter Asia. Perputaran pasar saham dunia berdampak terhadap kehidupan manusia-manusia sesungguhnya.Â
Pada tahun 1997, mukjizat keuangan Asia yang sering digembar-gemborkan sebelumnya, tiba-tiba berubah menjadi kehancuran keuangan Asia.Â
Kehancuran tersebut dimulai dari Thailand, dan kemudian dengan cepat menjalar, sebagaimana deretan kartu domino yang berjatuhan, ke Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, dan Hong Kong.