Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kegairahan Irasional (Belajar dari Resesi Ekonomi Dunia 1998, Bagian 1)

25 Oktober 2022   13:30 Diperbarui: 25 Oktober 2022   14:03 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

David Malpass, Presiden Bank Dunia (World Bank) pada beberapa kesempatan menyampaikan, "Pertumbuhan global melambat tajam, dengan kemungkinan perlambatan lebih lanjut karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi. Kekhawatiran mendalam saya adalah bahwa tren ini akan bertahan, dengan konsekuensi jangka panjang yang menghancurkan orang-orang di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang,"

Pernyataan tersebut membangkitkan kembali bayangan resesi ekonomi akibat krisis moneter tahun 1998 yang sangat parah dan membutuhkan pemulihan dalam waktu lebih 5 tahun. Kakek Merza yang saat itu sudah menjadi senior manajer pada Bank nasional ikut mengalami dan merasakan kisruhnya resesi yang melanda dunia saat itu

Pada saat ini, tingkat inflasi global terus meningkat dan diperkirakan akan mencapai sekitar 5 persen di tahun 2023, di luar pengaruh sektor energi. Penyebab inflasi tersebut adalah terjadinya gangguan pasokan dan tekanan pasar tenaga kerja, dan terutama karena kenaikan suku bunga.  Untuk memotong inflasi global ke tingkat yang konsisten dengan target, bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan 2 poin persentase dari normal.

Image: Tingkat inflasi  global  terus meningkat (File by Merza Gamal)
Image: Tingkat inflasi  global  terus meningkat (File by Merza Gamal)

Apabila kenaikan suku bunga tersebut disertai dengan tekanan pasar keuangan, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) global akan melambat menjadi 0,5 persen pada 2023. Kondisi tersebut berarti terjadi kontraksi 0,4 persen dalam istilah per kapita yang akan memenuhi definisi teknis dari resesi global. Untuk itu, kita harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk terjadinya resesi global pada tahun 2023.

Image: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) global semakin melambat (File by Merza Gamal)
Image: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) global semakin melambat (File by Merza Gamal)

Dalam sebuah siklus ekonomi, pasang surut perekonomian merupakan sebuah hal yang lumrah terjadi. Sebuah siklus ekonomi, selalu melihatkan adanya fase lonjakan yang tanpa terelakkan akan disusul oleh sebuah peluruhan (bust).

Era Ekonomi Baru yang lahir setelah runtuhnya kekuasaan Uni Soviet, telah menjadikan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa tunggal dan menandai kemenangan ekonomi pasar atas sosialisme.  Kondisi pasar yang terjadi pada era ekonomi baru, bukan hanya kapitalisme mengalahkan komunisme, tetapi juga menjadikan kapitalisme versi Amerika yang didasari kegigihan individualisme mengalahkan versi-versi kapitalisme lain yang lebih lunak dan halus (Stiglitz, 2003).

Tatanan kapitalisme era ekonomi baru telah mendorong peningkatan aliran dana yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari negara maju ke dunia berkembang, yakni enam kali lipat dalam enam tahun, peningkatan perdagangan dalam satu dekade mencapai 90% lebih, dan pertumbuhan ekonomi mencatat angka yang sangat luar biasa.

Kondisi tersebut, awalnya diharapkan akan menciptakan lapangan kerja yang besar dan pertumbuhan kesejahteraan yang lebih baik. Inti kapitalisme era ekonomi baru ditandai dengan kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi yang merevolusi cara dunia berbisnis. Perusahaan teknologi juga mengubah laju perubahan teknologi itu sendiri dan meningkatkan tingkat pertumbuhan produktivitas ke taraf yang tidak tercapai dalam seperempat abad lebih.

Perusahaan teknologi telah mengubah basis perekonomian dari manufaktur ke gagasan dan menjadi primadona dalam lapangan bisnis era ekonomi baru. Para investor berebut untuk menginvestasikan dana mereka pada perusahaan-perusahaan teknologi. Akibat dana Sebagian besar diinventasikan pada suatu sektor dapat memunculkan "kegairahan irasional"  dalam sebuah pasar.

Dalam ekonomi pasar, harga merupakan faktor penting guna membangun kepercayaan dan berfungsi sebagai sinyal yang menuntun alokasi sumber daya. Apabila harga didasari oleh informasi mengenai fakta dasar suatu pasar tertentu, maka keputusan yang dibuat investor berdasarkan harga tersebut merupakan keputusan yang sehat. Dengan demikian, sumber daya akan dialokasikan dengan baik dan perekonomian akan tumbuh dengan wajar.

Akan tetapi, jika harga-harga sesungguhnya bersifat acak yang didasari oleh perilaku irasional spekulator pasar, maka investasi akan kacau balau. Spekulasi muncul akibat terlalu mengandalkan kepercayaan pasar dibandingkan pengetahuan tentang pasar. Investor pun kurang mengindahkan ekonomi riil yang melandasi pemilihan investasi. 

Kondisi tersebut memunculkan sebuah "kegairahan irasional", sehingga harga-harga yang terjadi hanya didasari oleh trend semata. Para investor demi mengejar kenaikan harga dan keuntungan, mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan normal perilaku investasi rasional. Investor akhirnya melakukan investasi di dalam pasar yang sebenarnya bercirikan risiko tinggi.

Perkembangan yang tidak rasional tersebut, merupakan tahap "mania" atau "gelembung" dalam bom (Gilpin & Gilpin, 2000). Harga dan laju penambahan uang yang dispekulasikan pun meningkat, dan pada titik tertentu pasar akan mencapai puncaknya. Beberapa investor yang berada dalam pasar kemudian mengkonversi investasinya ke dalam bentuk uang atau memindahkannya menjadi investasi lain, untuk mengantisipasi kondisi yang akan terjadi berikutnya.

Melihat hal tersebut, banyak spekulan yang sadar, bahwa "permainan" akan berakhir dan ikut menjual asset-asset investasi mereka. Mereka beradu cepat untuk keluar dari asset-asset yang berisiko dan bernilai tinggi menjadi semakin sengit. Akhirnya mereka berubah menjadi gerombolan liar yang mengejar kualitas dan keamanan untuk kepentingan diri sendiri.

Kejadian tersebut menimbulkan sinyal pasar yang memicu kekacauan dan menyebabkan paniknya dunia keuangan. Kepanikan tersebut berwujud menjadi kegagalan bank, bangkutnya suatu korporasi, atau sejumlah peristiwa yang tidak mendukung lainnya. Pada saat para investor terburu-buru keluar dari pasar, harga-harga pun berjatuhan, kebangkutan meningkat, dan "gelembung" spekulasi akhirnya meletus yang menyebabkan harga ambruk.

Kepanikan pasar pun terjadi. Bank-bank kemudian menghentikan pinjaman yang menyebabkan remuknya kredit, suatu masa resesi, atau bahkan mungkin depresi mengikutinya. Pada akhirnya, panik mereda dengan cara abnormal dan ekonomi terpulihkan,  pasar pun kembali pada kesetimbangan, setelah membayar sedemikian mahal.

Kondisi tersebutlah yang dirasakan pada resesi ekonomi akibat krisis moneter tahun 1998 yang berimbas bertahun-tahun untuk pulih kembali. Pertumbuhan ekonomi yang diwarnai dengan kegairahan irasional, juga menimbulkan suatu kondisi lain. 

Pemilik modal menjadi semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari realitas perdagangan praktis. Mereka menggantungkan hidup dari pendapatan yang diperoleh dari kepemilikan uang dan mengharapkan uang yang diinvestasikan semakin menumpuk. Kondisi tersebut telah menyimpang dari realitas ekonomi yang sebenarnya.

Kapitalisme era ekonomi baru telah menjadikan orang yang memiliki uang dapat meningkatkan tuntutan terhadap kumpulan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya tanpa memberi kontribusi kepada produksinya. 

Hal tersebut menyebabkan sejumlah kecil orang menjadi kaya namun tidak produktif. Logika kapitalisme uang mendefinisikan uang adalah kekayaan. Tujuan aktivitas ekonomi adalah bagaimana menciptakan uang sebanyak mungkin, tanpa peduli apakah hal tersebut akan meningkat segmen produksi dan kesejahteraan masyarakat luas.

MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun