Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mendestigmatisasi Masalah Kesehatan Mental di Tempat Kerja

11 Oktober 2022   07:40 Diperbarui: 12 Oktober 2022   19:15 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi depresi saat pandemi. Mental health care for all: let's make it a reality. (sumber: Shutterstock/Boyloso via kompas.com) 

Dalam McKinsey Health Institute Survey 2022 baru-baru ini, empat dari lima pemimpin SDM mengatakan bahwa mereka menganggap kesehatan mental dan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas utama. 

Untuk itu, miliaran dolar di investasikan dunia bisnis untuk manfaat kesehatan.

Namun, sayangnya hampir semua fokus pada perbaikan gejala, bukan untuk mendapatkan akar penyebab kelelahan (burnout) para pekerja. 

Seharusnya, pengusaha dan eksekutif perusahaan melakukan langkah mundur dan merenungkan tantangan struktural lingkungan, yang mungkin menyebabkan kelelahan. 

Apabila akar penyebabnya tidak diperbaiki, maka insan perusahaan akan terus berada pada lingkungan yang semakin meningkatkan kelelahan.

Burnout (kelelahan bekerja) sering diasumsikan sebagai murni pengalaman individu, sehingga menjadi sesuatu bagi seseorang untuk memperbaiki dan menjadi lebih baik sendiri. 

Seharusnya perusahaan melengkapi insannya yang mengalami kelelahan bekerja (burnout) dengan semua alat yang mereka butuhkan untuk memperbaikinya.

Eksekutif perusahaan sering melewatkan dampak yang datang dari bagaimana tim, bagaimana para pemimpin, bagaimana organisasi yang lebih luas memengaruhi cara orang menjalani kehidupan mereka di tempat kerja. 

Image: Mendestigmatisasi Masalah Kesehatan  Mental di Tempat Kerja (Photo by Merza Gamal)
Image: Mendestigmatisasi Masalah Kesehatan  Mental di Tempat Kerja (Photo by Merza Gamal)

Oleh karena itu, dengan memperhatikan masalah sistemik dan benar-benar masuk ke beberapa akar penyebab akan membuka perubahan nyata kinerja perusahaan.

Bagi pemberi kerja, penting untuk mengakui bahwa mereka memiliki akuntabilitas dan tanggung jawab apakah pekerja mereka merasa lelah atau tidak. Hal tersebut bukan hanya tentang jumlah jam kerja, tetapi merupakan budaya yang lebih luas dan membutuhkan keberanian. 

Kesadaran terhadap kondisi tersebut merupakan langkah besar, karena merupakan tanggung jawab besar bagi pemberi kerja untuk bersedia mengatasi burnout. 

Menjadi lebih diterima dan normal untuk menyadari bahwa untuk menjadi yang terbaik dan efektif sebagai seorang pemimpin, sangat penting bagi eksekutif perusahaan untuk memiliki momen dan periode pemulihan dan ketahanan.

Untuk membuat perubahan terjadi harus mampu menemukan cara untuk memulai dialog dengan aman. 

Ketika eksekutif perusahaan memikirkannya, harus bisa melihat apakah kesehatan mental adalah sesuatu yang mereka alami sekarang atau sesuatu yang mereka alami di masa lalu atau yang mungkin mereka alami di masa lalu dan beberapa bulan ke depan. 

Kemampuan berbagi pengalaman secara terbuka, terutama di tingkat kepemimpinan, akan membuat perbedaan dalam penanganan kesehatan mental di tempat kerja.

Image; Survey kondisi tempat kerja di berbagai negara (File by Merza Gamal)
Image; Survey kondisi tempat kerja di berbagai negara (File by Merza Gamal)

Dalam survei yang dilakukan McKinsey Health Institute tahun 2021 terhadap sejumlah besar pekerja, ditemukan lebih dari sepertiga dari atau 37 persen pekerja dengan tantangan kesehatan mental yang menunjukkan bahwa mereka akan menghindari perawatan karena mereka tidak ingin siapa pun di tempat kerja mereka mengetahui tentang kondisi mereka.

Agar dapat membuat perbedaan yang sangat besar dalam menangani kelelahan bekerja (burnout), sebagai langkah pertama di sepanjang lereng licin menuju tantangan kesehatan mental yang lebih luas adalah dengan mengatasi stigma secara langsung dan membuka dialog di sekitar lingkungan tempat kerja.

Kebanyakan pemimpin bermaksud baik. Mereka tidak ingin pekerjanya kehabisan tenaga. Mereka tentu tidak ingin sebagian besar pekerja pergi. 

Oleh karena itu perlu cara terbaik bagi para pemimpin untuk mendapatkan dasar tentang burnout di organisasi mereka dan kemudian, yang terpenting, untuk memahami apakah mereka membuat kemajuan saat mereka mulai mengambil beberapa langkah untuk memperbaiki keadaan.

Untuk itu, pengukuran menjadi sangat penting. Tidak mungkin untuk benar-benar membuat seseorang bertanggung jawab sebagai pemimpin atau sebagai organisasi jika tidak dilakukan pengukuran. 

Pengukuran juga membawa tanggung jawab. Jika eksekutif perusahaan akan melakukan studi dasar, maka ada harapan dari para pekerja bahwa perusahaan akan melakukan sesuatu dengan informasi tersebut dan perubahan itu akan terjadi.

Jika ekskutif perusahaan tidak melakukan baseline sama sekali atau tidak mengajukan pertanyaan untuk benar-benar memahami keadaan insan perusahaannya saat ini, maka burnout akan semakin parah. 

Semakin banyak eksekutif mengetahuinya sekarang, semakin menunjukkan komitmen sejak dini karena perusahaan dianggap peduli dan melakukan perbaikan. 

Kondisi yang demikian akan membekali perusahaan dengan informasi dan wawasan sehingga eksekutif perusahaan dapat membuat jenis intervensi yang ditargetkan yang harus terjadi.

Pada tahun 2022 ini kita telah memasuki periode baru volatilitas ekonomi. Inflasi tinggi, resesi bisa dibilang sudah dekat. Para eksekutif perusahaan menghadapi salah satu lingkungan operasi tersulit yang pernah mereka hadapi selama bertahun-tahun. 

Mungkin akan menurunkan optimisme banyak pihak untuk memprioritaskan dan mengatasi kelelahan bekerja dalam iklim yang berubah dan tidak stabil ini.

Namun demikian, walau bagaimana pun seorang eksekutif perusahan jangan sampai melupakan tujuan jangka panjang perusahaan. 

Jika ada waktu untuk melipatgandakan kesehatan mental insan perusahaan, sekaranglah saatnya. Hal tersebut akan terbayar dalam jangka panjang dan akan ada keuntungan yang jelas bagi pengusaha.

Apabila fokus hanya pada jangka pendek, yang dapat menyebabkan pengusaha berpaling dari hal ini, tentu akan berdampak negatif dalam jangka panjang, terutama dampak kesehatan mental dan kesejahteraan insan perusahaan terhadap keberlanjutan jangka panjang suatu organisasi.

Merza Gamal

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun