Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Quitting vs Quiet Firing dan Employee Engagement vs Kesejahteraan

22 September 2022   17:38 Diperbarui: 22 September 2022   18:25 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Kompasiana, tanggal 31 Agustus 2022, Kakek Merza seorang transisiator Baby Boomer-Gen X menulis artkel "Memaknai 'Quiet Quitting' pada Kalangan Pekerja Gen Z". Kemudian keesokan harinya muncullah beberapa millennium dan Gen Z menulis topik yang sama, dan diangkat semua menjadi Headline (Artikel Utama) oleh Admin Kompasiana. Selanjutnya banyak Kompasianer ikut membahas Quite Quitting dari berbagai sudut pandang, hingga hari ini diangkat menjadi Topil Kompasiana.

Gallup pada Juni 2022 telah melakukan survei secara acak pada 15.091 pekerja penuh dan paruh waktu berusia 18 tahun ke atas di Amerika Serikat. Dari survey tersebut, Gallup menemukan bahwa engagement pekerja mengalami langkah mundur selama kuartal kedua tahun 2022, dengan proporsi pekerja engaged (yang terlibat) tetap berada di 32%, tetapi proporsi yang non engaged (secara aktif tidak terlibat) meningkat menjadi 18%. Rasio pekerja engaged dan non engaded saat ini adalah 1,8 berbanding 1, terendah dalam hampir satu dekade.

Image: Trend tingkat engagement insan perusahaan (File by Merza Gamal)
Image: Trend tingkat engagement insan perusahaan (File by Merza Gamal)

Maraknya fenomena quiet quitting di sisi pekerja diikuti dengan tindakan quiet firing oleh perusahaan sebagai respons, yakni dengan mendiamkan insan perusahaan yang hanya menunjukkan performa seperlunya dengan tidak melibatkannya dalam proyek dan promosi. Sebenarnya terjadinya dua fenomena quiet quitting di sisi pekerja dan quiet firing di sisi perusahaan sangat berhubungann dengan keterlibatan pekerja (employee engagement) dan kesejahteraan (wellbeing) dari perusahaan.

Penelitian Gallup menunjukkan bahwa keterlibatan (engagement) dan kesejahteraan adalah timbal balik. Keduanya saling memengaruhi keadaan di masa depan, masing-masing memberikan kontribusi unik namun saling melengkapi untuk pikiran, perasaan, perilaku, dan hasil kinerja insan perusahaan. Saat mereka bekerja bersama, mereka adalah pengisi daya super untuk tempat kerja yang berkembang dan produktif. Misalnya, ketika insan perusahaan terlibat dan berkembang di tempat kerja, kelelahan menurun dan produktivitas meningkat.

Image: Pengaruh kesejahteraan pada tingkat engagement (File by Merza Gamal)
Image: Pengaruh kesejahteraan pada tingkat engagement (File by Merza Gamal)

Namun, pada tahun 2020 sejak merebaknya pandemi Covid-19, keterlibatan (employee engagement) dan kesejahteraan insan perusahaan terputus satu sama lain dan berjalan sesuai keinginan mereka sendiri. Perbedaan ini menghadirkan implikasi penting bagi para pemimpin tempat kerja.  

Akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, banyak insan yang mengalami penurunan kesejahteraan pribadi yang signifikan. Emosi negatif, seperti stres dan kekhawatiran, melonjak selama bulan-bulan awal pandemi dan terus-menerus menguras kekuatan emosional sehingga puncaknya menimbulkan kelelahan (burnout) yang kronis.

Kajian Gallup tentang evaluasi kehidupan orang Amerika mencapai level terendah sejak Resesi Hebat 2008 dengan hanya 46,5% individu yang mengevaluasi kehidupan mereka sebagai "berkembang" pada April 2020 atau terjadi penurunan 15% dari level pra-pandemi. Walau di Indonesia belum ada penelitian serupa, namun dapat ditangkap kondisi yang dirasakan para pekerja Indonesia tidak jauh berbeda.

Sumber-sumber umum dari penderitaan yang disebabkan pandemi mulai dari masalah kesehatan dan pekerjaan hingga keterputusan sosial, ketidakadilan sosial, ketegangan dalam pengasuhan anak, dan ketidakpastian tentang masa depan. Selain itu, stres dan kekhawatiran bahkan lebih buruk bagi pekerja jarak jauh daripada pekerja di lokasi di tengah COVID-19. Kekhawatiran besar bagi pekerja dan pemberi kerja mengingat 40% hingga 60% tenaga kerja telah bekerja dari jarak jauh sepanjang tahun 2020.

Ancaman terhadap kesejahteraan perlu diawasi secara ketat karena pengaruhnya terhadap individu dan masyarakat. Sementara itu, keterlibatan pekerja telah menjadi semacam rakit kehidupan yang mencerminkan berbagai pengalaman di masa perjuangan melalui pandemi.

Sebelum masa pandemi Covid-19, keterlibatan (employee engagement) tidak dipengaruhi oleh kekuatan sosial atau ekonomi tingkat makro. Namun pada tahun 2020, berdasarkan kajian Gallup, "engagement" melonjak ke level tertinggi pada bulan Mei 2020, dan kemudian turun secara dramatis segera selama masa pandemi dan semakin turun dengan munculnya fenomena quiet quitting sebagai protes keadilan sosial akaibat turunnya tingkat kesejahteraan yang dapat disediakan perusahaan.

Akibat pandemi yang berkepanjangan disambut pula oleh inflasi tinggi dan kondisi potik global yang tidak stabil, membuat banyak pekerja telah mencapai atau mendekati titik puncak yang menyebabkan kelelahan dan penderitaan dengan konsekuensi jangka panjang.

Jika organisasi (perusahaan) gagal melibatkan insan pekerjanya dan tidak mampu menangkis stres dan kekhawatiran tingkat tinggi yang kronis, maka akibatnya dapat berdampak buruk bagi jutaan nyawa. Peningkatan kesejahteraan saat ini memiliki jalan panjang menuju pemulihan dan menghadapi tantangan baru terkait dengan transisi kembali bekerja di kantor. Oleh karena itu harus diciptakan keselarasan tujuan perusahaan dengan tujuan insan perusahaan untuk mereduksi fenomena quiet quitting di sisi insan perusahaan dan quiet firing di sisi eksekutif perusahaan.

Image: Keselarasan tujuan perusahaan dengan tujuan insan perusahaan (File by Merza Gamal)
Image: Keselarasan tujuan perusahaan dengan tujuan insan perusahaan (File by Merza Gamal)

Untuk itu, pengusaha (pihak pemberi kerja) dan manajer perlu secara proaktif mencegah dan mengelola kelelahan (burnout), sambil memanfaatkan fleksibilitas dan efisiensi yang dibutuhkan oleh pekerjaan jarak jauh, akan membangun tenaga kerja yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih produktif di masa depan. Apabila kondisi tersebut tidak ditangani, kelelahan pekerja berpotensi berdampak signifikan terhadap organisasi (perusahaan) dan kehidupan insan perusahaan mereka.

Dengan maraknya fenomena quiet quitting, seharusnya organisasi dan pemimpinnya dapat membantu insan perusahaan berkembang di tengah kondisi yang kurang kondusof saat ini. Berdasarkan temuan dalam kajiannya, Gallup merekomendasikan hal-hal berikut untuk menjauhkan diri dari kelelahan dan menuju tempat kerja yang siap menghadapi masa depan:

  • Mulailah mengukur kesejahteraan pekerja, selain mengukur tingkat engagement, sehingga dapat membantu eksekutif perusahaan menyoroti area yang menjadi perhatian yang dapat ditangani secara proaktif;
  • Melatih manajer untuk melakukan percakapan tentang kesejahteraan, di atas dan di luar engagement. Para manajer harus dapat melakukan percakapan yang sesuai dengan penuh perhatian tentang kehidupan di luar pekerjaan jika mereka ingin mengelola kinerja secara efektif;
  • Memanfaatkan keuntungan bekerja dari rumah yang dikelola dengan baik, karena seseorang akan menikmati fleksibilitas yang lebih besar dengan pekerjaan mereka yang bermanfaat bagi engagement.
  • Manajer memperhatikan keselarasan kesejahteraan insan perusahaan sambil mengembangkan jadwal kerja yang mendukung integrasi produktivitas dan kehidupan kerja;
  • Pertimbangkan dampak berbeda akibat pandemi terhadap insan perusahaan tertentu karena mereka membutuhkan budaya tempat kerja yang menerima dan mendukung semangat kerja;
  • Secara aktif memindai tanda-tanda potensi kelelahan. Sekedar hari libur kerja tidak cukup untuk memperbaiki situasi kita saat ini, dimana yang lebih dibutuhkan adalah dukungan manajerial dan hubungan sosial.

Manajer tidak dapat lagi bertindak sebagai bos, tetapi harus menjadi coach (pelatih) yang mampu melibatkan timnya dan tidak harus mendorong mereka menjadi terlalu bersemangat. Seorang manajer pada akhirnya bertanggung jawab untuk memastikan insan perusahaan memiliki ekspektasi yang realistis, dukungan, dan beban kerja yang dapat dikelola.

MERZA GAMAL 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun