Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengintegrasikan Adab dan Ilmu dalam Dunia Pendidikan

18 September 2022   09:29 Diperbarui: 18 September 2022   10:05 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak jarang kita melihat di jalanan, tiba-tiba dari sebuah mobil mewah ada yang membuang sampah ke jalan. Di lain waktu, kita lihat orang yang tidak sabar menyerobot antrian. Atau ada anak muda yang memaki-maki orang tua dari kendaraannya di jalan raya.

Di sisi lain, kita juga merasakan betapa orang dengan mudah tidak menepati waktu yang telah dijanjikan. Lalu, dalam bekerja sering tidak disiplin, datang terlambat, pulang sebelum waktunya, menuntut hak paling dulu, melaksanakan kewajiban belakangan, dan tidak menghargai orang yang lebih tua, menganggap ilmunya lebih tingg daripada yang lain.

Dan, yang lebih parah daripada itu semua, adalah semua ingin serba instant, sehingga terkadang mengambil sesuatu yang bukan haknya dan melupakan atau melepaskan kewajibannya serta tidak menjalankan amanah yang diterimanya.

Jika kita telaah, mereka yang berperilaku demikian, bukan orang-orang yang tidak sekolah, bahkan pendidikan mereka terkadang melebihi pendikan rata-rata anak negeri. Mereka memliki sederetan ijazah, diploma dan dilengkapi lagi dengan berbagai sertifikasi.

Lantas, apa yang salah dari semua itu? Apakah selama mereka di sekolah dan di Lembaga Pendidikan yang mereka lalui tidak belajar tentang adab?

Apabila kita amati sistem Pendidikan di tanah air kita tercinta saat ini, memang lebih menitikberatkan pengajaran daripada Pendidikan. Murid lebih dipicu untuk menghapal segala macam pelajaran dan terampil dalam berbagai bidang. Merela sangat sedikit memperoleh pendidikan yang berkaitan dengan moral dan budi pekerti, sehingga mereka tidak paham menjalankan adab dalam pergaulan dan kehidupan mereka, baik ketika mereka masih sekolah atau pun sudah memasuki dunia kerja.

Belajar dari sistem pendidikan di Jepang pada anak usia dini, para murid tidak langsung dijejali berbagai pelajaran ilmu, tetapi mereka terlebih dahulu ditanamkan adab dalam menjalankan kehidupan.

Di Jepang, anak-anak sekolah dasar diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta Menghargai Kelompok dan Komunitas (Relation to Group & Society). Keempat aspek tersebut diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Anak-anak SD Jepang dididik dengan selalu menanamkan bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Anak-anak tersebut perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Oleh karena itu, tidak heran jika kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Baik itu di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Semua itu terjadi karena hal-hal tersebut telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Bangsa Jepang memiliki filosofi hidup yang diajarkan sejak dini kepada anak-anak, yaitu bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Landasan filosofi tersebut berlandaskan kepada ajaran tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, sehingga membentuk moral bangsa Jepang. Filosofi tersebut sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang. Dan sejak masih usia dini, anak-anak sudah diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Sementara itu, di Indonesia yang mempunyai filosofi Pancasila dengan Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, belum secara kuat, sekurangnya pada saat ini, untuk menanamkan moral yang kuat dan adab dalam kehidupan dalam dunia pendidikan. Lembaga Pendidikan di Indonesia, masih lebih mengutamakan penghapalan ilmu dan penguasaan keterampilan.

Namun, ternyata penghapalan ilmu dan penguasaan keterampilan yang diajarkan di sekolah Indonesia juga tidak lebih baik dari negara-negara lain. Hal ini dibuktikan oleh survei CEOWorld, yang mengkaji kualitas pendidikan terbaik di dunia pada 2020. Indonesia tidak masuk dalam 10 besar bahkan 50 besar negara dengan kualitas pendidikan terbaik. Indonesia hanya mendapatkan skor 46,4 dari 100 dan berada di peringkat ke-70 dari 93 negara yang disurvei. Sementara peringkat tertinggi dipegang oleh Inggris dengan skor 88,2 poin.

Rasanya dalam kondisi dunia yang sudah semakin terbuka dan era digitalisasi sudah merambah dunia, dunia Pendidikan di Indonesia harus mulai menyadari pentingnya mengintegrasikan pembangunan moral dengan mengajarkan adab dan ilmu secara beriringan di sekolah.

Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana agama lainnya di dunia telah mengajarkan pentingnya adab dalam menjalankan roda kehidupan. Pengertian adab sejak masa awal Islam secara konseptual menyatu dengan ilmu yang benar ('ilm), tindakan yang tepat serta tulus ('amal) serta secara signifikan terlibat dalam peniruan intelektual (intelligent emulation) dalam Sunnah Rasulullah Saw.

Bahkan, beberapa kalam para ulama terdahulu menunjukkan sikap mendahulukan adab daripada ilmu. Imam Abu Hanifah berkata, "Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih (ilmu). Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka." Dalam kisah lain, Abdurrahman bin al-Qosim (ahli fikih madzhab Maliki dari Mesir) mengatakan: "Aku berkhidmat kepada imam Malik radhiallahu 'anhu selama dua puluh tahun. Selama itu, dua tahun aku belajar ilmu, dan delapan belas tahun belajar adab." Bahkan, sebagian ulama menasihati anaknya: "Wahai anakku, belajar satu bab adab itu sesungguhnya lebih aku sukai daripada kamu belajar tujuh puluh bab ilmu".

Dari beberapa kisah tersebut di atas, dapat kita ambil pelajaran, bahwa belajar adab itu lebih utama daripada pengajaran ilmu itu sendiri. Hal tersebutlah yang dipraktekkan oleh dunia Pendidikan di Jepang dan juga di beberapa negara maju lainnya.

Dalam dunia pendidikan dikenal teori taksonomi yang berarti klasifikasi berhirarki dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi yang dikenalkan oleh seorang psikolog bernama Benjamin Samuel Bloom pada tahun 1956, dan dikenal sebagai Taksonomi Bloom.

Image: Mengintegrasikan Adab dan Ilmu dalam Dunia Pendidikan (Photo by Merza Gamal)
Image: Mengintegrasikan Adab dan Ilmu dalam Dunia Pendidikan (Photo by Merza Gamal)

Proses pendidikan adab yang terintegrasi dengan pembelajaran ilmu dapat mengacu kepada Taksonomi Bloom melalui tiga pentahapan, yaitu:

Tahap Pertama, Kognitif

Ranah kognitif meliputi fungsi memproses nilai-nilai moral dan adab menjadi informasi, pengetahuan dan keahlian mentalitas bagi seluruh peserta didik. Ranah kognitif menggolongkan dan mengurutkan keahlian berpikir yang menggambarkan tujuan pendidikan anak sebagai kader bangsa yang diharapkan.

Tahap Kedua, Afektif

Ranah afektif meliputi fungsi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan, sehingga nilai-nilai moral dan adab terinternalisasi dalam perilaku (behavior) peserta didik. Seluruh peserta didik terampil menerapkan nilai-nilai moral dan adab menjadi karya sebagai hasil belajar afektif (yang tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku).

Tahap Ketiga, Psikomotorik

Ranah psikomotorik berkaitan dengan fungsi manipulatif dan kemampuan fisik, sehingga nilai moral dan adab yang telah terinternalisasi dalam perilaku sudah menjadi nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu, sehingga moral dan adab yang telah terimplementasi dalam berperilaku dapat menjadi budaya peserta didik dalam menjalankan kehidupannya sepanjang masa.

Dengan demikian, marilah kembali kita sadari bahwa hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Jika hal tersebut tidak juga kita sadari dan kita mengambil langkah-langkah dalam mengintegrasikan pendikan adab dan pelajaran ilmu, maka kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti.


Video kegiatan "Komunitas Kompasianer" yang berprofesi sebagai Guru dalam Sharing & Discussion Session pada hari Kamis, 15 September 2022 dengan tema "Menjadi Guru Rabbani dan Adab dalam Dunia Pendidikan".

Wallahualam bishowab,

Terus Semangat!!!

Tetap Semangat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun