Bank Syariah telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1992. Hingga tahun 1998, hanya satu bank syariah beroperasi di Indonesia.Â
Hal itu disebabkan dari tahun 1992 hingga 1998, di dalam sistem perundangan Indonesia tidak dikenal adanya sistem perbankan syariah.
Namun, hanya mengenal prinsip bagi hasil dalam usaha perbankan seperti tercermin pada UU No.7/1992 yang hanya menguraikan secara sepintas pasal-pasal terkait jenis dan usaha bank.
Kemudian keluarlah Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 yang mengubah Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dan mengakomodir peraturan tentang bank syariah. Â
UU Nomor 10/1998 tersebut belum mengatur ketentuan perbankan syariah pada pasal-pasal khusus. Pada UU tersebut ketentuan bank syariah baru diatur sebatas mendefinisikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan jenis-jenis prinsip syariah yang digunakan pada perbankan.
Setelah ditunggu sekian lama, akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 17 Juni 2008.Â
Dengan lahirnya UU Perbankan Syariah perkembangan bank syariah mempunyai peluang usaha yang lebih besar di Indonesia. Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah:
- Pertama, Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7);
- Kedua; Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2);
- Ketiga, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1): UUS mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah.
Sesuai dengan UU No. 21/2008 tersebut, UUS yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional (BUK) harus melakukan spin-off selambat-lambatnya pada akhir Juni 2023 untuk kemudian bergabung ke dalam Bank Umum Syariah (BUS).
Saat audiensi Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) pada hari Senin (12 September 2022) yang lalu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan, UUS perbankan wajib memisahkan diri atau spin-off dari induknya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (Dalam kesempatan tersebut, Wapres lebih jauh menyampaikan, bahwa langkah spin off UUS dari induknya BUK dapat dilakukan dengan baik, sebab akan ada pendampingan-pendampingan yang diperlukan dari pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaannya.Â
Spin off tersebut akan diawasi, dibimbing, dan juga dibina oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Wapres juga menekankan bahwa kekurangan atau tantangan yang terjadi di lapangan dalam implementasi UU Perbankan Syariah tersebut, dalam perjalanannya nanti dapat dilakukan pembenahan-pembenahan. (Kontan, 12 September 2022)
Dalam waktu tersisa kurang dari satu tahun atau sekitar 9 bulan lagi hingga batas waktu yang ditentukan, maka pekerjaan rumah untuk spin off UUS dari BUK yang harus diselesaikan terbilang cukup banyak.Â
Sehingga tidak heran banyak pimpinan UUS yang khawatir izin bank mereka dicabut lantaran tidak mampu melakukan spin off setelah diberi kesempatan selama 15 tahun berdasarkan UU Perbankan Syariah.
Namun dapat dipahami betapa sulit melakukan pemisahan aset UUS dengan bank induk, terutama dalam situasi ekonomi yang sulit seperti saat ini.Â
Akan tetapi, menghapus pasal kewajiban spin off jika modal sudah mencapai 50% (Pasal 6 ayat 1 UU Perbankan Syariah) adalah kemunduran. Aturan pada pasal tersebut justru dibangun untuk mendorong perkembangan bank syariah.
Saat ini, terdapat 21 UUS yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional (BUK). Dalam rangka memenuhi ketentuan UU Perbankan Syariah tersebut, ada tiga aksi yang bisa ditempuh oleh bank pemilik UUS, yakni: melakukan spin off, menjual bisnis UUS ke bank umum syariah (BUS) lain atau menutup portfolio syariahnya.
Dari 21 UUS yang masih ada saat ini, masih banyak yang berharap agar ada jalan keluar supaya model usaha UUS ini masih bisa dipertahankan karena UUS menggarap nasabah yang berbeda dengan BUS (BUS).Â
Harapan mereka, dengan adanya UUS besar, pembiayaan sindikasi besar syariah bisa terus tumbuh dan memperbesar market share perbankan syariah itu sendiri. (Kontan, 8 Agustus 2022).
Hingga saat ini, pangsa pasar keuangan syariah masih terbilang kecil yang baru berkontribusi 10,16% pada 2021.  Pencapaian ini, masih jauh di bawah target yang dicanangkan di dalam Masterplan Ekonomi Syariah sebesar 20% di  tahun 2024 mendatang.Â
Dengan demikian, hal yang paling penting saat ini adalah memperbanyak nasabah-nasabah syariah sambil proses spin off UUS berjalan dengan membangun strategi koopetisi di antara bank syariah yang ada.
Menurut Wapres pada pertemuan dengan DSN MUI pada hari Senin (12 September 2022) yang perlu menjadi perhatian bagi para UUS adalah, "Yang terpenting kita laksanakan aturan terlebih dahulu. Kalau ada hal-hal yang sudah siap, Alhamdulillah. Kalau misalnya ada yang belum siap, maka OJK akan memberikan solusi-solusinya nanti ke depan."
MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H