Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Dana Pensiun Bukan Jaminan Hari Tua

31 Agustus 2022   11:37 Diperbarui: 31 Agustus 2022   11:44 1216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Dana Pensiun Bukan Jaminan Hari Tua (by Merza Gamal)

Beberapa hari ini, Kompasiana diramaikan oleh tulisan yang berkaitan dengan persiapan dana pension. Rata-rata tulisan yang Kakek Merza baca begitu optimisnya masa tua para Kompasianer dengan adanya dana pensiun berupa tabungan dan atau investasi.

Mungkin optimisme itu karena sebagian besar penulis belum merasakan kehidupan hari tua atau pun mengamati kehidupan orang-orang tua di sekitarnya.

Berdasarkan pengalaman yang Kakek Merza lihat dan ikut rasakan, adalah berlimpahnya dana pensiun ketika memasuki hari pensiun bukanlah jaminan hidup bahagia pada masa pensiun tersebut. Ada hal yang lebih penting dari sekedar persiapan finansial, yaitu siap mental menghadapi "post power syndrome" dan memelihara "rasa syukur" di setiap masa dan keadaan.

Betapa banyak yang Kakek Merza lihat dan temui, ketika beberapa kenalan Kakek Merza pada saat memasuki hari pensiun memiliki rekening deposito yang gemuk, rekening tabungan yang bertebaran, dan fix asset di mana-mana. Namun, beberapa tahun kemudian, terdengar kabar kenalan tersebut dalam keadaan sakit dan tidak punya biaya cukup untuk pengobatannya.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Ya, itulah tadi akibat dari yang Kakek Merza katakan dengan "post power syndrome". Post power syndrome adalah kondisi kejiwaan yang umumnya terjadi pada orang-orang yang kehilangan kekuasaan atau jabatan, yang menimbulkan penurunan harga diri (self esteem) pada orang tersebut. Masalah mental yang umum pada lansia ini memiliki istilah lain, yakni retirement syndrome.

Ketika seseorang pensiun dari jabatannya, ada yang akan berkurang dari yang dia dapatkan selama ini. Seorang yang sebelum pensiun memiliki banyak bawahan atau banyak pengikutnya yang selalu memperhatikan kata-katanya dan mengikuti apa kemauannya, tiba-tiba pas hari pensiun semua itu menghilang seakan tanpa bekas. Sebagian banyak yang tidak siap menerima kenyataan itu dan bisa bersykur dengan keadaannya sekarang.

Bagi yang punya simpanan atau dana pensiun yang banyak, hal tersebut membuat mereka ingin kembali diakui dengan membuat bisnis baru. Namun, mereka lupa bahwa keberhasilan suatu bisnis bukanlah semata karena hanya punya modal uang atau asset saja. Mereka biasanya memulai bisnis dengan keinginan yang bisa  menghasikan pendapatan yang sama dengan gaji/penghasilan yang mereka dapatkan sebelum pensiun. Dengan demikian, tentu saja, modal yang dibutuhkan cukup besar sesuai dengan skala bisnis yang diinginkan.

Nah, kemudian mereka mencairkan dana deposito yang gemuk tadi sebagai modal awal bisnis baru mereka. Namun, sebuah bisnis bukanlah seperti menanam tauge yang dalam semalam sudah berkecambah. Akan tetapi, tentu saja membutuhkan waktu dan kerja keras untuk mencapai sukses di tengah pasar yang memang sudah bulish.

Oleh karena bisnis belum menghasilkan, bahkan masih saja membutuhkan modal tambahan, maka satu persatu asset pun dijual untuk bisnis yang sudah kadung berjalan tersebut. Belum lagi jika ada parasit-parasit atau para free reader yang ikut dalam bisnis tersebut dan selalu mengompori untuk tambah modal lagi agar usaha akan sukses.

Seiring berjalannya waktu, hasil dari bisnis belum juga sesuai dengan harapan serta asset yang dimiliki sudah melayang dan mencair satu per satu, maka penyakit pun mulai bermunculan. Sakit tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi bagi yang sudah terbiasa dilayani dengan pelayanan kesehatan VIP. Pelayanan dan obat-obatan generik yang diberikan oleh BPJS pun tidak mempan lagi karena berbeda dengan layanan VIP dan obat patent yang selama ini diterima.

Sementara itu, rekening di bank sudah kosong, asset sudah sebagian besar terjual, maka terakhir yang bersisa adalah rumah tinggal. Akhirnya, dengan memberanikan diri dari rasa malu, mulailah menghubungi satu per satu kenalan di masa lalu memohon pertolongan untuk menebus obat dan membayar kelebihan tagihan BPJS rumah sakit.

Pada permintaan tolong yang pertama, ada beberapa yang bersimpati dan ikut membantu mengirimkan atau mentransfer dana. Namun, tak sedikit pula yang bukannya ikut membantu tetapi malah menyinyiri keadaan kenalan atau bahkan sahabat dekatnya dulu ketika masih punya jabatan. Kemudian permintaan tolong berikutnya akan semakin sedikit yang mau ikut membantu. Dan, permintaan tolong berikutnya tinggal hanya sahabat yang benar-benar ikhlas mau membantu.

Di sinilah baru terasa betapa pentingnya dahulu berhubungan dan berbuat baik sama banyak orang dengan ikhlas, sehingga ketika kita dalam keadaan kesulitan, masih banyak yang mau membantu bahkan tanpa diminta.

Kembali kepada pengalaman yang pernah Kakek Merza lihat di antara kenalan dekat, bahkan ada yang saat meninggal sudah tidak mempunyai apa-apa lagi termasuk rumah tinggal. Padahal dulu rumahnya di kawasan elit di tengah perkotaan, saat meninggal hanya ngontrak di rumah kontrakan yang sederhana. Dan ketika masih menjabat, di setiap tempat banyak pengawal dan petugas protokolernya serta disambut dimana-mana, tetapi ketika meninggal hanya beberapa orang yang hadir dan terkadang untuk mengangkat peti jenazahnya saja tidak cukup orang.

Dengan demikian, dari beberapa pengalaman kenalan Kakek Merza, dapat diambil pelajaran bahwa jangan terlena dan bangga dengan dana pensiun yang dikumpulkan saat ini. Apalagi karena niat menabung membuat kita pelit dan melupakan sedekah serta membantu orang lain yang sedang membutuhkan. Kedermawanan kita akan sangat banyak membantu kita pada saat kita butuh bantuan, bukan hanya sekedar persiapan dana pensiun yang berlimpah pada hari pertama kita pensiun dan kemudian habis oleh berbagai sebab.

Di samping itu ketika kita sedang punya jabatan atau sedang berjaya, janganlah sekali-kali melihatkan kesombongan, karena itulah yang akan mempurukan keadaan kita di saat kita butuh bantuan. Tabunglah selalu rasa syukur dengan berbuat baik kepada setiap orang dan membantu orang lain yang sedang membutuhkan dengan segala kemampuan dan keikhalasan kita. Hal tersebutlah yang akan banyak membantu kita nanti di saat kita butuh bantuan.

Jadi, jangan dulu bangga dengan telah memiliki berbagai dana pensiun dan investasi yang berlimpah. Karena hal itu bukanlah jaminan hari tua.

Terus Semangat!!!

Terus Semangat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun