Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fiksasi pada Manajemen Waktu dapat Merusak Kehidupan Diri Sendiri

25 Agustus 2022   09:44 Diperbarui: 25 Agustus 2022   09:49 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Mngelolah waktu objektif dan waktu subjektif dalam roda kehidupan (by Merza Gamal)

Waktu---baik itu  waktu objektif ("jam") atau pun pengalaman subjektif waktu---merupakan konsep penting untuk memahami bagaimana individu, tim, dan organisasi berkembang, tumbuh, belajar, dan berubah. Namun sebagian besar penelitian manajemen dan tinjauan literatur biasanya menekankan waktu objektif dengan mengesampingkan waktu subjektif.

Berbagai peretasan untuk mengatur waktu lebih efisien diperlukan memang dibutuhkan oleh sebagian orang agar lebih disiplin dan terstruktur dalam menjalankan roda kehidupannya.  Akan tetapi, bagi sebagian orang lainnya, manajemen waktu adalah penghalang bagi efektivitas dan produktivitas sejati.

Seorang professor dari M.J. Neeley, Abbie J. Shipp yang merupakan Ketua Departemen Manajemen & Kepemimpinan di Texas Christian University, dan Associate Editor di Academy of Management Review, serta memperoleh gelar PhD dalam perilaku organisasi dari University of North Carolina, telah melakukan penelitian yang berfokus pada pengalaman subjektif dan psikologis waktu, termasuk lintasan pengalaman kerja (misalnya, fit, kepuasan, dan kelelahan), sifat perjalanan waktu dan perhatian mental, dan bagaimana pandangan individu tentang waktu berdampak pada kinerja, kesejahteraan, dan koordinasi dalam organisasi.

Profesor Abbie J. Shipp awalnya nerupakan pendukung manajemen waktu yang efisien, hingga kemudian menemukan bahwa perencanaannya yang cermat terhadap waktu malah memiliki dampak negatif pada kesehatannya. Orang luar melihat sosok beliau dengan karir yang sukses, keluarga bahagia, namun beliau merasakannya seperti menjalani mimpi. Banyak orang tidak tahu, bahwa sesungguhnay beliau berjuang dengan insomnia kronis, kekurangan gizi, saraf terjepit di lehernya, dan ketidakseimbangan hormon yang jahat. Hingga akhirnya, beliau menemukan bahwa, ironisnya, manajemen waktu yang harus disalahkan terhadap penyakit yang sempat beliau alami.

Akibat penderitaan yang dialaminya dengan tingkat kesehatan yang semakin menurun, beberapa dokter mendesak beliau untuk memperlambat ritme manajemen waktunya yang selama ini dianggap efisien. Catatan medis, menuturkan bahwa daftar penyakit yang dialami Profesor Abbie semuanya menunjuk pada tekanan mental dan manifestasi ketegangan dalam tubuh beliau.

Akan tetapi, Profesor Abbie membantah dengan menyatakan, "Tapi saya tidak bekerja berjam-jam seperti orang lain - saya benar-benar efisien!" Namun sesuatu terjadi kemudian pada Januari 2019, yang membuat beliau tersentak, karena beliau sama sekali tidak bisa menulis dan  tidak bisa berpikir. Beliau menatap kosong ke komputernya dan takut tidak bisa melakukan pekerjaan yang dicintainya, pekerjaan yang telah dikerjakannya selama bertahun-tahun, ternyata terlalu berat dan terasa tidak berarti bagi kehidupannya saat itu. Upaya efisiensi dan produktivitas yang dilakukannya selama ini, malah telah menghancurkan diri sendiri dalam prosesnya.

Kemudian dalam proses penyembuhannya, beliau bersama Profesor Karen Jansen meneliti dan kemudian beralih ke manajemen waktu subjektif. Dan setelah itu, Prof Abbie menemukan lebih banyak kegembiraan dalam pekerjaannya, dan kesehatannya mulai membaik.

Penelitian yang dilakukan Profesor Abbie J. Shipp bersama Profesor Karen Jansen dan kemudian menjadi bahasan di Harvard Business Review, menawarkan tiga pelajaran yang mengungkapkan mengapa metode manajemen waktu tradisional yang selama ini kita lakukan ternyata dapat menghambat dan mempersulit kehidupan kita.

Pelajaran yang didapat dari penelitian Profesor Abbiie J. Shipp dan Prof Karen Jansen tersebut adalah bahwa waktu subjektif mencerminkan bagaimana orang memandang, menafsirkan, dan perjalanan mental melalui waktu, menggunakan ingatan dan prakiraan untuk memahami masa kini. Sedangkan, waktu objektif berfokus pada jam dan kalender sebagai ukuran waktu di luar individu. Hasil penelitian tersebut mengajari bahwa obsesi untuk mengatur waktu objektif mengaburkan tiga pelajaran penting dari waktu subjektif, yakni sebagai berikut:

  1. Tidak Ada Waktu Objektif Tanpa Interpretasi Subyektif;
  2. Acara Subyektif Sama Pentingnya dengan Jam Objektif;
  3. Makna Subyektif Lebih dari Jadwal Objektif.

Pertama, sifat objektif waktu sepenuhnya terkait dengan waktu subjektif, namun kita tidak mengenali fakta ini. Kebanyakan individu percaya bahwa rapat harus dijadwalkan pada jam atau setengah jam, atau bahwa hari kerja berlangsung dari jam 8 sampai jam 5. Namun hal tersebut adalah konstruksi sosial yang dapat dilonggarkan dalam beberapa situasi. Jika seseorang membutuhkan pertemuan 20 menit, mengapa mengikat kalender selama 30 menit? Atau jika seseorang perlu istirahat lebih lama di sore hari untuk menyegarkan diri, siapa yang peduli jika itu tidak dijadwalkan saat istirahat makan siang biasa? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menantang pandangan yang terlalu sempit tentang manajemen waktu dan mendorong untuk melepaskan skema temporal atau "aturan waktu", yaitu pandangan tetap tentang kapan sesuatu harus terjadi atau berapa lama hal itu harus berlangsung. Perlu disadari bahwa waktu tidak seobjektif yang kita kira. Waktu terutama merupakan interpretasi subjektif, membuat manajemen waktu tidak lengkap kecuali jika kita juga menyoroti konstruksi subjektif dari waktu yang kita jalani dan ciptakan.

Kedua, menyadari bahwa "acara subyektif" sama pentingnya dengan "jam objektif". Tugas kerja atau rapat biasanya dijadwalkan pada waktu tertentu, seperti berhenti di siang hari untuk makan siang. Namun sebaliknya, cara yang lebih menarik untuk bekerja sebenarnya dengan ritme acara, bukan berdasarkan waktu (misalnya, mulai bekerja pada jam 8 pagi dan berhenti untuk makan siang pada siang hari). Bekerja berdasarkan waktu acara memprioritaskan pekerjaan di atas jadwal (misalnya, mulai bekerja saat siap dan berhenti saat perlu istirahat). Melihat tugas kerja sebagai peristiwa alam tidak hanya menekankan efektivitas daripada efisiensi, tetapi juga meningkatkan persepsi kontrol dari waktu ke waktu dan kenikmatan yang lebih besar dari tugas. Lebih lanjut, bekerja dalam "waktu acara" juga memanfaatkan manfaat dari pengembaraan pikiran sesekali. Pikiran mengembara bisa berharga ketika kita membutuhkan solusi baru dan kreatif dengan hasil yang semakin penting dalam pekerjaan pengetahuan. Mengingat bahwa waktu acara menawarkan kebebasan untuk berpikir dengan cara yang berbeda dan terbuka, setiap insan dapat menemukan "momen" yang sulit dipahami yang dihilangkan oleh pandangan manajemen waktu yang terlalu terjadwal.

Ketiga, penelitian ini menjelaskan bahwa ketika orang memahami, menafsirkan, dan perjalanan mental melintasi waktu subjektif, mereka pada dasarnya mencari makna. Orang sering menghidupkan kembali pengalaman masa lalu atau peristiwa masa depan "pra-live", mencari cerita yang masuk akal dari pengalaman ini pada saat ini. Misalnya, narasi tentang bagaimana Anda "cocok" di tempat kerja membantu Anda memahami lintasan karir Anda saat Anda merenungkan pelajaran dari pekerjaan masa lalu dan mengantisipasi perpindahan ke pekerjaan di masa depan. Makna seperti itu tidak dapat ditemukan dalam waktu objektif, yang menggambarkan waktu sebagai sesuatu yang konstan dan tidak dapat diubah. Jika semua unit waktu adalah setara, maka satu periode waktu berarti tidak lebih atau kurang dari yang lain.

Pelajaran utama yang dapat diarik dari penelitian tentang waktu subjektif tersebut adalah bahwa manajemen waktu bukan teman yang tepat, bahkan bisa menjadi musuh jika kita fokus berlebihan pada efisiensi dalam waktu objektif. Hal yang kita butuhkan adalah pandangan yang lebih subjektif tentang pengalaman holistik waktu untuk melihat waktu objektif melalui lensa subjektivitas. Mulailah fokus pada pekerjaan sebagai rangkaian peristiwa yang bermakna daripada jadwal tetap setiap jam. Dan, carilah makna di atas efisiensi dalam setiap tugas kerja dengan bertanya: Di mana tugas ini sesuai dengan tujuan dan nilai saya? Pergeseran mental tersebut akan membantu kita melepaskan pencarian kalender yang sangat efisien untuk mengejar pekerjaan yang lebih memuaskan.

Mulailah melihat waktu yang tidak terjadwal dan aktivitas yang tidak terstruktur sebagai asal mula kreativitas dalam pekerjaan kita, yang menyegarkan dan mengingatkan mengapa kita memilih jalan kehidupan kita, profesi yang kita jalankankan, dan status sosial yang kita miliki. Dengan demikian, kita akan mencapai lebih banyak dan merasakan lebih banyak energi di tempat kerja dan di rumah, sehingga kita akan merasakan kegembiraan di tempat kerja dan dalam hidup dan kesehatan yang lebih baik.

Sebagaimana tersirat dalam surah Al-Furqan (25):62 yang berbunyi, "Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur." dan Ali Imran (3): 190 yang berbunyi, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (QS Ali Imran: 190), sesungguhnya mendorong kita sebagai seorang insan untuk mampu mengatur waktu subjektif dalam menjalankan roda kehidupan di dunia ini.

Wallahua'alam bishowab.

Terus Semangat!!!

Tetap Semangat...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun