Kedua, menyadari bahwa "acara subyektif" sama pentingnya dengan "jam objektif". Tugas kerja atau rapat biasanya dijadwalkan pada waktu tertentu, seperti berhenti di siang hari untuk makan siang. Namun sebaliknya, cara yang lebih menarik untuk bekerja sebenarnya dengan ritme acara, bukan berdasarkan waktu (misalnya, mulai bekerja pada jam 8 pagi dan berhenti untuk makan siang pada siang hari). Bekerja berdasarkan waktu acara memprioritaskan pekerjaan di atas jadwal (misalnya, mulai bekerja saat siap dan berhenti saat perlu istirahat). Melihat tugas kerja sebagai peristiwa alam tidak hanya menekankan efektivitas daripada efisiensi, tetapi juga meningkatkan persepsi kontrol dari waktu ke waktu dan kenikmatan yang lebih besar dari tugas. Lebih lanjut, bekerja dalam "waktu acara" juga memanfaatkan manfaat dari pengembaraan pikiran sesekali. Pikiran mengembara bisa berharga ketika kita membutuhkan solusi baru dan kreatif dengan hasil yang semakin penting dalam pekerjaan pengetahuan. Mengingat bahwa waktu acara menawarkan kebebasan untuk berpikir dengan cara yang berbeda dan terbuka, setiap insan dapat menemukan "momen" yang sulit dipahami yang dihilangkan oleh pandangan manajemen waktu yang terlalu terjadwal.
Ketiga, penelitian ini menjelaskan bahwa ketika orang memahami, menafsirkan, dan perjalanan mental melintasi waktu subjektif, mereka pada dasarnya mencari makna. Orang sering menghidupkan kembali pengalaman masa lalu atau peristiwa masa depan "pra-live", mencari cerita yang masuk akal dari pengalaman ini pada saat ini. Misalnya, narasi tentang bagaimana Anda "cocok" di tempat kerja membantu Anda memahami lintasan karir Anda saat Anda merenungkan pelajaran dari pekerjaan masa lalu dan mengantisipasi perpindahan ke pekerjaan di masa depan. Makna seperti itu tidak dapat ditemukan dalam waktu objektif, yang menggambarkan waktu sebagai sesuatu yang konstan dan tidak dapat diubah. Jika semua unit waktu adalah setara, maka satu periode waktu berarti tidak lebih atau kurang dari yang lain.
Pelajaran utama yang dapat diarik dari penelitian tentang waktu subjektif tersebut adalah bahwa manajemen waktu bukan teman yang tepat, bahkan bisa menjadi musuh jika kita fokus berlebihan pada efisiensi dalam waktu objektif. Hal yang kita butuhkan adalah pandangan yang lebih subjektif tentang pengalaman holistik waktu untuk melihat waktu objektif melalui lensa subjektivitas. Mulailah fokus pada pekerjaan sebagai rangkaian peristiwa yang bermakna daripada jadwal tetap setiap jam. Dan, carilah makna di atas efisiensi dalam setiap tugas kerja dengan bertanya: Di mana tugas ini sesuai dengan tujuan dan nilai saya? Pergeseran mental tersebut akan membantu kita melepaskan pencarian kalender yang sangat efisien untuk mengejar pekerjaan yang lebih memuaskan.
Mulailah melihat waktu yang tidak terjadwal dan aktivitas yang tidak terstruktur sebagai asal mula kreativitas dalam pekerjaan kita, yang menyegarkan dan mengingatkan mengapa kita memilih jalan kehidupan kita, profesi yang kita jalankankan, dan status sosial yang kita miliki. Dengan demikian, kita akan mencapai lebih banyak dan merasakan lebih banyak energi di tempat kerja dan di rumah, sehingga kita akan merasakan kegembiraan di tempat kerja dan dalam hidup dan kesehatan yang lebih baik.
Sebagaimana tersirat dalam surah Al-Furqan (25):62 yang berbunyi, "Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur." dan Ali Imran (3): 190 yang berbunyi, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (QS Ali Imran: 190), sesungguhnya mendorong kita sebagai seorang insan untuk mampu mengatur waktu subjektif dalam menjalankan roda kehidupan di dunia ini.
Wallahua'alam bishowab.
Terus Semangat!!!
Tetap Semangat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H