Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Orangtua Pesismis terhadap Masa Depan Finansial Anaknya

20 Agustus 2022   16:16 Diperbarui: 25 Agustus 2022   01:30 1583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Grafik tingkat pesimisitas orangtua terhadap keadaan financial anaknya di masa depan (File by Merza Gamal)

Menurut sebuah survei global yang dilakukan oleh Pew Research, pandemi Covid-19 telah membuat orang tua pesimis tentang masa depan finansial anak-anak mereka,

Lebih dari 70% responden mengatakan mereka berpikir anak-anak saat ini akan lebih buruk secara finansial sebagai orang dewasa daripada orang tua mereka, hanya kurang dari 30% yang berpikir anak-anak mereka akan lebih baik.

Survei global dilakukan pada 17 negara maju, sayangnya Indonesia tidak ikut disurvei, di Asia Tenggara diwakili oleh Singapura dan Malaysia. Tiga negara yang paling pseimis terhadap masa depan anaknya dalah Jepang (82%), Perancis (78%), dan Italia (76%). Sementara tiga negara yang paling rendah tingkat kekahawatirannya adalah Israel (27%), Singapura (42%), dan Polandia (42%).

Survei ini menunjukkan rekor persentase orang dewasa di seluruh dunia yang mengatakan anak-anak akan lebih buruk secara finansial daripada orang tua mereka sejak survei dilakukan setiap tahun mulai tahun 2013. Survei ini bertujuan untuk lebih memahami sentimen orang tua tentang masa depan keuangan generasi berikutnya.

Survei terakhir di semester pertama tahun 2022 menemukan secara global, sebagian besar orang dewasa (70%) percaya bahwa anak-anak mereka akan menghadapi lebih banyak kesulitan ekonomi daripada mereka.

Lebih dari tiga perempat responden di Jepang, Prancis, dan Italia memiliki opini negatif tentang seberapa baik keuangan anak-anak mereka di masa dewasa, dibandingkan dengan anggota keluarga mereka yang lebih tua. 

Tepat 75% orang tua di Kanada merasakan hal yang sama. Peringkat untuk kelima yang paling pesimis adalah Spanyol, Australia, Inggris, dan AS, dengan 72% orang dewasa mengekspresikan pandangan negatif.

Image: Grafik tingkat pesimisitas orangtua terhadap keadaan financial anaknya di masa depan (File by Merza Gamal)
Image: Grafik tingkat pesimisitas orangtua terhadap keadaan financial anaknya di masa depan (File by Merza Gamal)

Di seluruh dunia, orang tua menjadi semakin pesimis selama beberapa tahun terakhir. Dari Maret 2020 hingga sekarang, persentase orang dewasa yang berpikir anak-anak mereka akan lebih buruk secara finansial telah meningkat. Di Amerika Serikat meningkat dari 57% menjadi 72%. 

Di Polandia yang selama ini tidak mengkawatirkan masa depan anaknya, pada survei terakhir telah berubah. Proporsi orangtua di Polandia yang mengatakan generasi termuda akan lebih buruk secara finansial hampir dua kali lipat sejak 2019, dari 23% menjadi 42% saat ini.

Menurut Kevin Lum, seorang perencana keuangan bersertifikat dari Foundry Financial di California, pandangan negatif seputar masa depan keuangan generasi muda Amerika, sebagian merupakan hasil dari tingkat historis hutang pinjaman mahasiswa, yang dapat menghambat kesuksesan finansial jangka panjang, dan meningkatnya biaya perumahan yang secara signifikan melampaui pertumbuhan pendapatan. 

Di Amerika, saat ini, banyak yang merasa kepemilikan rumah di luar jangkauan, atau setidaknya akan memakan waktu lebih lama daripada yang dibutuhkan orang tua mereka dahulu. Bagi kaum muda yang membeli rumah, harga yang sangat tinggi dapat menyebabkan mereka menggunakan sebagian uang yang akan mereka masukkan untuk tabungan pensiun mereka, membuat mereka mundur lebih jauh daripada orang tua mereka. Rasanya, menurut Kakek Merza, hal tersebut sama dengan yang dirasakan para generasi muda (Millennial dan Gen Z) di Indonesia.

Namun kondisi tersebut berbeda dengan di Singapura yang merupakan satu-satunya negara yang disurvei di mana optimis melebihi jumlah pesimis, yakni: 56% orang tua percaya anak-anak mereka akan lebih baik secara finansial daripada mereka.

Menurut Bank Dunia, lima puluh tahun yang lalu, ekonomi Singapura menghadapi tingkat pengangguran yang tinggi dan kekurangan perumahan. Akan tetapi, hari ini, Singapura dianggap sebagai negara berpenghasilan tinggi dengan ekonomi yang kompetitif, sehingga memunculkan sentimen optimis mereka.

Studi yang dilakukan oleh Pew Research ini juga membandingkan pandangan umum orang tua tentang ekonomi negara mereka dengan bagaimana mereka memandang masa depan keuangan anak-anak mereka. 

Tidak mengherankan, responden yang memandang situasi ekonomi negara mereka saat ini baik, juga lebih cenderung percaya bahwa anak-anak mereka akan lebih baik secara finansial. 

Misalnya, 66% orang Singapura dengan prospek ekonomi yang baik percaya bahwa anak-anak mereka akan lebih baik secara finansial daripada mereka, dibandingkan dengan hanya 35% dari mereka yang berpandangan negatif. 

Berbeda dengan Malaysia tetangganya yang hanya 45% orangtua yang percaya finansial anak-anak mereka akan lebih baik, dan 53% pesimis terhadap hal tersebut. Bahkan, di Jepang hanya 12% dan di Perancis hanya 17% orangtua yang yakin finansial anak-anaknya akan lebih baik daripada orangtuanya.

Hasil survei Pew Research ini adalah tanda peringatan yang sangat meresahkan untuk masa depan. Sebenarnya, sebelum pandemi Covid-19 pun anak-anak tertinggal dari generasi orang tua mereka secara finansial. 

Beberapa penelitian mendukung hal tersebut, misalnya, sebuah laporan oleh think tank non-partisan New America menemukan bahwa generasi milenial berpenghasilan 20% lebih rendah daripada baby boomer pada tahap yang sama dalam kehidupan.

Sebuah studi tahun 2016 menemukan bahwa hanya setengah dari mereka yang lahir pada tahun 1984 yang berpenghasilan lebih dari orangtua mereka, dibandingkan dengan 92% dari mereka yang lahir pada tahun 1940. Alasan utama penurunan ini adalah ketimpangan pendapatan meningkat secara dramatis selama periode ini.

Untuk membalikkan tren pesimistik tersebut, kesuksesan ekonomi harus menjangkau semua orang, kekayaan tidak hanya terkonsentrasi pada beberapa persen level di atas, tetapi menyebar sampai kepada level terbawah.

MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun