Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perjanjian Pranikah dan Kedudukan Harta dalam Rumah Tangga Islam

15 Agustus 2022   08:12 Diperbarui: 15 Agustus 2022   08:15 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo ilustrasi oleh Merza Gamal

Perjanjian pranikah adalah perjanjian yang dibuat oleh pasangan yang hendak menikah dan berfungsi untuk mengikat hubungan keduanya. Perjanjian pranikah atau perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

Peraturan perundangan mengenai pembuatan perjanjian pranikah terdapat pada KUHPerdata dan UU Perkawinan. Menurut Pasal 139 KUH Perdata, calon suami isteri dengan perjanjian perkawinan dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik, tata tertib umum, dan sejumlah ketentuan yang berlaku.

Sementara itu, Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta dalam perkawinan, yaitu: Pertama, harta bersama atau harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Kedua, harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (dalam sebuah perjanjian).

Bagi umat Islam dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia untuk perkawinan berlaku Undang-Undang Republik  Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dan, apabila terjadi permasalahan dalam perkawinan pasangan yang beragama Islam, maka perkaranya dilimpahkan kepada Pengadilan Agama bukan Pengadilan Negeri.

Dalam sebuah rumahtangga Islam, setiap orang punya hak masing-masing atas harta yang dimilikinya. Suami mempunyai harta dan harta itu  merupakan milik dia sepenuhnya. Isteri mempunyai harta dan harta itu merupakan milik diri dia sepenuhnya. Demikian juga anak-anak, mereka punya harta dan harta itu merupakan milik diri mereka sendiri.

Sebagai kepala rumahtangga, suami mempunyai kewajiban untuk memberikan sebagian hartanya kepada isterinya sebagai nafkah, selama mereka masih menjadi pasangan suami isteri. Besarnya nafkah itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara suami dan isteri sepanjang kehidupan bersama rumahtangga mereka. Nilainya sangat mungkin berbeda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya.

Menurut Hukum Islam, harta milik isteri sepenuhnya milik isteri. Misalnya gaji yang didapatnya ketika istri bekerja atas izin suami, termasuk yang asalnya dari mahar (maskawin) suami. Dengan demikian, seorang isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk membelanjakan harta miliknya sendiri.

Hukum Islam tidak mengatur pembagian harta gonogini ketika terjadi perceraian. Hal tersebut berbeda dengan hukum barat yang harus membagi dua harta bersama bila bercerai. Hukum Islam tidak mengenal harta bersama antara suami dan isteri, sehingga saat perceraian tidak ada urusan dengan harta bersama..

Berbeda halnya apabila suami isteri itu membentuk sebuah usaha bersama semacam perusahaan, maka bila mereka sepakat bercerai, belum tentu usaha bersama yang mereka miliki harus bubar. Jika seandainya pun harus bubar, maka pembagian asset-asset perusahaan itu diputuskan sesuai dengan perjanjian dalam perusahaan itu, tidak ada kaitannya dengan hubungan suami isteri.

Misalnya, suami isteri sepakat membuka toko dengan modal dari harta suami 70% dan dari harta milik isteri sebesar 30%. Maka kalau mereka bercerai, toko itu tidak harus bubar. Apalagi bila bisnis itu tetap menguntungkan, mereka tetap bisa mengelola bersama toko itu meski sudah bukan suami isteri lagi. Jadi, jika toko itu pun mau dibubarkan juga, maka hak suami atas asset toko itu adalah 70% dan hak isteri 30%.

Hukum Islam tidak mengenal harta bersama antara suami isteri, di luar usaha bisnis yang mereka jalankan, sehingga harta suami merupakan milik suami dan harta isteri merupakan milik isteri. Pada saat terjadinya perceraian, tidak ada sedikitpun dari harta suami yang harus diberikan kepada isteri, serta tidak ada pula harta isteri yang harus dibagi kepada suami.

Dengan demikian, sebenarnya bagi calon pasangan suami istri yang beragama Islam dan pernikahaannya mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawinan Republik Indonesia, maka perjanjian pranikah tidak diperlukan, sebab harta gonogini tidak ada dalam Hukum Islam.

Wallahua'lam bishshawab... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun