Satu dekade terakhir, budaya perusahaan menjadi perhatian penting para pelamar kerja. Menurut survei McKinsey, 90% insan perusahaan meneliti budaya perusahaan sebelum bergabung.
Budaya perusahaan (corporate culture) menjadi penting bagi insan perusahan, namun dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat banyak perkerjaan yang dilakukan tidak lagi harus di kantor, baik work from home (WFH) ataupun hybrid working, bagaimana budaya perusahaan bisa tertanam dalam pekerjaan yang dilakukan sehari-hari saat ini?
Melissa Daimler, chief learning officer Udemy, dalam buku barunya, ReCulturing: Design Your Company Culture to Connect with Strategy and Purpose for Lasting Success (McGraw-Hill, Mei 2022) mengatakan budaya perusahaan bukanlah apa yang terjadi di kantor, tetapi bagaimana pekerjaan terjadi di antara insan perusahaan, dan tindakan yang dapat diamati yang menunjukkan nilai-nilai perusahaan. Dengan demikian, budaya perusahaan masih dapat berkembang tanpa kantor.
Berdasarkan pengalaman puluhan tahun di perusahaan termasuk Twitter dan Adobe, Daimler mengatakan budaya---atau bagaimana rekan kerja berinteraksi satu sama lain---sama pentingnya dengan tujuan dan strategi, dan sangat penting dalam hal keterlibatan pekerja.
ReCulturing, yang merupakan judul utama buku yang ditulis Daimler adalah tentang bagaimana merancang budaya yang disengaja dengan organisasi perusahaan di tempat kerja hybrid. Daimler menulis buku tersebut karena telah berkecimpung di bidang teknologi selama lebih dari 20 tahun, dan selama waktu itu, Daimler telah belajar, berpartisipasi, dan mendorong perubahan budaya. Dia terus membaca buku, artikel penelitian, dan segala sesuatu yang dapat menemukan tentang budaya, dan membuatnya frustrasi karena budaya perusahaan dianggap sebagai konsep yang sangat kabur.
Arti budaya perusahaan terdapat dalam begitu banyak definisi, mulai dari keterlibatan, kepribadian organisasi, hingga apa yang terjadi ketika pemimpin tidak ada. Kondisi tersebut melelahkan dan membuat frustrasi banyak insan perusahaan, karena sejatinya budaya jauh lebih konkret dari definisi yang beragam tersebut. Banyak cara untuk merancang dan mengoperasionalkan budaya yang belum dilakukan secara lebih luas. Kemudian, berdasarkan pengalamannya pada beberapa perusahaan, Daimler menulis buku ReCulturing tersebut sebagai cara untuk memberikan cetak biru kepada banyak pihak tentang bagaimana merancang dan mengintegrasikan budaya dalam organisasi mereka dengan sengaja.
Budaya adalah komponen yang sangat penting dari organisasi mana pun. Berdasarkan pengalamannya bekerja di beberapa perusahaan yang sangat hebat, seperti Adobe dan Twitter, serta WeWork, dan mengajarinya nilai budaya yang sehat. Seringkali, orang berpikir budaya adalah hal yang lembut di sisi yang HR dapatkan di beberapa titik. Hal tersebut merupakan latihan satu kali di mana perusahaan membuat daftar sejumlah nilai dan dianggap selesai selesai dengan menempelkannya ke dinding, dan menyematkan nilai-nilai budaya tersebut di situs web, dan berhenti hanya sampai di situ.
Seharusnya ada beberapa langkah lagi yang perlu diambil untuk memiliki jenis budaya sehat yang banyak perusahaan miliki. Buku ReCulturing melampaui daftar nilai dan mengidentifikasi perilaku tersebut. Apa tindakan yang dapat diamati yang mencontohkan nilai-nilai? Lalu, apa saja proses berbeda yang diperlukan untuk menanamkan perilaku tersebut? Proses meliputi proses perekrutan, proses orientasi, proses promosi, umpan balik dengan melakukan hal-hal berikut setiap hari: pertemuan, komunikasi, bagaimana insan perusahaan terhubung satu sama lain. Buku ini membahas proses berkelanjutan dalam mengintegrasikan perilaku tersebut ke dalam pekerjaan sehari-hari insan perusahaan dan mengakui bahwa itu semua adalah bagian dari suatu sistem.
Sebenarnya, budaya organisasi telah ada sebagai sebuah konsep selama lebih dari 70 tahun, namun sebagian besar perusahaan masih berada di tempat mendefinisikan budaya sebagai konsep yang sangat samar-samar. Selama ini tidak terpikirkan cara untuk mendefinisikan budaya yang disengaja.
Selama ini, cara pihak perusahaan mendefinisikan budaya adalah dengan makanan yang disajikan perusahaan kepada insan perusahaan, ketersediaan meja Ping-Pong (atau sarana rekreasi/olahraga di kantor), dan happy hour (jam-jam  kebersamaan yang membuat bahagia). Akan tetapi sejak pandemi Covid-19 yang membuat insan perusahaan kita tidak lagi harus pergi ke kantor, para insan berpikir, "Ya Tuhan, budaya kita sudah hilang." Padahal, sesungguhnya budaya bukanlah apa yang terjadi di kantor. Makanan gratis dan meja Ping-Pong memang enak, tetapi budaya perusahaan yang sebenarnya adalah bagaimana pekerjaan terjadi di antara insan perusahaan.
Oleh karena itu, eksekutif perusahaan harus dapat memastikan bahwa fokus pada budaya semakin meningkat sekarang, dengan kondisi insan perusahaan tidak lagi harus selalu berada di kantor untuk bekerja. Hubungan yang kita ciptakan setiap hari, keputusan yang kita buat, interaksi yang kita miliki, semuanya itu adalah budaya perusahaan.
Budaya perusahaan terjadi baik karena desain atau default, jadi mengapa perusahaan tidak mendesainnya dengan sengaja berdasarkan bagaimana eksekutif perusahaan ingin organisasi perusahaan bekerja.
Budaya perusahaan sangat berkaitan dengan "pemikiran sistem", yang berarti perusahaan perlu menghubungkan bagaimana insan perusahaan bekerja dengan apa yang sedang organisasi perusahaan kerjakan, yang merupakan strategi perusahaan, dan mengapa organisasi melakukannya sebagai pegejewantahan tujuan perusahaan. Semua hal itu saling berhubungan. Dengan demikian, jika strateginya berubah, perusahaan juga perlu melihat budaya perusahaan dan perilaku insan perusahaan.
Banyak pihak telah berpikir tentang budaya sebagai hal yang terpisah, tetapi sesungguhnya budaya adalah benar-benar merupakan bagian integral dari bisnis. Budaya perusahaan adalah sesuatu yang perlu diciptakan bersama dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, dan perlu ditinjau secara konsisten, terutama pada titik perubahan utama.
Saat ini bekerja tidak lagi harus di kantor dan banyak yang dilakukan secara hybrid, sehingga langkah pertama bagi para eksekutif dalam melihat budaya perusahaan adalah dengan mengevaluasi kembali nilai-nilai perusahaan dan melangkah lebih jauh dalam mewujudkan budaya perusahaan.
MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H